MTQ ANTARA SEREMONIAL DAN APLIKASI
( Sebuah Introspeksi terhadap Penyelenggaraan
MTQ )
Oleh: Mursana, M.Ag.*
Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat Kabupaten Cirebon dilaksanakan pada
tanggal 22 Agustus 2008. Kegiatan MTQ tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya
yang biasanya diselenggarakan pada bulan Nopember. Hal ini karena pada bulan
tersebut Kabupaten Cirebon
baru saja mengadakan Pesta Demokrasi Pemilihan Kepala Daerah secara lansung.
Setiap pelaksanaan MTQ tingkat Kabupaten Cirebon selalu saja dibanjiri oleh
masyarakat yang datang dari berbagai daerah. Kondisi seperti ini terjadi karena
masyarakat sangat mencintai Al-Qur’an.
Kitab suci Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang
abadi. Kitab suci ini menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan
dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan sumber inspirasi,
pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan yang
dialami umat Islam ini. Jika demikian halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat
al-Qur’an, melalui penafsirannya, mempunyai peranan yang cukup besar bagi maju
mundurnya umat Islam. Inilah barangkali salah satu kehebatan mu’jizat
al-Qur’an. Ia selalu membuat tantangan kepada umat manusia agar selalu
menggalinya, sehingga al-Qur’an ini senantiasa mushlahat sepanjang masa, tak
terbatas ruang dan waktu. Innal Qur’ana shalihun likulli zaman wa makan
Begitulah cara Allah menjamin keshahihan (keotentikan) al-Qur’an. Jaminan tersebut
diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya, serta berkat
upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama manusia.
Salah satu upaya menjaga dan memelihara al-Qur’an agar
tetap otentik, Pemerintah Republik Indonesia dalam setiap tahunnya
selalu menyelenggarakan kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Kegiatan
tersebut dilaksanakan dari tingkat Desa / Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten / Kota , Propinsi, dan
tingkat Nasional.
Kabupaten Cirebon sebagai bagian dari wilayah teritorial
Negara Kesatuan Republik Indonesia
setiap tahunnya selalu menyelenggarakan MTQ. Hal ini dilakukan dalam rangka
ikut bertanggung jawab dalam menjaga dan memelihara keotentikan al-Qur’an agar
ayat-ayatnya selalu berkumandang di Bumi Pertiwi tercinta ini.
Tujuan dari Pelaksanaan MTQ ini adalah untuk mencari
Qari-qari’ah, Hafizh-hafizhah, Mufassir-mufassirah, Fahimul Qur’an, Syarihul
Qur’an, Khathath dan Khathathath, serta para penulis Al-Qur’an terbaik tingkat
Kabupaten Cirebon, selanjutnya diikutsertakan MTQ tingkat Propinsi Jawa Barat.
Dari tujuan tersebut ternyata pelaksanaan MTQ dari tahun
ke tahun tidak pernah ada perubahan hasilnya. Hasil dari pelaksanaan MTQ hanya
baru bisa bermanfaat bagi pesertanya saja. Itu pun pesertanya hanya itu-itu
saja. Sementara wajah-wajah baru sedikit sekali. Keberadaan Lembaga Pengembangan
Tilawatil Qur’an (LPTQ) yang diharapkan masyarakat bisa mengembangkan Al-Qur’an
juga masih sama seperti jaman dulu, biasa-biasa saja. Akhirnya tujuan dari
MTQ ini baru sebatas seremonial yang menghasilkan keahlian dalam bidang tilawah,
tahfidz, tafsir, syarah, fahm, dan khat Al-qur’an. Sementara ketrampilan
(Skill) untuk bagaimana cara mengaplikasikan sampai dengan saat ini
masih belum tersentuh sama sekali. Padahal untuk penyelenggaraan kegiatan ini
memakan biaya yang tidak sedikit.
