Cari Blog Ini

Rabu, 04 Januari 2017

KETIKA “SANTRI” JAUH DARI ULAMA

KETIKA “SANTRI” JAUH DARI ULAMA
Oleh : Mursana, M.Ag.

Sepintas lalu judul ini sangat kontradiktif dengan tradisi yang ada di kalangan masyarakat kita. Kata santri biasanya dipakai untuk sebutan seorang murid yang belajar Agama kepada seorang ulama. Ini berarti bahwa antara santri dan ulama tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Kedekatan seorang santri dan loyalitasnya terhadap ulama tidak perlu diragukan lagi. Karena seorang santri sangat membutuhkan ilmu dari seorang ulama. Apapun yang diperintahkannya seorang santri hanya bersikap sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami ta’at). Itu semua, nampaknya hanya terjadi di lingkungan pondok pesantren atau lembaga pendidikan Islam lainnya. Namun apabila seorang santri sudah tidak lagi berguru kepada seorang ulama (keluar dari pesantren atau lembaga pendidikan Islam lainnya), lalu dia berkiprah di masyarakat; ada yang menjadi politisi, birokrat, kepala kantor, atau mungkin menjadi seorang pemimpin perusahaan, sering kali simbol-simbol kesantrian itu hilang. Kata santri sering diucapkan hanya untuk mengelabui orang dalam rangka untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang sifatnya hanya menguntungkan pribadi dan golongannya. Barangkali inilah realitas yang ada di masyarakat kita.
Dalam tulisan ini ada dua kata kunci yang harus dipahami yaitu: kata santri dan ulama. Dalam terminologi Clifford Geerts (1989) perkataan santri mempunyai arti luas dan arti sempit. Dalam arti sempit, santri adalah seorang murid di suatu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Sedangkan dalam arti luas santri adalah bagian dari penduduk jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, bersembahyang, pergi ke masjid pada hari Jum’at, mengaji dan lain-lain. Kegiatan keseharian santri, disamping mengaji juga dilatih kedisiplinannya dengan mengerjakan kewajiban agama seperti sholat berjamaah dan puasa. Dalam banyak pesantren, seorang santri yang tidak ikut sholat berjama’ah dikenakan hukuman ringan yang sifatnya mendidik. Adakalanya hukuman berupa membaca surat-surat tertentu dari al-Qur’an atau membersihkan lingkungan pesantren. Ada lagi anjuran untuk melakukan puasa sunah atau dzikir-dzikir tertentu secara kolektif yang dikerjakan pada waktu-waktu tertentu.
Dalam hal pergaulan santri dengan masyarakat luar, terdapat batasan-batasan yang ketat mengingat ulama (Kiai sebutan masyarakat Jawa) bukan hanya memiliki kewajiban untuk mengajarkan santri, akan tetapi juga berfungsi sebagai pengganti orang tua yang bertanggung jawab penuh atas keselamatan setiap santri sekaligus membentuk kepribadiannya. Di samping bertujuan untuk menjaga keselamatan santri dan dapat mempermudah mengontrol dan mengamati perkembangan para santri, sistem isolasi ini juga bertujuan agar para santri dapat memaksimalkan waktu belajar mereka tanpa harus terganggu dengan urusan-urusan yang lainnya. Begitu juga halnya dengan pergaulan antara santriwan dan santriwati hanya mereka yang memiliki hubungan darah (muhrim) saja yang boleh berjumpa. Apabila terjadi hubungan dengan yang bukan muhrimnya, maka dikenakan Ta’zir (hukuman) karena dianggap melanggar syariat agama. Demikian sekilas kegiatan santri ketika masih belajar di pondok pesantren. Mereka bukan hanya diajarkan keilmuan tetapi juga diajarkan akhlakul karimah.
Selanjutnya yang harus dipahami adalah kata ulama. Penyebutan atau penggunaan kata ulama mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan definisi tentang ulama itu sendiri (Faiqoh : 2003). Di negara Timur Tengah penisbatan ulama diberikan kepada seorang Syaikh atau Mursyid. Di Indonesia sebutan seorang ulama dalam berbagai versi. Di daerah Jawa ulama disebut Kiai, di daerah Pasundan disebut Ajengan. Sementara di Bali dan NTB disebut Tuan Guru. Secara normatif istilah Ulama diambil dari ayat al-Qur’an. “Sesungguhnya ulama adalah orang yang takut kepada Allah”. Dalam hadits Nabi SAW, disebutkan; “Para ulama adalah pewaris para Nabi.” Kata Ulama menunjukkan makna jamak diambil dari kata ‘aliim; orang yang menguasai dan mendalami ilmu pengetahuan. Apapun perbedaan seputar ulama, namun pada prinsipnya ulama memiliki pandangan yang sama tentang penyebaran misi Islam. Untuk konteks ulama Indonesia, (Kiai; Jawa), yang memiliki tanggung jawab mensosialisasikan Islam dan membentuk masyarakat yang baik berdasarkan Islam, maka salah satu jalan yang digunakan adalah dengan mendirikan pondok pesantren.
Di Pondok Pesantren itulah seorang ulama dengan ikhlas karena Allah mengajarkan ilmunya kepada para santri, tanpa mengenal lelah. Di tempat itu juga seorang ulama membentuk karakter kepribadian santri agar suatu saat nanti bisa hidup pada zamannya berguna bagi masyarakat dan bangsa yang berasaskan akhlakul karimah. Selama bertahun-tahun santri menimba ilmu kepada ulama, sehingga ilmu ulama boleh dikatakan menyatu dalam dirinya pada waktu di pesantren tersebut. Tetapi ketika ia hidup di lingkungan yang berbeda dengan pesantren, kerapkali ia melupakan nasehat sang ulama. Idealisnya sudah seperti macan ompong. Dulu ketika ia masih di pesantren sering menggembar-gemborkan pentingnya ngaji rasa; tidak boleh menzholimi orang lain, tidak boleh merasa diri paling benar, tidak boleh KKN, tidak boleh sombong, sebaliknya harus menanamkan kasih sayang kepada sesama, jujur, adil, bijaksana, rendah hati, dan lain-lain. Setelah Ia sudah tidak lagi menjadi seorang santri secara formal, Ia duduk sebagai anggota legislatif, kepala kantor, atau mungkin menjadi seorang politisi, maka dengan sendirinya nilai-nilai kesantrian itu sedikit demi sedikit terkena erosi, karena mungkin terbawa arus. Idealnya Ia menjadi suri tauladan dan pembaharu setiap langkahnya untuk rekan-rekannya. Bukan malah sebaliknya.
Melalui tulisan sederhana ini Penulis mengajak kepada teman-teman santri yang sudah tidak lagi menjadi Santri Formal. Mari kita kembali kepada hati nurani, walaupun kita sudah tidak bersama-sama lagi dengan ulama secara formal, tetapi hati, mata dan telinga kita seolah-olah melihat, mendengar, dan merasakan nasehat-nasehat ulama tersebut, kapan dan di manapun berada. Jangan sampai kita jauh, lebih-lebih lari dari ulama. Kita harus takut terhadap akibat, apabila jauh dari ulama seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Bakal datang suatu masa yang terjadi pada umatku, mereka lari dari ulama. Maka Allah SWT memberikan cobaan kepada mereka tiga perkara, yaitu Allah menghilangkan keberkahan dari kasabnya (usahanya), Allah menempatkan pemimpin yang zholim, dan mereka keluar dari dunia (mati) dalam keadaan tidak membawa Iman.”
Hadits di atas merupakan ancaman dari Rosulullah SAW kepada seluruh umat Nabi Muhammad SAW yang coba-coba lari dari ulama (sebagai pewaris para Nabi). Ancaman tersebut merupakan musibah (cobaan) yang langsung ditimpahkan kepada mereka yang berani menghina, melecehkan, sekaligus tidak mau mendengarkan dan menuruti nasehat-nasehat para ulama. Adapun ancaman musibah itu ada tiga perkara, yaitu:
Pertama; dicabut keberkahan dari usahanya. Orang yang jauh dari nasehat ulama otomatis hidupnya tidak akan terkontrol. Ia akan selalu menerjang rambu-rambu agama. Sehingga tidak tahu apakah yang dikerjakannya itu halal atau haram. Bahkan lebih berbahaya lagi, demi mencapai suatu tujuan yang haram pun Ia lakukan. Maka pantas kalau Allah SWT berfirman, “Kalau sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka pasti akan kami bukakan keberkahan kepada mereka yang datang dari langit dan bumi (lahir-batin). Tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami. Maka kami timpahkan siksa, akibat apa yang mereka usahakan” (QS. Al-A’rof : 96). Dalam sebuah renungan (muhasabah), KH. ABDULLAH GYMNASTIAR yang akrab dipanggil Aa Gym, pernah mengatakan; “Kita sering berfikir dan menyaksikan, mengapa uang yang banyak tidak selalu menjadi jaminan kebahagiaan? Mengapa rumah yang besar dan megah tidak selalu menjadi jaminan kebahagiaan dan kemulyaan bagi pemiliknya? Mengapa istri yang cantik jelita atau suami yang tampan tidak selalu menjadi jaminan kebahagiaan dalam rumah tangga? Mengapa ilmu yang luas tidak mengangkat derajat pemiliknya? Malah menghinakannya? Dan lain-lain, padahal mencari, berusaha untuk mendapatkannya melalui perjuangan susah payah. Tetapi ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya? Bahkan sebaliknya bukan kebahagiaan atau ketenteraman yang diperoleh, melainkan masalah dan malapetaka. Apa penyebabnya? Sebenarnya penyebabnya sederhana sekali, yakni bahwa semua yang dimilikinya itu tidak memperoleh keberkahan dari Allah SWT.”
Pertanyaannya adalah kenapa tidak memperoleh keberkahan dari Allah SWT? Jawabnya adalah karena apa yang mereka peroleh dari hasil usahanya itu didapatkan dengan cara yang tidak halal yaitu suatu cara yang menerjang rambu-rambu dan batasan-batasan iman dan ketaqwaan. Padahal Ia sadar dan tahu bahwa perbuatannya itu dilarang, tapi Ia tetap melaksanakannya demi mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu dalam hal apapun; uang, rumah, istri, suami, harta, pangkat, jabatan, dan lalin-lain, yang harus kita khawatirkan terhadapnya adalah tidak ada keberkahan dari Allah atas semua itu.
Dengan demikian tidak ada umur yang lebih bermanfaat dan berbarokah kecuali umur itu digunakan untuk pengabdian kepada Allah dan RosulNya. Menggunakan jabatan dan wewenang yang sangat membawa berkah tiada lain kecuali mengenyampingkan kepentingan pribadi di atas hak dan kesenangan Allah. Harta kekayaan yang melimpah yang kita kuasai yang membawa berkah, tiada lain kecuali harta yang bersih yang tertunaikan kewajiban-kewajibannya, baik hak orang lain apalagi hak umat.
Kedua : diberi pemimpin yang zholim, bukan pemimpin sebagai pengayom masyarakat (khodimul ummat) yang memberi ketenteraman dan keamanan, tetapi sebaliknya pemimpin yang meresahkan dan mengganggu ketenteraman masyarakat. Padahal setiap individu sangat mendambakan pemimpin yang adil; lebih mementingkan masyarakat daripada golongannya sendiri. Akibat suatu negara banyak dipimpin oleh penguasa yang zholim, maka dampaknya adalah krisis moneter yang tidak pernah tuntas, harga BBM naik, pendidikan mahal, lapangan kerja susah didapat, kemiskinan meningkat setiap tahun, harga sembilan bahan pokok tidak pernah turun yang akhirnya menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat. Belum lagi masalah keamanan; perampokan, penodongan, kekerasan, pembunuhan hampir setiap hari kita saksikan di televisi. Inilah suatu akibat, karena negara banyak dipimpin oleh penguasa yang zholim, penguasa yang tidak mau mendengar dan mentaati nasehat para ulama.
Ketiga : Mati dalam keadaan tidak membawa Iman. Karena mati dalam kekufuran (su’ul khotimah) akibatnya akan langgeng menjadi penghuni Neraka. Na’udzu billahi min dzalik.
Melalui tulisan ini penulis mengingatkan kepada para santri yang sekarang hidup menjadi Anggota Legislatif, Yudikatif, Edukatif, Birokrat, Politisi, Kepala Kantor, Manajer Perusahaan dan profesi lainnya, awas jangan jauh dari ulama, paling tidak seminggu sekali atau sebulan sekali harus mendatangi ulama, baik langsung atau tidak langsung; melalui ceramahnya di TV, Radio atau Surat Kabar dan Majalah. Dengarkan nasehat-nasehatnya lalu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut sebagian ulama ahli hikmah, apabila manusia dalam waktu 40 hari tidak mendengarkan ilmu, maka manusia itu akan keras hatinya. Apa sebabnya? Sebab Batre / Accu apabila tidak distrum tidak ada gunanya walaupun masih baru dari toko. Begitu juga iman kita kalau dibiarkan terus tidak pernah dices/dipompa dengan nasehat dan peringatan dari ulama, bakal melempem. Karena frekwensi Iman manusia tidak bisa stabil selamanya; kadang naik kadang turun. Sedangkan cara untuk menaikkan Iman diantaranya adalah dengan banyak Ibadah, mengikuti pengajian atau mendengarkan nasehat ulama. Semoga.


Mursana, M.Ag ;    Penyuluh Agama Islam Kecamatan Plumbon,

                              Alumni Pesantren Darussalam Ciamis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar