BERGURU KEPADA KANJENG SUNAN
Oleh: Mursana, M.Ag
Cirebon mempunyai sejarah masa lampau yang sangat cemerlang,
sehingga terkenal di seantero Nusantara. Seorang tokoh yang telah berhasil
mengislamkan Cirebon khususnya dan Jawa Barat pada umumnya adalah Syekh Syarif
Hidayatullah atau lebih masyhur dengan sebutan Kanjeng Sunan Gunung Jati.
Ketika masih hidup dan memimpin Cirebon, Beliau berwasiat kepada masyarakatnya “Ingsun titip Tajug lan Fakir Miskin.”
Dengan konsep kepemimpinan inilah, sehingga rakyat Cirebon aman, sejahtera,
subur dan makmur.
Dengan demikian, apabila warga Kabupaten Cirebon
mengingnkan daerahnya aman, sejahtera masyarakatnya (ekonomi, pendidikan,
kesehatan terpenuhi), subur tanahnya dan makmur kehidupan rakyatnya, maka harus
dipimpin oleh pemimpin yang bersungguh-sungguh melaksanakan wasiat sang
Waliyullah tersebut.
Makna Wasiat Sunan Gunung
Jati
Apa makna sesungguhnya di balik wasiat “Ingsun titip Tajug lan Fakir Miskin”
sehingga Beliau berhasil memimpin Cirebon. Dalam tulisan ini akan diuraikan
secara jelas pemahaman makna dari wasiat kanjeng
sinuhun, sebagai berikut:
Pertama,
Ingsun titip Tajug.
Beliau berpesan agar wong Cirebon
selalu memelihara Tajug. Tajug adalah masjid tempat umat Islam melakukan ibadah
ritual (Mahdhoh) seperti sholat lima waktu: Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan
Subuh. Di manapun dan dalam keadaan apapun wong
Cirebon, jangan pernah meremehkan, apalagi melupakan tajug. Tajug harus
dimakmurkan dengan kegiatan ibadah ritual seperti sholat dan dzikir dan ibadah
sosial seperti pemberdayaan umat melalui pendidikan Madrasah Diniyah, TKQ dan
TPQ, juga melalui pengembangan ekonomi keumatan. Tentu saja harus diawali oleh
Bupati dan jajarannya termasuk para Kepala Dinas yang ada di bawahnya.
Bagaimanapun juga mereka itu adalah seorang Imam yang harus diikuti dan diamini segala program dan aksinya oleh makmum/rakyat.
Pada masa Khulafaur Rosyidin, Abu Bakar As Shidiq
kenapa terpilih oleh para shahabat lainnya sebagai khalifah/pengganti
Rasulullah Saw.? Karena didasarkan kepada suatu peristiwa ketika Rasulullah
Saw. tidak ke masjid beberapa hari (sebab sakit), lalu Beliau menyuruh Abu
Bakar As Shidiq untuk menjadi Imam Masjid sebagai penggantiNya. Berdasarkan
dari kepemimpinan sholat dan manajemen masjid inilah Abu Bakar terpilih sebagai
seorang pemimpin pengganti Rasulullah Saw. Dan ternyata Dia sukses mengemban
tugas ini, sehingga Islam semakin berkembang sampai ke luar negeri Arab.
Hikmah apa yang bisa dipetik dari kepemimpinan
sholat dan manajemen masjid? 1) Kedisiplinan
(almatiin) waktu dalam menjalankan tugas. Bisa dilihat, bagaimana giatnya umat
Islam menjalankan ibadah sholat, bila waktu telah tiba, baik di waktu siang
maupun malam. Karena sholat harus didirikan pada waktunya, begitu kata firman
Allah Swt dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Juga disiplin dalam menjalankan tugas
pokok dan fungsi antara Imam dan Makmum. Kewajiban makmum adalah mengikuti
program dan kebijakan seorang Imam. Maka jika Imam berdiri, makmum juga harus
berdiri. Imam sujud, makmum juga harus sujud. Begitu juga jika Imam duduk,
makmum juga harus duduk dan seterusnya. Belajar dari sholat inilah seorang
pemimpin dan yang dipimpin harus disiplin waktu dalam menjalankan tugas sesuai
dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Kedisiplinan saja tidak cukup, maka
harus dibarengi dengan yang ke 2) Tanggung jawab (Al-Wakiil) dalam
menjalankan tugas. Orang yang sholat sangat bertanggung jawab, karena kelak
sholatnya itu akan dimintai pertanggungjawaban pada hari akhir nanti. Sesuai
dengan hadits Rasulullah Saw., bahwa amal yang paling pertama ditanya pada hari
kiamat adalah sholat, bila sholatnya baik maka baiklah amalan yang lain. Bila
sholatnya jelek maka jeleklah amalan yang lain. Seorang pemimpin harus
bertanggung jawab kepada rakyat, dengan melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik
sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Ini terlihat dalam sholat, ketika
Imam harus bertanggungjawab kepada para jama’ahnya sesuai dengan tuntunan
syari’at Islam. 3) Menjunjung tinggi nilai-nilai
kejujuran (Al-Mu’min). Di dalam sholat diajarkan agar setiap orang Islam
menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, hal ini bisa dirasakan ketika
seseorang melaksanakan sholat, ia tidak berani sedikitpun untuk mengurangi atau
menambahi raka’at sholat. Inilah perwujudan dari nilai-nilai kejujuran.
Kejujuran seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk menyejahterakan rakyat.
Krisis multidimensi yang melanda negeri ini disebabkan karena hilangnya
nilai-nilai kejujuran di kalangan para pemimpin. 4) Bekerjasama (al jami’). Ibarat mendirikan sebuah bangunan, diperlukan
kerjasama yang baik dengan berbagai pihak agar bangunan itu bisa selesai dengan
sempurna. Begitu pula dengan mendirikan sholat berjama’ah, diperlukan juga
kerja sama antara Muadzin, Imam dan Ma’mum. Seorang pemimpin tidak ada
apa-apanya tanpa adanya kerjasama dengan bawahannya. 5) Menegakkan keadilan (al’adlu). Bagi jama’ah shalat
yang datang lebih dulu maka barisannya menempati jajaran paling depan.
Sedangkan bagi jama’ah yang datangnya terlambat harus menempati jajaran paling
belakang. Ketika Imam sujud, semua jama’ah (ma’mum) wajib sujud apapun status
sosialnya di masyarakat. Demikian juga ketika Imam berdiri, ruku, atau gerakan
shalat lainnya, dalam keadaan apapun, ma’mum wajib mengikuti Imam. Termasuk
keadilan dalam sholat lainnya adalah adanya dispensasi (rukhsah). Seperti
ketika seorang mau melakukan perjalanan jauh, maka ia boleh melaksanakannya
dengan dijama’ (digabungkan 2 sholat: Zhuhur dengan Asar dan Magrib
dengan Isya’) atau bisa juga dengan menggunakan qhasar (meringkas empat
raka’at menjadi rua raka’at). Seorang pemimpin tidak boleh tebang pilih dalam
mengambil kebijakan. Walaupun ketika Pemilihan ada beberapa wilayah yang tidak
memilihnya, maka ketika menjadi seorang Pemimpin tidak boleh memarjinalkan
wilayah tersebut. Jadi harus bersikap adil dan tidak ada diskriminatif. 6)
Mempunyai visi ke depan (al-akhir).
Visi di dalam sholat adalah Assalam (kesejahteraan dan kedamaian).
Seorang Pemimpin harus punya visi yang mampu menyejahterakan rakyat dan
menjadikan daerahnya aman dan damai sehingga masyarakat kondusif. 7) Mempunyai kepedulian yang tinggi (Assami’ dan al
bashiir). Imam harus melihat dan mendengar keadaan jamaahnya. Lafadz “Amiin”
diucapkan ma’mum adalah symbol suara rakyat yang harus selalu didengar.
Sedangkan lafadz “salam” dengan menengokkan kepala ke kanan dan ke kiri
adalah symbol seorang Pemimpin harus bisa melihat keadaan rakyatnya (peduli).
Setelah melihat dan mendengar lalu bagaimana solusinya memecahkan problematika
sosial ini. 8) Demokrasi harus
dipelihara. Ketika Imam itu salah atau lupa dalam gerakan sholat, lalu ma’mum
mengingatkannya dengan bacaan “Subhanallah” maka Imam harus
memperhatikan aspirasi ma’mum. Begitu pula ketika Imam itu lalai dalam salah
satu bacaan shalat dan makmum mengingatkannya, maka Imam harus introspeksi diri
dengan cara sujud sahwi. Seorang Pemimpin tidak boleh menutup mata dan telinga,
harus bisa menerima apabila dikritik atau diingatkan oleh rakyatnya. Jangan
lupa Pemimpin juga manusia: bisa benar, bisa juga salah. Tajug adalah simbol
kesinergian antara hamba dengan Tuhannya dengan istilah al-Qur’annya hablum minallah. Karena walaupun
bagaimanapun hidup di dunia ini tanpa Allah tidak ada apa-apanya.
Kedua,
ingsun titip fakir
miskin. Fakir miskin adalah simbol kesinergian hubungan antara sesama manusia (hablum minannas). Prioritas utama kepemimpinan
sekarang adalah mengentaskan kemiskinan dengan cara memperbanyak lapangan
pekerjaan: bangkitkan kembali industri rotan, batik, pertanian agar tidak
banyak yang menganggur. Prioritas kedua adalah menstabilkan ekonomi kerakyatan:
turunkan harga minyak dan sembilan bahan pokok makanan. Prioritas ketiga adalah
pendidikan dan kesehatan gratis untuk wong
cilik. Apabila wasiat Kanjeng Sinuhun ini benar-benar dilaksanakan oleh
pemimpin sekarang, Insya Allah kabupaten Cirebon menjadi Kabupaten yang Baldatun Thayibatun wa rabbun ghofuur
(Daerah yang subur, makmur, aman, sejahtera, dan dalam ampunan Allah).
Sebaliknya bila pesan tersebut diabaikan oleh pemimpin sekarang, maka
bersiap-siaplah terkena musibah dan kehinaan. Seperti diungkapkan dalam Al Qur’an
: “Mereka ditimpa kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang teguh kepada tali agama Allah dan tali perjanjian dengan manusia”
(Q.S Ali Imron : 112). Semoga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar