AKTUALISASI IBADAH HAJI
Oleh: Mursana, M.Ag.*
Pemulangan jama’ah haji Keloter pertama dari Kabupaten
Cirebon telah tiba di Kampung halamannya dengan selamat pada tanggal 7 Desember
2009 lalu. Wajah-wajah mereka terlihat penuh kegembiraan, karena mereka baru
saja melaksanakan kewajiban menunaikan rangkaian manasik ibadah haji yang
merupakan rukun Islam kelima. Selamat datang para tamu Allah di Tanah Air tercinta, semoga menjadi haji
mabrur.
Setelah mereka pulang ke Tanah
Air tentu saja tugas mereka sudah selesai secara yuridis formal, sebab mereka
telah memenuhi syarat dan rukun haji selama di Tanah Suci. Akan tetapi secara
moral, tugas mereka belum selesai, bahkan tugas mereka lebih berat lagi setelah
berada di Tanah Air. Yakni bagaimana melestarikan kemabruran haji mereka dan
sejauhmana nilai-nilai yang diajarkan ibadah haji bisa diaktualisasikan dalam
kehidupan sehari-hari menurut status dan potensinya di Masyarakat.
Sudah lebih dari sepuluh tahun krisis
multidimensi, termasuk krisis moneter melanda negeri ini. Namun walaupun
demikian, nampaknya jama’ah haji kita setiap tahun kwantitasnya semakin
bertambah. Bahkan selama dekade tersebut ada juga yang berangkat haji
berulang-ulang lebih dari tiga kali. Demikian halnya di Kabupaten Cirebon.
Idealnya “Semakin banyak orang berangkat menunaikan ibadah haji, berarti
semakin sedikit angka kriminalitas di negeri ini”. Namun realitasnya jauh
dari harapan, ternyata semakin banyak orang yang melakukan ibadah haji, semakin
banyak juga angka kriminalitas di negeri ini. Kalau begitu ada apa dengan haji
kita? Kenapa kwantitas jamaah haji naik, tetapi kwalitasnya turun?
Menurut HM. Jamal, seorang
pemerhati sosial keagamaan, ada tiga faktor kenapa banyak orang Islam yang
melakukan ibadah haji berkali-kali? Pertama,
bisa jadi karena riya. Supaya semua
orang tahu kalau dia itu orang kaya. Kedua,
karena tidak mengetahui maksud dan tujuan ibadah haji itu sendiri. Tujuan haji
itu untuk mendapatkan haji mabrur. Untuk meraihnya tidak harus dilakukan
berkali-kali. Yang penting bagaimana prilakunya setelah menunaikan ibadah haji,
lebih baik dan lebih sempurna. Jika seseorang sebelum haji Shalat sering bolong,
maka jika dia mendapat haji mabrur shalatnya tambah rajin. Atau sebelum haji
terbiasa dengan kebohongan, bisnis kotor, setelah haji dia meninggalkan
perbuatan dosa itu. Ketiga, bisa
terjadi karena memang dia rindu ke Baitullah. Untuk itu yang paling penting
adalah nawaitunya, karena niat
seseorang dalam berhaji akan sangat menentukan kwalitas hajinya. Jadi, Kwantitas
naik haji tidak menjamin kwalitas haji seseorang.
Oleh karena itu pembinaan dan
bimbingan kepada calon jemaah haji harus betul-betul serius, tidak terkesan
asal-asalan. Kepada para tutor atau instruktur bimbingan haji diharapkan
tugasnya bukan hanya mengajar atau menyampaikan materi saja. Selesai mengajar
selesai juga tugasnya, tetapi yang lebih penting lagi adalah mendidik. Niat
seorang pendidik dan suritauladannya (uswatun hasanah), akan menentukan hasil
pembinaan tersebut kepada jama’ah ketika menunaikan ibadah haji dan pasca haji.
Begitu halnya dengan organisasi IPHI yang ada di kecamatan-kecamatan agar
difungsikan keberadaannya membina alumni-alumni haji supaya mereka tidak
seperti Si buta kehilangan tongkatnya.
Tidak tahu sama sekali apa yang harus dilakukan pasca haji. Sebab kehidupan pasca haji jauh lebih
penting daripada hajinya itu sendiri.
Ibadah haji adalah ibadah yang
sarat dengan simbol-simbol yang harus bisa diaktualisasikan dalam kehidupan
sehari-hari pasca haji. Ada beberapa simbol (nilai) ibadah haji yang harus
diaktualisasikan oleh para Hujaj setibanya di Tanah Air, diantaranya adalah
sebagai berikut:
Pertama, haji
merupakan panggilan Allah SWT. yang harus segera disambut dan dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab. Ini
merupakan simbol bahwa siapapun orangnya, apapun statusnya, apabila ada
panggilan untuk menjalankan suatu perintah dari yang lebih tinggi, apakah dari
Allah seperti perintah shalat, zakat, puasa atau dari Rosul Saw. seperti sholat
dan puasa sunnah atau mungkin dari atasannya, maka perintah tersebut harus
segera dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Kedua, pelaksanaan Ihram. Ihram ialah niat melaksanakan
haji atau umrah (Sayid Sabiq : 1983). Sebagaimana ibadah lainnya, ibadah haji
juga harus disertai niat. Niat itu menjadi barometernya setiap amal. Apabila
niatnya baik, baik pula amalnya. Sebaliknya niatnya jelek, jelek pulalah hasil
amalnya. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya
amal itu harus disertai niat” HR.Bukhori dan Muslim. Niat utama haji adalah
hanya menuju pada orbit Allah SWT. Sedangkan pengenaan pakaian ihram merupakan
simbol dari fitrah manusia yang “Zero”. Ihrom juga melambangkan kemerdekaan dan
pembebasan dari belenggu-belenggu, seperti: prasangka negatif, prinsip hidup
selain dari Allah, bentukan pengalaman lampau, kepentingan, sudut pandang yang
subyektif yang mempengaruhi pemikiran. Yang semuanya adalah topeng-topeng yang
menutup hati. Dengan pakaian ihrom maka suara hati untuk bersikap adil,
bijaksana, pengasih, jujur, amanat, peduli dan lain-lain yang ada dalam Asmaul
husna bisa terbuka dari belenggu yang selama ini mengikat fitrah diri. Demikian
diungkapkan oleh Ary Gynanjar Agustian (2005). Orang yang ihrom dengan ikhlas
karena Allah, maka akan melahirkan manusia yang adil, bijaksana, kreatif, penolong,
visioner dan sifat mulia lainnya setelah berada di Tanah Air. Berarti orang
yang zalim, diskriminatif, galak, pembohong, khianat, tidak peduli, korup
disebabkan karena ihromnya main-main.
Ketiga, Wuquf di Arofah. Menurut bahasa Wuquf
artinya berhenti secara fisik, namun bergerak secara fikiran. Untuk apa fikiran
itu bergerak? Fikiran itu bergerak untuk mengenali diri sendiri, evaluasi dan
solusi. Jadi orang yang selalu Wuquf berarti orang yang mengetahui siapa
dirinya. Sehingga hidup
dimanapun serta dalam posisi apapun, aman-aman saja. No problem. Orang yang
selalu Wuquf juga berarti orang yang suka mengevaluasi apa-apa yang telah
dilakukan masa lampau. Setelah mengevaluasi diri, lalu dia mengambil solusi
terhadap pemecahan masalah tersebut, kira-kira langkah-langkah apa yang harus
dilakukan ke depan untuk penyelesaian masalah tersebut.
Keempat, pelaksanaan Thawaf. Menurut Ary Gynanjar Agustian
“Thawaf merupakan suatu langkah fisik untuk mengelilingi Ka’bah”. Mengelilingi
Ka’bah melambangkan kegiatan manusia tiada henti. Berpusat pada Ka’bah,
melambangkan bahwa segala kegiatan apapun yang dilakukan oleh manusia hanya
berprinsip kepada Allah SWT. Semata-mata inilah pusat prinsip manusia : Laa Ilaaha Illallah.
Kelima, pelaksanaan Sa’i. menurut Fiqh Islam, Sa’i adalah
lari-lari kecil dari Bukit Shafa ke Marwa. Sejarahnya ketika zaman Nabi Ibrahim
AS. masih hidup. Siti Hajar istrinya berlari-lari, bolak-balik antara Bukit
Shofa ke Marwa mencari air untuk anaknya. Ternyata air itu baru bisa ditemukan setelah melakukan
pencarian yang panjang. Sa’i melambangkan pengasahan kekuatan jiwa. Orang hidup
harus berjuang untuk menggapai cita-cita. Kalau gagal sekali, coba lagi. Gagal
lagi, coba lagi dan seterusnya. Dalam hidup juga harus optimis, tidak boleh
psimis. Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Begitu kata ahli hikmah.
Keenam, melontar Jumrah. Pada zaman dulu, ketika Nabi
Ibrahim akan menyembelih putra Ismail AS, tiba-tiba Ismail As. melihat syetan
yang akan menghalangi niat baik Nabi Ibrahim AS yang akan menyembelih putranya.
Lalu Ismail As. melempar syetan tersebut dengan jumroh. Melontar jumroh sebagai
lambang bahwa setiap orang yang menginginkan hidup secara benar selalu saja ada
penghalang. Tidak sedikit orang yang gagal dalam hidupnya karena tidak mampu
melempar penghalang tersebut. Adapun penghalang syetan pada masa lalu, sekarang
diwujudkan dalam bentuk: Nafsu lahiriyah,
seperti ingin selingkuh dengan wanita lain yang lebih cantik, Nafsu ingin menjadi penguasa, padahal
dia tidak berpotensi untuk itu, Nafsu
ingin cepat kaya dengan jalan yang tidak halal, serta Nafsu pengabdian kepada selain Allah seperti memuja professi, harta
benda, jabatan, kehormatan dan lain-lain sehingga melupakan Allah SWT. Penghalang-penghalang
tersebut harus dibersihkan di dalam hati kita. Kalau tidak dibersihkan
menyebabkan hati tertutup, hati tidak mau melihat dan mendengar kebenaran dari
Allah SWT.
Ketujuh, ibadah haji
melahirkan kedisiplinan. Coba
perhatikan! Semua yang dilakukan dalam manasik haji sesuai dengan jam, hari dan
tempat, serta pakaian ibadah yang telah ditentukan. Hal ini melambangkan sikap
kedisiplinan waktu, belajar, bekerja, makan, dan istirahat. Kalau yang satu
Wukuf, maka Wukuflah semua. Begitu juga kalau yang satu pakai baju ihram, yang
lain juga pakai. Inilah makna kedisiplinan yang harus dikembangkan pasca haji,
walau tanpa pengawasan.
Kedelapan, selalu berkata yang benar dan banyak shadaqoh. Dalam pelaksanaan
ibadah haji, seseorang tidak boleh mengucapkan kata yang menyakitkan orang lain
dan dianjurkan untuk banyak shadaqoh. Rasul Saw pernah ditanya tentang
indikator haji mabrur, maka beliau menjawab: “Suka memberi makan (kepada fakir miskin) dan tutur kata yang damai”
HR. Ahmad. Berkata yang benar adalah lambang akhlakul karimah, sedangkan
memberi makan adalah lambang solidaritas, kepedulian kepada sesama.
Demikian beberapa hal yang
perlu disampaikan dalam tulisan ini dengan harapan para Hujaj tahun ini lebih
baik kwalitas ibadah hajinya, sehingga nilai-nilai spiritual yang ada dalam
ibadah ini bisa diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari pasca haji. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar