ULAMA
NU DALAM PERGULATAN PILKADA
Oleh : Mursana,M.Ag.*
Pemilihan kepala daerah
secara langsung di Kabupaten Cirebon tinggal menghitung hari. Berbagai bentuk
kampanye yang dilakukan oleh masing-masing calon Bupati dan wakilnya baik
secara terang-terangan maupun terselubung sudah disosialisasikan jauh hari
sebelumnya, kendatipun agenda acara yang direncanakan Komisi Pemilihan Umum
Daerah ( KPUD ) Cirebon
belum di berlakukan. Di sebelah kanan dan kiri jalan sudah tampak berbagai
jenis poster, baligho, serta spanduk berisikan tulisan tentang keunggulan
kandidat tertentu dan ajakan untuk memilihnya. Bahkan di radiopun setiap saat
masyarakat sudah sering mendengar iklan-iklan tentang ajakan memilih calon
tertentu. Tidak cukup dengan itu, para calon juga menggunakan beberapa
pendekatan kepada masyarakat untuk menarik simpatinya, dari mulai bagi-bagi
sembako kepada anak yatim dan janda miskin di Masjid sampai mendatangi ulama
Nahdhatul Ulama ( NU ) yang punya pesantren.
Dalam hal yang terakhir
ini menimbulkan polemik di kalangan warga NU sendiri. Satu sisi NU harus
kembali ke Khithah 1926 bahwa NU bukan organisasi politik atau tidak terlibat
dalam politik praktis, di sisi lain ijtihad para Ulama NU yang menetapkan bahwa
membentuk imamah atau kepemimpinan adalah wajib hukumnya karena apabila
dalam komunitas sosial tidak ada
pemimpin, maka akan terjadi cara yang tidak aman, di mana pihak yang lemah akan
terinjak-injak pihak yang kuat. Atas dasar ijtihad inilah maka pada hari
ahad, 10 Agustus 2008 jajaran pengurus syuriyah dan tanfidziyah NU cabang
Cirebon diikuti oleh pengurus MWC se-Kabupaten Cirebon mengadakan musyawarah
Alim ulama NU di Pondok Pesantren Ulumuddin Susukan Cirebon yang menghasilkan
kesepakatan untuk mendukung calon Bupati incumbent sebagai Bupati yang akan
datang dengan berbagai hujjah serta argumen yang rasional. Hadir dalam acara tersebut Ketua PW NU Jawa barat,
Ketua LDNU Pusat dan Bupati Cirebon.
NU merupakan organisasi
sosial keagamaan Islam terbesar di Indonesia selain Muhammadiyah yang
warganya lebih dari tigapuluh juta. Dari jumlah ini cukup potensial untuk
meraih suara baik dalam Pemilihan umum maupun dalam Pemilihan kepala daerah
langsung. Pantas saja dalam pemilu tahun 2004 lalu beberapa calon presiden
menggandeng wakilnya dari tokoh NU. Misalnya Susilo Bambang Yudhoyono
berpasangan dengan Yusuf Kala ( Mantan PWNU ), Megawati berpasangan dengan
Hasyim Muzadi ( Ketua Umum PBNU ), Hamzah Haz ( NU ) berpasangan dengan Agum
Gumelar, dan Wiranto berpasangan dengan Sholahudin Wahid ( Ketua PBNU ). Begitu
halnya dalam pemilihan kepala daerah dari Propinsi sampai Kabupaten/Kota tokoh
NU sangat mendominasi baik sebagai calon Gubernur dan wakilnya maupun sebagai
calon Bupati/Walikota dan wakilnya. Hal ini cukup beralasan karena warga NU
yang merupakan kaum tradisional menyebar di berbagai tempat dan pelosok,
sehingga sangat potensial untuk mendulang suara terbanyak bagi calon tertentu.
Dampak Negatif
Ketika pasangan Damar (
Dr.Djakaria Machmud–PRA Arif ) mendaftar ke Kantor KPUD sebagai Calon dan wakil
Bupati Cirebon ,
nampak para Ulama NU mendampinginya. Begitu juga ketika pasangan Desa (
Drs.H.Dedi S.- Ason S.) mendaftar ke KPUD sebagai calon dan wakil Bupati,
terlihat juga para Ulama NU yang berpengaruh di Cirebon menyertainya. Calon dan wakil Bupati
selain keduanya juga demikian.
Peristiwa tersebut
sebenarnya sangat membingungkan masyarakat awam, mengingat figur para Ulama
ternyata pilihannya tidak satu calon saja tetapi berbeda-beda. Ada apa sebenarnya, kenapa
para Ulama NU ( sebagai panutan masyarakat )
pilihannya tidak satu saja ? pertanyaan inilah selalu muncul di tengah
masyarakat awam. Apabila pertanyaan ini tidak segera ditemukan jawabannya, maka
dikhawatirkan dampak negatif terjadi di kalangan masyarakat. Karena bisa jadi
dalam suatu komunitas kecil seperti keluarga memungkinkan terjadinya konflik
keluarga yang berdampak konflik sosial, karena idola Ulama yang diharapkan oleh
masing-masing anggota keluarga itu berbeda pilihannya. Dampak negatif lainnya
adalah terjadinya keretakan silaturrahim antar keluarga Ulama dan pesantren
akibat Ulama yang satu dukung calon tertentu sedangkan Ulama yang lain dukung
calon lainnya.
Para Ulama atau Kyai ( Sunda: Ajengan ) adalah
orang yang mempunyai kelebihan yang diberikan oleh Allah sehingga kehadirannya
sangat dinanti oleh umat. Dalam masyarakat
Kabupaten Cirebon, Ulama merupakan sosok yang sangat dihormati
perangainya, didengar nasehatnya, dan dilaksanakan perintahnya. Tetapai apabila
figur yang dijadikan sebagai panutan masyarakat itu tidak memperlihatkan al-akhlakul
karimah seperti tidak akur dengan saudaranya akibat / ekses dari Pilkada,
maka masyarakat juga akan menilai, kalau beliau yang ilmunya tinggi saja begitu
apalagi kita masyarakat awam.
Ulama dan Umara
Penyebutan atau penggunaan kata Ulama mengalami
perkembangan sejalan dengan perkembangan definisi tentang ulama itu sendiri
(Faiqoh : 2003). Di negara Timur Tengah penisbatan ulama diberikan kepada
seorang Syaikh atau Mursyid. Di Indonesia sebutan seorang ulama dalam berbagai
versi. Di daerah Jawa Ulama disebut Kyai, di daerah Pasundan disebut Ajengan.
Sementara di Bali dan NTB disebut Tuan Guru. Secara normatif istilah Ulama
diambil dari ayat al-Qur’an. “Sesungguhnya ulama adalah orang yang takut
kepada Allah”. Dalam hadits Nabi Saw., disebutkan; “Para
ulama adalah pewaris para Nabi.” Kata Ulama
menunjukkan makna jamak diambil dari kata ‘aliim;
orang yang menguasai dan mendalami ilmu pengetahuan. Apapun perbedaan definisi
seputar ulama, namun pada prinsipnya ulama memiliki pandangan yang sama tentang
penyebaran misi Islam. Untuk konteks ulama Indonesia , (Kyai; Jawa), yang
memiliki tanggung jawab mensosialisasikan Islam dan membentuk masyarakat yang
baik berdasarkan Islam, maka salah satu jalan yang digunakan adalah dengan
mendirikan pondok pesantren.
Di Pondok Pesantren itulah seorang Ulama NU dengan
ikhlas karena Allah mengajarkan ilmunya kepada para santri, tanpa mengenal
lelah. Di tempat itu juga seorang ulama membentuk karakter kepribadian santri
agar suatu saat nanti bisa hidup pada zamannya berguna bagi masyarakat dan
bangsa yang berasaskan akhlakul karimah.
Sebagai pewaris Nabi, Ulama mempunya tugas yang sangat
berat dalam membina umat ini. Quraish Shihab ( 1992 :385 ) berpendapat paling
tidak ada empat tugas seorang Ulama sebagai pewaris Nabi : Pertama, Menyampaikan
( tabligh ) ajaran-ajaranNya,
sesuai dengan perintah, “Wahai Rasul sampaikan apa yang diturunkan kepadaMu
dari tuhanMu” ( Qs.5:67 ). Kedua, menjelaskan ajaran-ajaranNya, berdasarkan
ayat, “Dan kami turunkan alKitab kepadaMu untuk kamu jelaskan kepada manusia”
( Qs.16:44 ). Ketiga, memutuskan perkara atau problem yang dihadapi
masyarakat, berdasarkan ayat, “Dan Allah turunkan bersama mereka alKitab
dengan benar agar dapat memutuskan perkara yang diperselisihkan manusia” (
Qs.2:213 ). Dan keempat, memberikan contoh pengamalan, sesuai dengan
hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang menyatakan bahwa
perilaku Nabi adalah praktek dari alQur’an.
Dari tugas tersebut ternyata tugas seorang Ulama bukan
hanya mengurusi masalah keagamaan ( hal-hal yang bersifat ukhrowi ), tetapi
juga dituntut untuk mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan di dunia ini.
Sedangkan tugas Umara ( Pemerintah ) adalah mengatur
jalannya berbagai segi kehidupan seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, dan
agama agar rakyat bisa hidup makmur, sejahtera lahir dan batin.
Menurut hemat penulis, tugas Ulama dan Umara sebenarnya
obyeknya sama yaitu agar umat atau rakyat yang dipimpinnya itu makmur,
sejahtera lahir dan batin, cukup sandang, pangan, dan papan. Mengingat tugas
Ulama dan Umara itu tidak bisa dipisahkan, maka tidak layak antara keduanya
bekerja sendiri-sendiri atau saling menjauhkan.
Mari tengok sejarah Islam; sebenarnya tidak perlu ada pemisahan antara
Ulama dan Umara ( pemerintah ). Bahkan antara keduanya harus ada kerjasama yang
baik untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Ulama seharusnya tidak sekedar
memberi fatwa, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam program pemerintah dari
perencanaan sampai pengawasan pelaksanaannya.
Pengalaman waktu belajar hadits di Pesantren, ada sebuah
sabda Rasulullah Saw. yang menyatakan bahwa “Sejelek-jelek Ulama adalah yang
( hobi ) mendekati penguasa, dan sebaik-baik penguasa adalah yang mau mendekati
Ulama". Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari
sahabat Ali karramallahu wajhah bahwa Nabi Saw. Bersabda, “akan datang pada
manusia suatu zaman, dikala itu Islam tidak tinggal kecuali namanya saja, dan
Al-Qur’an tidak tinggal melainkan tulisannya saja, masjid-masjidnya indah namun
kosong dari petunjuk, ulama-ulamanya termasuk manusia paling jelek yang berada
di bawah langit, karena dari mereka timbul beberapa fitnah dan akan kembali
kepadanya”
Dari dalil ini masih banyak para Ulama NU sampai
sekarang masih tidak mau berhubungan dengan pemerintah/penguasa. Sikap ini
didasarkan pada pendapat alGhazali yang mengkatagorikan Ulama menjadi dua,yaitu
Ulama akhirat dan Ulama suu’/Ulama dunia. Salah satu ciri Ulama suu’ adalah
yang hobi mengunjungi penguasa. Pendapat alGhazali ini tentu tidak harus
diterima begitu saja. Di sini perlu dikaji kembali, bagaimana latar belakang
sosial politiknya saat itu ketika beliau melontarkan pendapat ini. Kalau
seorang Ulama mendatangi penguasa dengan tujuan untuk kemaslahatan umat,
menurut hemat Penulis, sah-sah saja bahkan wajib hukumnya. Tetapi kalau seorang
Ulama mengunjungi penguasa dengan tujuan untuk kepentingan pribadinya,
barangkali ini yang menurut alghazali disebut Ulama suu'. Ada tiga dampak negatif apabila seorang Ulama
terlalu dekat dengan penguasa, yaitu: 1) seorang Ulama itu akan diam meskipun
melihat kemungkaran. 2) Ia akan berbicara, tetapi hanya sekedar basa basi. Dan
3) Ia akan menyaksikan dan merasakan aneka kenikmatan material yang diperoleh
dari penguasa. Ketiga alasan inilah yang menjadi dasar alGhazali kenapa seorang
Ulama tidak boleh dekat dengan penguasa.
Oleh karena itu kita kembalikan ke pribadi Ulamanya itu
sendiri. Niat dan tujuan yang baik adalah menjadi barometer apakah seorang
Ulama itu menjadi baik atau tidak.
Kedekatan Ulama NU dengan Umara
Kedekatan Ulama NU dengan Pemerintah Daerah Cirebon yang
sekarang tidak diragukan lagi. Pasalnya dulu lima tahun yang lalu sejak pak Dedi masih belum jadi Bupati, menurut mereka sosok
Dedi Supardi inilah yang paling layak menjadi Bupati Cirebon. Sebab kata mereka
hanya pak Dedi Supardi lah yang paling mengerti dan peduli terhadap nasib
Lembaga Pendidikan Islam seperti Pesantren, Madrasah Diniyah, TK/TPQ, Majlis
Ta’lim, dan kegiatan keagamaan lainnya. Dan ternyata ini sudah terbukti ketika
beliau menjadi Bupati selama lima
tahun.
Atas dasar inilah kebulatan tekad para Ulama NU untuk
tetap mendukung calon Bupati Incumbent yang dideklarasikan pada Musyawarah Alim
Ulama NU Cabang Kabupaten Cirebon tanggal 10 Agustus 2008 lalu di Pondok
Pesantren Ulumudin Susukan.
Terlepas dari pro dan kontra tentang dukung mendukung
para Ulama terhadap calon dan wakil bupati tertentu, diharapkan agar jangan
sampai menimbulkan konflik / perpecahan di kalangan masyarakat. Kepada pihak
yang pro supaya tidak memunculkan idealisme yang berlebihan kepada yang kontra,
demikian juga yang kontra. Karena bila hal itu dilakukan akan menimbulkan
permasalahan baru. Pahamilah bahwa masyarakat kita masih rendah pemahamannya
tentang politik. Jangan sampai masyarakat menjadi korban kepentingan elit.
Melalui tulisan sederhana ini, sebagai Kaum Muda NU
penulis menyarankan sekaligus mengingatkan kepada para Ulama, baik yang aktif
dalam struktural kepengurusan NU maupun dalam kultural NU agar mengedepankan
Ukhuwah Islamiyah di atas segala kepentingan apapun. Bermusyawaralah untuk
mufakat apabila ada permasalahan umat yang musykilat. Tidak ada satu masalahpun
yang tidak bisa diselesaikan dengan musyawarah. Semoga.
*Penulis: Mursana, M.Ag.
Kaum Muda NU tinggal di
Plumbon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar