Cari Blog Ini

Rabu, 04 Januari 2017

AKTUALISASI IBADAH HAJI
Oleh: Mursana, M.Ag.*

Pemulangan jama’ah haji Keloter pertama dari Kabupaten Cirebon telah tiba di Kampung halamannya dengan selamat pada tanggal 7 Desember 2009 lalu. Wajah-wajah mereka terlihat penuh kegembiraan, karena mereka baru saja melaksanakan kewajiban menunaikan rangkaian manasik ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima. Selamat datang para tamu Allah di Tanah Air tercinta, semoga menjadi haji mabrur.
Setelah mereka pulang ke Tanah Air tentu saja tugas mereka sudah selesai secara yuridis formal, sebab mereka telah memenuhi syarat dan rukun haji selama di Tanah Suci. Akan tetapi secara moral, tugas mereka belum selesai, bahkan tugas mereka lebih berat lagi setelah berada di Tanah Air. Yakni bagaimana melestarikan kemabruran haji mereka dan sejauhmana nilai-nilai yang diajarkan ibadah haji bisa diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari menurut status dan potensinya di Masyarakat.         
  Sudah lebih dari sepuluh tahun krisis multidimensi, termasuk krisis moneter melanda negeri ini. Namun walaupun demikian, nampaknya jama’ah haji kita setiap tahun kwantitasnya semakin bertambah. Bahkan selama dekade tersebut ada juga yang berangkat haji berulang-ulang lebih dari tiga kali. Demikian halnya di Kabupaten Cirebon. Idealnya “Semakin banyak orang berangkat menunaikan ibadah haji, berarti semakin sedikit angka kriminalitas di negeri ini”. Namun realitasnya jauh dari harapan, ternyata semakin banyak orang yang melakukan ibadah haji, semakin banyak juga angka kriminalitas di negeri ini. Kalau begitu ada apa dengan haji kita? Kenapa kwantitas jamaah haji naik, tetapi kwalitasnya turun?
Menurut HM. Jamal, seorang pemerhati sosial keagamaan, ada tiga faktor kenapa banyak orang Islam yang melakukan ibadah haji berkali-kali? Pertama, bisa jadi karena riya. Supaya semua orang tahu kalau dia itu orang kaya. Kedua, karena tidak mengetahui maksud dan tujuan ibadah haji itu sendiri. Tujuan haji itu untuk mendapatkan haji mabrur. Untuk meraihnya tidak harus dilakukan berkali-kali. Yang penting bagaimana prilakunya setelah menunaikan ibadah haji, lebih baik dan lebih sempurna. Jika seseorang sebelum haji Shalat sering bolong, maka jika dia mendapat haji mabrur shalatnya tambah rajin. Atau sebelum haji terbiasa dengan kebohongan, bisnis kotor, setelah haji dia meninggalkan perbuatan dosa itu. Ketiga, bisa terjadi karena memang dia rindu ke Baitullah. Untuk itu yang paling penting adalah nawaitunya, karena niat seseorang dalam berhaji akan sangat menentukan kwalitas hajinya. Jadi, Kwantitas naik haji tidak menjamin kwalitas haji seseorang.
Oleh karena itu pembinaan dan bimbingan kepada calon jemaah haji harus betul-betul serius, tidak terkesan asal-asalan. Kepada para tutor atau instruktur bimbingan haji diharapkan tugasnya bukan hanya mengajar atau menyampaikan materi saja. Selesai mengajar selesai juga tugasnya, tetapi yang lebih penting lagi adalah mendidik. Niat seorang pendidik dan suritauladannya (uswatun hasanah), akan menentukan hasil pembinaan tersebut kepada jama’ah ketika menunaikan ibadah haji dan pasca haji. Begitu halnya dengan organisasi IPHI yang ada di kecamatan-kecamatan agar difungsikan keberadaannya membina alumni-alumni haji supaya mereka tidak seperti Si buta kehilangan tongkatnya. Tidak tahu sama sekali apa yang harus dilakukan pasca haji. Sebab kehidupan pasca haji jauh lebih penting daripada hajinya itu sendiri.
Ibadah haji adalah ibadah yang sarat dengan simbol-simbol yang harus bisa diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari pasca haji. Ada beberapa simbol (nilai) ibadah haji yang harus diaktualisasikan oleh para Hujaj setibanya di Tanah Air, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, haji merupakan panggilan Allah SWT. yang harus segera disambut dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Ini merupakan simbol bahwa siapapun orangnya, apapun statusnya, apabila ada panggilan untuk menjalankan suatu perintah dari yang lebih tinggi, apakah dari Allah seperti perintah shalat, zakat, puasa atau dari Rosul Saw. seperti sholat dan puasa sunnah atau mungkin dari atasannya, maka perintah tersebut harus segera dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Kedua, pelaksanaan Ihram. Ihram ialah niat melaksanakan haji atau umrah (Sayid Sabiq : 1983). Sebagaimana ibadah lainnya, ibadah haji juga harus disertai niat. Niat itu menjadi barometernya setiap amal. Apabila niatnya baik, baik pula amalnya. Sebaliknya niatnya jelek, jelek pulalah hasil amalnya. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya amal itu harus disertai niat” HR.Bukhori dan Muslim. Niat utama haji adalah hanya menuju pada orbit Allah SWT. Sedangkan pengenaan pakaian ihram merupakan simbol dari fitrah manusia yang “Zero”. Ihrom juga melambangkan kemerdekaan dan pembebasan dari belenggu-belenggu, seperti: prasangka negatif, prinsip hidup selain dari Allah, bentukan pengalaman lampau, kepentingan, sudut pandang yang subyektif yang mempengaruhi pemikiran. Yang semuanya adalah topeng-topeng yang menutup hati. Dengan pakaian ihrom maka suara hati untuk bersikap adil, bijaksana, pengasih, jujur, amanat, peduli dan lain-lain yang ada dalam Asmaul husna bisa terbuka dari belenggu yang selama ini mengikat fitrah diri. Demikian diungkapkan oleh Ary Gynanjar Agustian (2005). Orang yang ihrom dengan ikhlas karena Allah, maka akan melahirkan manusia yang adil, bijaksana, kreatif, penolong, visioner dan sifat mulia lainnya setelah berada di Tanah Air. Berarti orang yang zalim, diskriminatif, galak, pembohong, khianat, tidak peduli, korup disebabkan karena ihromnya main-main.
Ketiga, Wuquf di Arofah. Menurut bahasa Wuquf artinya berhenti secara fisik, namun bergerak secara fikiran. Untuk apa fikiran itu bergerak? Fikiran itu bergerak untuk mengenali diri sendiri, evaluasi dan solusi. Jadi orang yang selalu Wuquf berarti orang yang mengetahui siapa dirinya. Sehingga hidup dimanapun serta dalam posisi apapun, aman-aman saja. No problem. Orang yang selalu Wuquf juga berarti orang yang suka mengevaluasi apa-apa yang telah dilakukan masa lampau. Setelah mengevaluasi diri, lalu dia mengambil solusi terhadap pemecahan masalah tersebut, kira-kira langkah-langkah apa yang harus dilakukan ke depan untuk penyelesaian masalah tersebut.
Keempat, pelaksanaan Thawaf. Menurut Ary Gynanjar Agustian “Thawaf merupakan suatu langkah fisik untuk mengelilingi Ka’bah”. Mengelilingi Ka’bah melambangkan kegiatan manusia tiada henti. Berpusat pada Ka’bah, melambangkan bahwa segala kegiatan apapun yang dilakukan oleh manusia hanya berprinsip kepada Allah SWT. Semata-mata inilah pusat prinsip manusia : Laa Ilaaha Illallah.

Kelima, pelaksanaan Sa’i. menurut Fiqh Islam, Sa’i adalah lari-lari kecil dari Bukit Shafa ke Marwa. Sejarahnya ketika zaman Nabi Ibrahim AS. masih hidup. Siti Hajar istrinya berlari-lari, bolak-balik antara Bukit Shofa ke Marwa mencari air untuk anaknya. Ternyata air itu baru bisa ditemukan setelah melakukan pencarian yang panjang. Sa’i melambangkan pengasahan kekuatan jiwa. Orang hidup harus berjuang untuk menggapai cita-cita. Kalau gagal sekali, coba lagi. Gagal lagi, coba lagi dan seterusnya. Dalam hidup juga harus optimis, tidak boleh psimis. Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Begitu kata ahli hikmah.
Keenam, melontar Jumrah. Pada zaman dulu, ketika Nabi Ibrahim akan menyembelih putra Ismail AS, tiba-tiba Ismail As. melihat syetan yang akan menghalangi niat baik Nabi Ibrahim AS yang akan menyembelih putranya. Lalu Ismail As. melempar syetan tersebut dengan jumroh. Melontar jumroh sebagai lambang bahwa setiap orang yang menginginkan hidup secara benar selalu saja ada penghalang. Tidak sedikit orang yang gagal dalam hidupnya karena tidak mampu melempar penghalang tersebut. Adapun penghalang syetan pada masa lalu, sekarang diwujudkan dalam bentuk: Nafsu lahiriyah, seperti ingin selingkuh dengan wanita lain yang lebih cantik, Nafsu ingin menjadi penguasa, padahal dia tidak berpotensi untuk itu, Nafsu ingin cepat kaya dengan jalan yang tidak halal, serta Nafsu pengabdian kepada selain Allah seperti memuja professi, harta benda, jabatan, kehormatan dan lain-lain sehingga melupakan Allah SWT. Penghalang-penghalang tersebut harus dibersihkan di dalam hati kita. Kalau tidak dibersihkan menyebabkan hati tertutup, hati tidak mau melihat dan mendengar kebenaran dari Allah SWT.
Ketujuh, ibadah haji melahirkan kedisiplinan. Coba perhatikan! Semua yang dilakukan dalam manasik haji sesuai dengan jam, hari dan tempat, serta pakaian ibadah yang telah ditentukan. Hal ini melambangkan sikap kedisiplinan waktu, belajar, bekerja, makan, dan istirahat. Kalau yang satu Wukuf, maka Wukuflah semua. Begitu juga kalau yang satu pakai baju ihram, yang lain juga pakai. Inilah makna kedisiplinan yang harus dikembangkan pasca haji, walau tanpa pengawasan.
Kedelapan, selalu berkata yang benar dan banyak shadaqoh. Dalam pelaksanaan ibadah haji, seseorang tidak boleh mengucapkan kata yang menyakitkan orang lain dan dianjurkan untuk banyak shadaqoh. Rasul Saw pernah ditanya tentang indikator haji mabrur, maka beliau menjawab: “Suka memberi makan (kepada fakir miskin) dan tutur kata yang damai” HR. Ahmad. Berkata yang benar adalah lambang akhlakul karimah, sedangkan memberi makan adalah lambang solidaritas, kepedulian kepada sesama.
Demikian beberapa hal yang perlu disampaikan dalam tulisan ini dengan harapan para Hujaj tahun ini lebih baik kwalitas ibadah hajinya, sehingga nilai-nilai spiritual yang ada dalam ibadah ini bisa diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari pasca haji. Amin



Tidak ada komentar:

Posting Komentar