MEMELIHARA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA1
Oleh : Mursana, M.Ag. 2
Kita menyadari bahwa, menciptakan suatu negara yang
adil, aman dan sejahtera, bukan merupakan sesuatu yang mudah, akan tetapi
diperlukan berbagai upaya baik supra struktur maupun infra struktur, dengan
melibatkan berbagai komponen bangsa, sehingga berbagai polarisasi kepentingan
masing-masing kelompok dapat dieliminir dan diminimalisasi, sehingga tercipta
suatu tatanan yang dapat dijadikan perekat sebagai sebuah ‘nation’.
Dalam suatu negara yang berbhinneka semacam Indonesia ,
maka harus disadari bahwa keanekaragaman itu merupakan realitas dan keniscayaan
yang harus diterima sebagai anugerah untuk disyukuri. Walaupun pluralitas di
satu sisi mengandung kerawanan-kerawanan yang dapat menimbulkan konflik baik
horizontal maupun vertikal yang dapat menggerogoti tatanan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pada aspek lain, sesungguhnya pluralitas mengandung
potensi yang dapat memberikan kontribusi positif dalam perjalanan kehidupan
berbangsa, dengan meramu dan mengembangkan nilai-nilai keanekaragaman itu
sendiri menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa, yang dapat mengakomodir
berbagai kekuatan yang ada dalam membangun bangsa (nation building) dengan
mengendapkan nilai-nilai persamaan dan menghargai perbedaan sebagai
sunnatullah, dalam bingkai nilai keikaan dan suasana demokratis.
Apabila kita melihat ke belakang, di mana sejarah
mengukir dengan tinta emas, di negeri yang terhampar ribuan pulau dari Sabang
hingga Merauke bagaikan mutiara mutu manikam yang berkilau memantulkan
kesuburan dan beraneka suku bangsa, ras dan golongan, dapat hidup rukun dalam
kebhinnekaan, dalam membangun kebersamaan dalam prospektif kehidupan, dalam
suasana damai untuk saling bagu membahu membangun bangsa, disertai suasana
demokratis, dengan hidup menghargai dan menghormati setiap perbedaan.
Negara-negara lain pernah mengacungkan jempol atas
prestasi dan apresiasi terhadap apa yang diraih dalam membangun dan mengelola
kebersamaan dan kerukunan umat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu.
Kecuali itu, negara lain datang untuk menimba pengalaman
untuk kemudian dijadikan rujukan dalam pembinaan kerukunan umat di negarannya
masing-masing. Mereka terkesima, seakan tak percaya, nusantara yang
ber-bhinneka ini dapat terjalin keikaan dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia .
Yang datang bukan hanya pemimpin negara dan pemerintahan, bahkan tokoh dan
pemuka agama mereka datang berkunjung menimba pengalaman.
Tapi, kenyataan akhir-akhir
ini mencengangkan semua pihak, mereka mulai mempertanyakan. Kenapa dan mengapa
?, sebab indonesia yang dulu mereka kenal sebagai bangsa yang menghargai setiap
perbedaan, hidup dalam suasana rukun dan damai, karena lebih menonjolkan faktor
kultur, faktor leluhur dan primordialisme lainnya.
Kita tentu tidak dapat menutup
mata begitu saja, terhadap berbagai kejadian dan peristiwa kemanusiaan yang
merendahkan martabat bangsa, sehingga menyandang gelar negatif, ekstrimis,
radikalis, anarkhis dan teroris, dengan munculnya berbagai konflik diberbagai belahan
nusantara meskipun pelan namun harus pasti dapat diselesaikan secara
humanistik, demokratis, adil dengan menghargai keberadaan masing-masing sebagai
salah satu komponen yang komplementer dalam sebuah bangsa. Kasus ambon yang
dianggap selesai namun meletup kembali, aceh yang masih belum tuntas, papua
yang baru-baru ini mencoba mengibarkan bendera bintang kejora.
Kita berharap pada akhirnya
dapat menginternalisasikan kebhinnekaan itu menjadi kesadaran menuju tegaknya
negara kesatuan Republik Indonesia. Semoga di wilayah Cirebon dan di tatar pasundan ini tidak demikian.
Dalam konteks pembinaan
kerukunan umat beragama, termasuk di dalamnya kerukunan antar kelompok dalam
agama tertentu banyak hal yang harus dicermati, baik aspek politik, hukum,
ekonomi, keadilan dan kesenjangan lainnya. Yang tidak kurang penting juga
adalah karakter dasar dari agama-agama, yakni sifat ambivalensi agama itu
sendiri. Disatu pihak, agama memiliki daya dorong (vitalitas) yang luar biasa
terhadap bangsa untuk menciptakan peradaban, sedangkan di lain pihak sepertinya
membuat peradaban mundur. Sesunguhnya mundurnya peradaban, bukan karena faktor
ajaran dan nilai agama yang dianggap sudah tidak relevan lagi dalam suatu kurun
waktu, akan tetapi lebih dimanipulasi oleh umatnya untuk kepentingan pribadi,
kelompok atau suatu rezim. Bila demikian yang terjadi, maka akan terlahir
ketidak adilan sebagai sumber konflik yang sering mengkristal menjadi sebuah
kerusuhan yang anarkhis dan bahkan menimbulkan peperangan antar suku. Dua
penyakit sosial bawaan bagi peradaban adalah, perang dan ketidak adilan.
Padahal seyogyanya agama harus menjadi perekat spiritual yang menyatukan
masyarakat beradab untuk sepanjang waktu, namun vitalitasnya digerogoti oleh
dua penyakit yang menakutkan itu.
Departemen agama yang
mengemban tugas negara untuk membina kerukunan umat beragama dituntut untuk
menjembatani berbagai upaya agar terbangun suasana kebersamaan dan kerukunan
hidup umat beragama, dengan berpegang prinsip, pertama, memantapkan nilai
religius, memantapkan nilai kebangsaan dan memupuk nilai akhlakul karimah.
1.
Disampaikan dalam kegiatan
Orientasi Pembauran Bangsa bagi Pelajar SMA se- Kab. Cirebon, 03 Agustus 2007.
2.
Penyuluh Agama Islam Kecamatan Plumbon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar