Cari Blog Ini

Rabu, 04 Januari 2017

MTQ ANTARA SEREMONIAL DAN APLIKASI

MTQ ANTARA SEREMONIAL DAN APLIKASI
( Sebuah Introspeksi terhadap Penyelenggaraan MTQ )
Oleh: Mursana, M.Ag.*
                                                                                                   

Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat Kabupaten Cirebon dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus 2008. Kegiatan MTQ tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya yang biasanya diselenggarakan pada bulan Nopember. Hal ini karena pada bulan tersebut Kabupaten Cirebon baru saja mengadakan Pesta Demokrasi Pemilihan Kepala Daerah secara lansung. Setiap pelaksanaan MTQ tingkat Kabupaten Cirebon selalu saja dibanjiri oleh masyarakat yang datang dari berbagai daerah. Kondisi seperti ini terjadi karena masyarakat sangat mencintai Al-Qur’an.
Kitab suci Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang abadi. Kitab suci ini menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan sumber inspirasi, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan yang dialami umat Islam ini. Jika demikian halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an, melalui penafsirannya, mempunyai peranan yang cukup besar bagi maju mundurnya umat Islam. Inilah barangkali salah satu kehebatan mu’jizat al-Qur’an. Ia selalu membuat tantangan kepada umat manusia agar selalu menggalinya, sehingga al-Qur’an ini senantiasa mushlahat sepanjang masa, tak terbatas ruang dan waktu. Innal Qur’ana shalihun likulli zaman wa makan
Begitulah cara Allah menjamin keshahihan (keotentikan) al-Qur’an. Jaminan tersebut diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama manusia.
Salah satu upaya menjaga dan memelihara al-Qur’an agar tetap otentik, Pemerintah Republik Indonesia dalam setiap tahunnya selalu menyelenggarakan kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Kegiatan tersebut dilaksanakan dari tingkat Desa / Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten / Kota, Propinsi, dan tingkat Nasional.
Kabupaten Cirebon sebagai bagian dari wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia setiap tahunnya selalu menyelenggarakan MTQ. Hal ini dilakukan dalam rangka ikut bertanggung jawab dalam menjaga dan memelihara keotentikan al-Qur’an agar ayat-ayatnya selalu berkumandang di Bumi Pertiwi tercinta ini.
Tujuan dari Pelaksanaan MTQ ini adalah untuk mencari Qari-qari’ah, Hafizh-hafizhah, Mufassir-mufassirah, Fahimul Qur’an, Syarihul Qur’an, Khathath dan Khathathath, serta para penulis Al-Qur’an terbaik tingkat Kabupaten Cirebon, selanjutnya diikutsertakan MTQ tingkat Propinsi Jawa Barat.
Dari tujuan tersebut ternyata pelaksanaan MTQ dari tahun ke tahun tidak pernah ada perubahan hasilnya. Hasil dari pelaksanaan MTQ hanya baru bisa bermanfaat bagi pesertanya saja. Itu pun pesertanya hanya itu-itu saja. Sementara wajah-wajah baru sedikit sekali. Keberadaan Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) yang diharapkan masyarakat bisa mengembangkan Al-Qur’an juga masih sama seperti jaman dulu, biasa-biasa saja. Akhirnya tujuan dari MTQ ini baru sebatas seremonial yang menghasilkan keahlian dalam bidang tilawah, tahfidz, tafsir, syarah, fahm, dan khat Al-qur’an. Sementara ketrampilan (Skill) untuk bagaimana cara mengaplikasikan sampai dengan saat ini masih belum tersentuh sama sekali. Padahal untuk penyelenggaraan kegiatan ini memakan biaya yang tidak sedikit.
Antara Prestasi dan Prestise
Selain kota udang, Cirebon disebut juga kota wali, karena secara histories daerah ini merupakan peninggalan para wali. Tidak heran bila disetiap daerah dijumpai banyak Pesantren, Madrasah, Masjid, Mushalla, Majlis ta’lim, dan tempat syiar lainnya. Dengan modal ini tidak diragukan lagi bahwa Cirebon adalah gudangnya para Qari, Mufassir, Khathath, Pensyarah, FahimulQur’an dan para cendekiawan Al-Qur’an lainnya. Pertanyaannya adalah kenapa setiap ada MTQ tingkat Propinsi Jawa barat Kabupaten Cirebon tidak pernah menjadi juara umum? Apakah karena kwalitas Qari/qari’ahnya masih rendah? Atau apakah karena penghargaan kepada Qari/qari’ah yang berprestasi masih di bawah standar kabupaten/kota lain, sehingga para Qari/qari’ah yang berasal dari Kabupaten Cirebon lebih memilih eksodus ke Kabupaten lain yang penghargaannya lebih tinggi dibanding daerah asalnya? Pertanyaan inilah yang sering muncul dalam benak para tokoh masyarakat Cirebon. Agaknya beberapa pertanyaan tadi perlu dicari jawabannya, jangan sampai pertanyaan ini selalu muncul setiap tahun.
Menurut kebiasaan, apabila kwalitas Qari/qari’ah lebih baik ketika mengikuti MTQ, maka secara otomatis dia akan mendapatkan kemenangan karena prestasi tersebut. Tapi lain halnya bila Qari/qari’ah kwalitasnya tergolong biasa-biasa saja ketika MTQ, lalu dia mendapat kemenangan karena dia menjadi salah seorang santri dewan hakim atau mungkin karena ada hubungan emosional antara dia dengan dewan hakim. Hal inilah yang sering terjadi pada MTQ masa lampau. Banyak para peserta dan official yang ingin protes sebenarnya, tetapi kepada siapa ?
Barangkali cara-cara seperti inilah salah satu kebobrokan MTQ dari masa ke masa. Demi mendapatkan gengsi daerah (Prestise) dari pejabat atau lainnya, segala cara digunakan, walaupun cara itu tidak Qur’ani. Memang aneh kehidupan pada zaman akhir ini, yang dimusabaqahkan adalah Al-Qur’an tetapi tidak menggunakan cara-cara yang digariskan Al-Qur’an, bahkan sebaliknya. Prestasi dan prestise adalah sama-sama penting, tetapi bukan berarti demi meraih keduanya boleh menggunakan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an itu sendiri. Jika demikian keadaannya, untuk apa diselenggarakan MTQ setiap tahun?
Al-Qur’an tinggal tulisannya saja
Barangkali patut untuk direnungkan sebuah hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari sahabat Ali karramallahu wajhah bahwa “akan datang pada manusia suatu zaman, dikala itu Islam tidak tinggal kecuali namanya saja, dan Al-Qur’an tidak tinggal melainkan tulisannya saja, masjid-masjidnya indah namun kosong dari petunjuk, ulama-ulamanya termasuk manusia paling jelek yang berada di bawah langit, karena dari mereka timbul beberapa fitnah dan akan kembali kepadanya”.
Dalam hadits ini menggambarkan bahwa Islam akan hancur sebagaimana hancurnya kain yang telah usang, sehingga orang tidak lagi mengetahui apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu zakat, apa itu haji dan lain sebagainya. Maka kitabnya Allah diterbangkan di malam hari, sehingga di bumi tidak lagi tertinggal satu ayatpun. Agaknya inilah yang sekarang sedang terjadi dimana ayat-ayat Al-Qur’an dikumandangkan dengan suara merdu, bacaannya diperindah untuk mengikuti MTQ agar mendapatkan piala, sehingga setiap orang yang mendengarkannya terkagum-kagum karena suara dan lagunya bukan karena isinya. Sangat disayangkan, karena keramaian akan indahnya suara bacaan ayat suci Al-Qur’an tidak diimbangi dengan kesemarakkan untuk aplikasi ayat-ayat suci tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Aplikasi nilai-nilai  Qur’ani
Bila dikaji secara seksama Al-Qur’an sarat dengan nilai-nilai dinamis dan universal dalam semua jenis isinya. Dalam ulumul qur’an (al-itqan, manna’ulqathan fi ulumil qur’an) para ulama membagi Al-Qur’an ke dalam beberapa kelompok jenis. Namun inti dari keanekaragaman kelompok tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ayat-ayat aqidah dan akhlak. Dalam hal ini manusia untuk mencapai kesempurnaan aqidahnya dianjurkan untuk menggunakan akal fikirannya, sehingga akan dicapai keimanan yang tangguh dan kokoh. Demikian pula dibidang akhlak, Al-Qur’an menjelaskan secara global, sedangkan aplikasinya diserahkan kepada pengembangan diri manusia itu sendiri berdasarkan tempat dan masanya. Kedua, kisah dan amsal dalam Al-Qur’an banyak sekali memuat kisah orang-orang terdahulu disampaing memuat tamsil agar umat manusia mengambil hikmah dari mempelajari itu. Kelompok ini sampai kapanpun dan di manapun akan tetap actual. Ketiga, hukum-hukum amaliah; bidang ubudiyah dan bidang muamalah. Khusus yang disebut pertama bila disebut ubudiyah dalam arti sempit, sejak dulu tidak ada perubahan, seperti jumlah rakaat shalat, cara berpuasa, cara haji, cara zakat dan lain sebagainya. Namun pengetian ubudiyah dalam arti luas masih dapat dikembangkan terus. Adapun yang berkenaan dengan bidang muamalah, Al-Qur’an hanya menyebutkan secara garis besarnya saja, sehingga terus berkembang seperti berkembangnya manusia. Keempat, dasar-dasar keilmuan. Di dalam Al-Qur’an terdapat teori dasar-dasar keilmuan dari segala macam disiplin ilmu pengetahuan, Allah mendorong manusia sambil memberi isyarat agar mengadakan penelitian-penelitian keilmuan untuk kepentingan manusia hidup di dunia.
Berkenaan dengan penjelasan di atas, dalam satu riwayat dijelaskan bahwa memang Allah sengaja tidak menuntaskan hokum berbagai masalah dengan maksud penuntasannya diserahkan kepada manusia sesuai dengan kebutuhan menurut tuntutan zaman. Selain hal tersebut, dalam hukumIslam (syariah)  terdapat hasil penelitian ulama mujtahidin yang menghasilkan sejumlah kaidah fiqh dan kaidah ushul fiqh yang mampu mengembangkan dan mengaplikasikan nilai-nilai Qur’ani selaras dengan realitas sosial, terutama dalam bidang muamalah, seperti dalam satu kaidah: hukum bisa berubah  sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan adat. Taghayurulhukmi bitaghayuril azman wal   amkinah wal ‘awaid.
Demikian tulisan sederahana ini semoga menjadi motivasi, perhatian, dan pertimbangan bagi yang berkecimpung dalam LPTQ. Mudah-mudahan dengan MTQ tahun 2008 ini, gema Al-Qur’an bukan hanya dalam panggung seremonial,tetapi juga sampai kepada aplikasinya, sehingga Al-Qur’an membumi di Kota Wali ini. Amiin.

*Penulis; Mursana, M.Ag.,
Penyuluh Agama Islam dan Official MTQ Kafilah Kec. Plumbon



Tidak ada komentar:

Posting Komentar