Antara Prestasi dan Prestise
Selain kota udang, Cirebon disebut juga kota
wali, karena secara histories daerah ini merupakan peninggalan para wali. Tidak
heran bila disetiap daerah dijumpai banyak Pesantren, Madrasah, Masjid,
Mushalla, Majlis ta’lim, dan tempat syiar lainnya. Dengan modal ini tidak
diragukan lagi bahwa Cirebon
adalah gudangnya para Qari, Mufassir, Khathath, Pensyarah, FahimulQur’an dan
para cendekiawan Al-Qur’an lainnya. Pertanyaannya adalah kenapa setiap ada MTQ
tingkat Propinsi Jawa barat Kabupaten Cirebon tidak pernah menjadi juara umum?
Apakah karena kwalitas Qari/qari’ahnya masih rendah? Atau apakah karena
penghargaan kepada Qari/qari’ah yang berprestasi masih di bawah standar
kabupaten/kota lain, sehingga para Qari/qari’ah yang berasal dari Kabupaten
Cirebon lebih memilih eksodus ke Kabupaten lain yang penghargaannya lebih
tinggi dibanding daerah asalnya? Pertanyaan inilah yang sering muncul dalam
benak para tokoh masyarakat Cirebon .
Agaknya beberapa pertanyaan tadi perlu dicari jawabannya, jangan sampai
pertanyaan ini selalu muncul setiap tahun.
Menurut kebiasaan, apabila kwalitas Qari/qari’ah lebih
baik ketika mengikuti MTQ, maka secara otomatis dia akan mendapatkan kemenangan
karena prestasi tersebut. Tapi lain halnya bila Qari/qari’ah kwalitasnya
tergolong biasa-biasa saja ketika MTQ, lalu dia mendapat kemenangan karena dia
menjadi salah seorang santri dewan hakim atau mungkin karena ada hubungan
emosional antara dia dengan dewan hakim. Hal inilah yang sering terjadi pada
MTQ masa lampau. Banyak para peserta dan official yang ingin protes sebenarnya,
tetapi kepada siapa ?
Barangkali cara-cara seperti inilah salah satu
kebobrokan MTQ dari masa ke masa. Demi mendapatkan gengsi daerah (Prestise)
dari pejabat atau lainnya, segala cara digunakan, walaupun cara itu tidak
Qur’ani. Memang aneh kehidupan pada zaman akhir ini, yang dimusabaqahkan adalah
Al-Qur’an tetapi tidak menggunakan cara-cara yang digariskan Al-Qur’an, bahkan
sebaliknya. Prestasi dan prestise adalah sama-sama penting, tetapi bukan berarti
demi meraih keduanya boleh menggunakan sesuatu yang bertentangan dengan
Al-Qur’an itu sendiri. Jika demikian keadaannya, untuk apa diselenggarakan MTQ
setiap tahun?
Al-Qur’an tinggal tulisannya saja
Barangkali patut untuk direnungkan sebuah hadits Rasulullah
Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari sahabat Ali karramallahu wajhah
bahwa “akan datang pada manusia suatu zaman, dikala itu Islam tidak tinggal
kecuali namanya saja, dan Al-Qur’an tidak tinggal melainkan tulisannya saja,
masjid-masjidnya indah namun kosong dari petunjuk, ulama-ulamanya termasuk
manusia paling jelek yang berada di bawah langit, karena dari mereka timbul
beberapa fitnah dan akan kembali kepadanya”.
Dalam hadits ini menggambarkan bahwa Islam akan hancur
sebagaimana hancurnya kain yang telah usang, sehingga orang tidak lagi
mengetahui apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu zakat, apa itu haji dan lain
sebagainya. Maka kitabnya Allah diterbangkan di malam hari, sehingga di bumi
tidak lagi tertinggal satu ayatpun. Agaknya inilah yang sekarang sedang terjadi
dimana ayat-ayat Al-Qur’an dikumandangkan dengan suara merdu, bacaannya
diperindah untuk mengikuti MTQ agar mendapatkan piala, sehingga setiap orang
yang mendengarkannya terkagum-kagum karena suara dan lagunya bukan karena isinya.
Sangat disayangkan, karena keramaian akan indahnya suara bacaan ayat suci
Al-Qur’an tidak diimbangi dengan kesemarakkan untuk aplikasi ayat-ayat suci
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Aplikasi
nilai-nilai Qur’ani
Bila dikaji secara seksama Al-Qur’an sarat dengan
nilai-nilai dinamis dan universal dalam semua jenis isinya. Dalam ulumul qur’an
(al-itqan, manna’ulqathan fi ulumil qur’an) para ulama membagi Al-Qur’an ke
dalam beberapa kelompok jenis. Namun inti dari keanekaragaman kelompok tersebut
adalah sebagai berikut: Pertama, ayat-ayat aqidah dan akhlak. Dalam hal
ini manusia untuk mencapai kesempurnaan aqidahnya dianjurkan untuk menggunakan
akal fikirannya, sehingga akan dicapai keimanan yang tangguh dan kokoh.
Demikian pula dibidang akhlak, Al-Qur’an menjelaskan secara global, sedangkan
aplikasinya diserahkan kepada pengembangan diri manusia itu sendiri berdasarkan
tempat dan masanya. Kedua, kisah dan amsal dalam Al-Qur’an banyak sekali
memuat kisah orang-orang terdahulu disampaing memuat tamsil agar umat manusia
mengambil hikmah dari mempelajari itu. Kelompok ini sampai kapanpun dan di
manapun akan tetap actual. Ketiga, hukum-hukum amaliah; bidang ubudiyah
dan bidang muamalah. Khusus yang disebut pertama bila disebut ubudiyah dalam
arti sempit, sejak dulu tidak ada perubahan, seperti jumlah rakaat shalat, cara
berpuasa, cara haji, cara zakat dan lain sebagainya. Namun pengetian ubudiyah
dalam arti luas masih dapat dikembangkan terus. Adapun yang berkenaan dengan
bidang muamalah, Al-Qur’an hanya menyebutkan secara garis besarnya saja,
sehingga terus berkembang seperti berkembangnya manusia. Keempat, dasar-dasar
keilmuan. Di dalam Al-Qur’an terdapat teori dasar-dasar keilmuan dari segala
macam disiplin ilmu pengetahuan, Allah mendorong manusia sambil memberi isyarat
agar mengadakan penelitian-penelitian keilmuan untuk kepentingan manusia hidup
di dunia.
Berkenaan dengan penjelasan di atas, dalam satu riwayat
dijelaskan bahwa memang Allah sengaja tidak menuntaskan hokum berbagai masalah
dengan maksud penuntasannya diserahkan kepada manusia sesuai dengan kebutuhan
menurut tuntutan zaman. Selain hal tersebut, dalam hukumIslam (syariah) terdapat hasil penelitian ulama mujtahidin
yang menghasilkan sejumlah kaidah fiqh dan kaidah ushul fiqh yang mampu
mengembangkan dan mengaplikasikan nilai-nilai Qur’ani selaras dengan realitas
sosial, terutama dalam bidang muamalah, seperti dalam satu kaidah: hukum bisa
berubah sesuai dengan perubahan zaman,
tempat dan adat. Taghayurulhukmi bitaghayuril azman wal amkinah wal ‘awaid.
Demikian tulisan sederahana ini semoga menjadi motivasi,
perhatian, dan pertimbangan bagi yang berkecimpung dalam LPTQ. Mudah-mudahan
dengan MTQ tahun 2008 ini, gema Al-Qur’an bukan hanya dalam panggung
seremonial,tetapi juga sampai kepada aplikasinya, sehingga Al-Qur’an membumi di
Kota Wali ini. Amiin.
*Penulis; Mursana, M.Ag.,
Penyuluh Agama Islam dan Official MTQ Kafilah Kec. Plumbon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar