KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK AL – ZARNUJIY
Oleh : MURSANA, M.Ag.
A. Pendahuluan
Diantara konsep pendidikan yang ada,
menurut penulis hanya konsep pendidikan al-Zarnujiy yang masih tetap eksis
keberadaannya di Indonesia
ini khususnya di Jawa. Konsep pendidikan al-Zarnujiy yang dimuat dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim” diajarkan di
Pesantren Salafiyah sejak ratusan tahun yang lalu. Dan ternyata out put dari
konsep pendidikan ini berhasil. Para santri yang mempelajari kitab ini bukan
hanya menjadi santri yang berakhlakul karimah terhadap gurunya, orang tuanya,
keluarganya, juga teman-temannya dalam pergaulan, tetapi juga menjadi santri
yang taqwa kepada Allah, berguna bagi keluarganya, nusa, bangsa dan agamanya.
Sehingga tidak jarang para alumni Pesantren Salafiyah yang dulunya mempelajari
konsep pendidikan al-Zarnujiy ini, ilmunya benar-benar bermanfaat untuk dirinya
dan masyarakat sekitarnya, kapan dan dimanapun mereka hidup.
Oleh karena itu atas keberhasilan
konsep ini, sampai saat ini diberbagai Pesantren Salafiyah, kitab “Ta’lim
al-Muta’allim” menjadi kitab wajib yang harus dipelajari oleh santri baru. Karena dengan doktrin-doktrin yang ada
dalam kitab ini, seorang santri menjadi disiplin, taat peraturan, bisa bergaul
dan akan istiqomah dalam beribadah kepada Allah SWT.
Namun
jangan lupa bahwa seluruh doktrin yang ada dalam kitab ini sesungguhnya
merupakan konsep. Sebuah konsep biasanya dibuat karena berdasarkan fenomena
yang terjadi saat itu. Konsep masa lalu ada kalanya cocok dipakai sekarang dan
ada kalanya tidak cocok dipakai sekarang. Maka pantas kalau dulu KH.DR.Sayid
Aqil Sjiraj,MA pernah berpendapat bahwa
siapapun tidak boleh mengkultuskan kitab Ta’lim al-Muta’allim.
B. Biografi
Al-Zarnujiy
Nama lengkapnya al-Zarnujiy adalah
Burhan al-Din al-Zarnujiy, dengan dinisbatkan ke daerah kelahirannya yaitu
Zarnuj. Untuk asalnya, ada banyak pendapat, diantaranya ada yang berpendapat ia
berasal dari daerah Turki, ada yang berpendapat dari daerah Turkistan ,
dan ada juga yang berpendapat berasal dari daerah Khurasan. Sedangkan masa
hidupnya juga ada banyak pendapat, diantaranya ada yang berpendapat bahwa dia
hidup sekitar abad 13 M, sedangkan pendapat lain mengatakan ia hidup sekitar
abad 6 H atau 12 M.
Dalam disiplin Fiqh, al-Zarnujiy
mengikuti sekte (madzhab) Hanafiyah, tokohnya adalah Imam Abu Hanifah (w.150
H). Hal tersebut terindikasi dengan banyaknya disebut tokoh-tokoh (yang
notae-bene sebagai guru dan panutannya) dari kalangan sekte Hanafiyah di dalam
karyanya Ta’lim al-Muta’allim. Dia menyebutkan sampai 75 ulama yang
50-nya adalah dari sekte Hanafiyah. Seperti Burhan al-Din ‘Ali bin Abu Bakar
al-Farghaniy al-Marghiyani (w.593 H), Hammad bin Ibrahim dan Burhan al-Din
penulis kitab I.
Juga
terindikasi dengan beberapa karya Fiqih tokoh sekte Hanafiyah yang dijadikannya
sebagai refrensi (rujukan). Sehingga tidak heran, kalau Muhammad bin Sulaiman
dalam bukunya A’lam al-Akhyar (Sebuah
buku yang memuat tokoh-tokoh sekte Hanafiyah) memasukkan al-Zarnujiy dalam
deretan tokoh-tokoh sekte Hanifiyah.
C. Konsep
Pendidikan Akhlak
Adapun untuk mengetahui konsep
pendidikan etikanya al-Zurnujiy, maka tidak bisa tidak harus merefren (ruju’)
karya utamanya tentang al-Muta’aliim
yang terdiri dari 13 bab pembahasan atau fashl.
Dari ke 13 bab tersebut 7 bab
diantaranya banyak berisi tentang konsep pendidikan akhlak atau etic education (al-tarbiyah al
khuluqiyyah). Diantaranya adalah bab al-Niyyah
hal al-Ta’allum (konsep tentang niat masa belajar), ta’dzim al-‘ilm (konsep tentang pemuliaan terhadap suatu disiplin
keilmuan), al-jid wa al-muwadhabah wa
al-himmah (konsep tentang progresifisme), al-tawakkal (konsep tentang tawakkal), al-syafaqah wa al-nashihah (konsep tentang saling menasehati), al-istifadah wa iqtibas al-adab (konsep
tentang tatakrama pergaulan) dan al-wara’
hal al-ta’allum (konsep tentang wirai atau wara’).
Semua konsep pendidikan etika
al-Zarnujiy ini merupakan refleksi dari realitas dia hidup, dimana secara
politik al-Zarnujiy hidup dalam tiga dinasti Islam yang saling cekcok, yaitu dinasti ‘Abbasiyah yang
dikendalikan oleh dinasti Saljuq, sebagai penguasa legeslatif dengan tokoh
utama Thaghuk Khan (w.1063 M), dinasti Ayyubiyah yang didirikan oleh
Shalahuddin al-Ayyubiy (w.1193 M), dan dinasti Murabithun yang didirikan oleh
Yahya bin Ibrahim al-jadaliy (W.1056 M), rajanya yang tersohor adalah Yusuf bin
Tasyafin (w.1106 M).
Diantara dinasti-dinasti Islam
tersebut terjadi ketegangan yang cukup tinggi, seperti kekalahan dinasti
Fathimiyah di Mesir oleh dinasti Ayubiyah menyebabkan dinasti Fathimiyah
meminta bantuan kepada pasukan Salin untuk mengalahkan dinasti Ayyubiyah guna
merebut Bait al-Maqdis. Juga,
terjadi konflik antara dinasti Murabithun di Spanyol dengan dinasti ‘Abbasiyah
di Baghdad.
Juga kerena
banyaknya bermunculan aliran-aliran pemikiran, baik dalam disiplin Teologi (kalam), Filsafat maupun dalam disiplin
Fiqh yang memang dalam satu sisi hal tersebut berdampak positif, yaitu menjadi
ramai dan berkembangnya intelektualitas keislaman. Tapi di sisi lain, hal
tersebut membuat kesemrawutan intelektual kesilaman, yang tidak bisa dibendung
terjadi fitnah dan kerancuan ajaran Islam.
Sehingga
tidak elak lagi kalau al-Zurnujiy memberikan konsep tentang pendidikan etika.
Adapun konsep pendidikan etika al-Zurnujiy tersebut bisa diklasifikasi
berdasarkan pada tiga pola relasi (al-mu’amalah),
yaitu :
Pertama, relasi ilahiyyah (vertikal),
yaitu relasi yang berdasarkan ikatan ketuhanan. Dimana al-Zurnujiy menempatkan
konsep syukur atas karunia Allah SWT
berupa akal dan kesehatan jasmani. Hal ini sebagaimana ayat : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (surat Ibrahim 14:7). Karena dengan
akalah manusia mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk Allah SWT yang
lain. Sehingga tidak heran kalau Allah SWT dalam banyak ayat al-Qur’an sangat
menekankan kepada manusia agar memanfaatkan semaksimal mungkin potensi akal
ini. Juga konsep berdoa dengan andap asor (al-ta’dlurru)
dihadapan Allah SWT sebagai Penguasa alam. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan
oleh Allah SWT dalam surat al-A’raf: “Berdo’alah
kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut” (al-A’raf 7:55).
Dan konsep tawakkal atas apa yang telah ditargetkan oleh Allah SWT, karena
sebagaimana dalam pepatah “anta turid wa
ana urid wa lakinna Allah yaf’alu ma yurid” (kamu ingin saya juga ingin,
tetapi Allah mempunyai keinginan-Nya sendiri), Allah SWT dalam surat al-Anfal
mengatakan: “Barangsiapa yang tawakkal
kepada Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (al-Anfal 8:49), juga dalam
surat Ali Imran : “Bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”
(Ali-Imran 3:159).
Kedua, relasi insaniyyah (horizontal),
yaitu relasi yang berdasarkan sama-sama makhluk Tuhan yang paling mulia dengan
kelebihan pemberian berupa akal, atau relasi sesama manusia. Di sini
al-Zarnujiy mengedepankan konsep saling menghormati (al-ta’dzim wa al-hurrmah) sesama manusia dengan tidak membedakan
agama, suku, warna kulit atau asal daerah. Mulai dari lingkup sosial yang
paling kecil yaitu keluarga, sampai lingkup sosial yang paling luas yaitu
bernegara. Hal ini senada denan hadits Nabi Saw : “Barang siapa yan tidak menyayangi yunior-yuniornya, atau mereka yang
tidak mau tahu dengan hak-hak senior-seniornya, maka orang-orang tersebut
tidaklah termasuk umatku” (HR. al-Turmudzi). Di samping juga, al-Zarnujiy
memberikan konsep kesabaran, konsep tentang adab
(tingkah laku) dalam suatu forum, juga konsep berdemokrasi (musyawarah) dalam kehidupan sosial. Hal
ini sesuai dengan nilai yang terkandung dalam surat Ali Imran : “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu” (Ali Imran 3:159).
Ketiga, adalah relasi khaliqiyyah
(horizontal), yaitu relasi yang berdasarkan atas kesamaan sebagai makhluk
ciptaan Allah SWT yang berada di muka bumi ini, baik dengan hewan, tumbuhan,
atau benda-benda lain. Seperti konsep al-Zarnujiy tentang perlunya memuliakan
buku-buku (kitab al-durus) dengan
cara merawatnya dengan baik atau menjaga buku-buku itu tidak cepat rusak. Karena
buku yang merupakan salah satu wasilah
(sarana) belajar, sangatlah imposibble
(mustahil) kalau dengan sarana yang acak-acakan mengharapkan sampai pada tujuan
dengan lancar dan sukses.
D. Penutup
Kalau kita
melihat pada realitas pendidikan di sekitar kita dewasa ini, apalagi pendidikan
etika, sangatlah mengenaskan, kering dari konsep etika, juga materialistis yang
diharapkan dari lulusannya hanya sukses dari segi materi. Sehingga tidak heran
kalau di Indonesia ini mengalami krisis yang sangat menyakitkan ini. Hal ini
tidak lain hanya kerena terjadi krisis etika pada setiap individu kita. Baik
dari lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis umum atau yang berbasis
keagamaan.
Kita tidak
kesulitan menemukan lulusan lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan (seperti
pesantren atau sekolah-sekolah yang nota-bene di bawah naungan Depag: UIN,
IAIN, atau STAIN) secara etika sangat memalukan, tidak sedikit orang yang
bertitel ulama atau profesor dan doktor dalam bidang keagamaan yang melakukan
korupsi dan kolusi. Juga tidak repot kita dapatkan lulusan lembaga pendidikan
yang berbasis umum (seperti UI, UGM atau yang lain) dengan profesi sebagai
dokter, insinyur, bangkir, bisnisman, atau lainnya yang tidak kalah memalukan,
tapi kerap kali ulah mereka jarang dideteksi karena mereka sudah tidak asing
dengan permainan angka.
Hal ini
semua karena terjadinya krisis etika (dekadensi moral), karena krisis etika
adalah asal terjadinya segala krisis di Indonesia kita ini. Maka saya rasa,
konsep pendidikan yang berdasarkan etika-lah yang bisa menjadi solusi utama
untuk bisa mengikis habis segala krisis tersebut. Dan konsep pendidikan etika
al-Zarnujiy ini patut dijadikan alternatif untuk hal tersebut. Karena konsep
al-Zarnujiy sangatlah komprehensif, tidak mengedepankan etika yang vertikal
(Illahiyah) atau horizontal (Insaniyah dan Khalqiyah) saja, melainkan
memposisikan keduanya dalam posisi yang sebanding.
Karena,
kalau krisis yang multi ini hanya diselesaikan dengan usaha yang vertikaly (Illahiyah), hanya dengan
istighatsah, dzikir, majlis ta’lim, atau renungan-renungan kalbu saja, hal itu
hanya akan membuat impoten dan mandul saja. Begitu pula, kalau hanya
diselesaikan secara horizontaly (insaniy
dan khalqiy) maka yang didapat hanyalah kering dan kosong). Sedangkan solusi
yang paling tepat adalah penggabungan dua arah tersebut, sehingga terjadi
keseimbangan (balance). Dan akhirnya
kita hanya bisa berdo’a Allah SWT sebagai Dzat yang paling ber-otoritas atas
segalanya yang ada, dimanapun, dan kapanpun, : Allahumma ahsin khuluqiy kama ahsanta khalqiy”.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Khadim
al-haramain, al-Qur’an dan Terjemahannya,
(Saudi Arabiyah : Mujama’ al-Malik Fahd, 1418 H)
2.
Imam al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy, (Beirut : Darul Fikr, 1985)
3.
Al-Zarnujir,
Ta’lim al-Muta’allim, (Indonesia :
Darul Ihya al-‘Arabiyah, tt)
4.
Al-Zarnujiy,
Terjemah (Jawa) Ta’lim al-Muta’allim,
(Semarang : Menara Kudus, 1981)
5.
Imam
An-Nawawiy, Riyadhus-Sholihin, (Semarang : Nur Asia, tt)
6. Santri-santri
Pesantren Lir Boyo Kediri, Kumpulan Syair
Ala-la, (tt)
7.
Badriyatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1993).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar