KETIKA “SANTRI” JAUH DARI ULAMA
Oleh : Mursana, M.Ag.
Sepintas lalu judul ini sangat kontradiktif dengan
tradisi yang ada di kalangan masyarakat kita. Kata santri biasanya dipakai
untuk sebutan seorang murid yang belajar Agama kepada seorang ulama. Ini berarti
bahwa antara santri dan ulama tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Kedekatan seorang santri dan loyalitasnya terhadap ulama tidak perlu diragukan
lagi. Karena seorang santri sangat membutuhkan ilmu dari seorang ulama. Apapun
yang diperintahkannya seorang santri hanya bersikap sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami ta’at). Itu semua,
nampaknya hanya terjadi di lingkungan pondok pesantren atau lembaga pendidikan
Islam lainnya. Namun apabila seorang santri sudah tidak lagi berguru kepada seorang
ulama (keluar dari pesantren atau lembaga pendidikan Islam lainnya), lalu dia
berkiprah di masyarakat; ada yang menjadi politisi, birokrat, kepala kantor,
atau mungkin menjadi seorang pemimpin perusahaan, sering kali simbol-simbol kesantrian itu hilang. Kata santri
sering diucapkan hanya untuk mengelabui orang dalam rangka untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu yang sifatnya hanya menguntungkan pribadi dan
golongannya. Barangkali inilah realitas yang ada di masyarakat kita.
Dalam tulisan ini ada dua kata kunci yang harus dipahami
yaitu: kata santri dan ulama. Dalam terminologi Clifford Geerts (1989) perkataan santri
mempunyai arti luas dan arti sempit. Dalam arti sempit, santri adalah seorang murid di suatu sekolah agama yang disebut
pondok atau pesantren. Sedangkan dalam arti luas santri adalah bagian dari
penduduk jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, bersembahyang, pergi ke
masjid pada hari Jum’at, mengaji dan lain-lain. Kegiatan keseharian santri,
disamping mengaji juga dilatih kedisiplinannya dengan mengerjakan kewajiban
agama seperti sholat berjamaah dan puasa. Dalam banyak pesantren, seorang
santri yang tidak ikut sholat berjama’ah dikenakan hukuman ringan yang sifatnya
mendidik. Adakalanya hukuman berupa membaca surat-surat tertentu dari al-Qur’an
atau membersihkan lingkungan pesantren. Ada
lagi anjuran untuk melakukan puasa sunah atau dzikir-dzikir tertentu secara kolektif
yang dikerjakan pada waktu-waktu tertentu.
Dalam hal pergaulan santri dengan masyarakat luar,
terdapat batasan-batasan yang ketat mengingat ulama (Kiai sebutan masyarakat
Jawa) bukan hanya memiliki kewajiban untuk mengajarkan santri, akan tetapi juga
berfungsi sebagai pengganti orang tua yang bertanggung jawab penuh atas
keselamatan setiap santri sekaligus membentuk kepribadiannya. Di samping
bertujuan untuk menjaga keselamatan santri dan dapat mempermudah mengontrol dan
mengamati perkembangan para santri, sistem isolasi ini juga bertujuan agar para
santri dapat memaksimalkan waktu belajar mereka tanpa harus terganggu dengan urusan-urusan
yang lainnya. Begitu juga halnya dengan pergaulan antara santriwan dan
santriwati hanya mereka yang memiliki hubungan darah (muhrim) saja yang boleh
berjumpa. Apabila terjadi hubungan dengan yang bukan muhrimnya, maka dikenakan
Ta’zir (hukuman) karena dianggap melanggar syariat agama. Demikian sekilas
kegiatan santri ketika masih belajar di pondok pesantren. Mereka bukan hanya
diajarkan keilmuan tetapi juga
diajarkan akhlakul karimah.
Selanjutnya yang harus dipahami adalah kata ulama.
Penyebutan atau penggunaan kata ulama mengalami perkembangan sejalan dengan
perkembangan definisi tentang ulama itu sendiri (Faiqoh : 2003). Di negara
Timur Tengah penisbatan ulama diberikan kepada seorang Syaikh atau Mursyid. Di
Indonesia sebutan seorang ulama dalam berbagai versi. Di daerah Jawa ulama
disebut Kiai, di daerah Pasundan disebut Ajengan. Sementara di Bali dan NTB
disebut Tuan Guru. Secara normatif istilah Ulama diambil dari ayat al-Qur’an.
“Sesungguhnya ulama adalah orang yang takut kepada Allah”. Dalam hadits Nabi
SAW, disebutkan; “Para ulama adalah pewaris
para Nabi.” Kata Ulama menunjukkan
makna jamak diambil dari kata ‘aliim;
orang yang menguasai dan mendalami ilmu pengetahuan. Apapun perbedaan seputar
ulama, namun pada prinsipnya ulama memiliki pandangan yang sama tentang
penyebaran misi Islam. Untuk konteks ulama Indonesia , (Kiai; Jawa), yang
memiliki tanggung jawab mensosialisasikan Islam dan membentuk masyarakat yang
baik berdasarkan Islam, maka salah satu jalan yang digunakan adalah dengan mendirikan
pondok pesantren.
Di Pondok Pesantren itulah seorang ulama dengan ikhlas
karena Allah mengajarkan ilmunya kepada para santri, tanpa mengenal lelah. Di
tempat itu juga seorang ulama membentuk karakter kepribadian santri agar suatu
saat nanti bisa hidup pada zamannya berguna bagi masyarakat dan bangsa yang
berasaskan akhlakul karimah. Selama
bertahun-tahun santri menimba ilmu kepada ulama, sehingga ilmu ulama boleh
dikatakan menyatu dalam dirinya pada waktu di pesantren tersebut. Tetapi ketika
ia hidup di lingkungan yang berbeda dengan pesantren, kerapkali ia melupakan
nasehat sang ulama. Idealisnya sudah seperti macan ompong. Dulu ketika ia masih di pesantren sering
menggembar-gemborkan pentingnya ngaji
rasa; tidak boleh menzholimi orang lain, tidak boleh merasa diri paling
benar, tidak boleh KKN, tidak boleh sombong, sebaliknya harus menanamkan kasih
sayang kepada sesama, jujur, adil, bijaksana, rendah hati, dan lain-lain. Setelah Ia
sudah tidak lagi menjadi seorang santri secara formal, Ia duduk sebagai anggota
legislatif, kepala kantor, atau mungkin menjadi seorang politisi, maka dengan
sendirinya nilai-nilai kesantrian itu sedikit demi sedikit terkena erosi,
karena mungkin terbawa arus. Idealnya
Ia menjadi suri tauladan dan
pembaharu setiap langkahnya untuk rekan-rekannya. Bukan malah sebaliknya.
Melalui tulisan sederhana ini Penulis mengajak kepada
teman-teman santri yang sudah tidak lagi menjadi Santri Formal. Mari kita
kembali kepada hati nurani, walaupun kita sudah tidak bersama-sama lagi dengan ulama
secara formal, tetapi hati, mata dan telinga kita seolah-olah melihat,
mendengar, dan merasakan nasehat-nasehat ulama tersebut, kapan dan di manapun
berada. Jangan sampai kita jauh, lebih-lebih lari dari ulama. Kita harus takut
terhadap akibat, apabila jauh dari ulama seperti yang disabdakan oleh
Rasulullah SAW, “Bakal datang suatu masa yang terjadi pada umatku, mereka lari
dari ulama. Maka Allah SWT memberikan cobaan kepada mereka tiga perkara, yaitu
Allah menghilangkan keberkahan dari kasabnya (usahanya), Allah menempatkan
pemimpin yang zholim, dan mereka keluar dari dunia (mati) dalam keadaan tidak
membawa Iman.”
Hadits di atas merupakan ancaman dari Rosulullah SAW
kepada seluruh umat Nabi Muhammad SAW yang coba-coba lari dari ulama (sebagai
pewaris para Nabi). Ancaman tersebut merupakan musibah (cobaan) yang langsung
ditimpahkan kepada mereka yang berani menghina, melecehkan, sekaligus tidak mau
mendengarkan dan menuruti nasehat-nasehat para ulama. Adapun ancaman musibah
itu ada tiga perkara, yaitu:
Pertama; dicabut keberkahan dari usahanya. Orang yang jauh dari nasehat ulama
otomatis hidupnya tidak akan terkontrol. Ia akan selalu menerjang rambu-rambu
agama. Sehingga tidak tahu apakah yang dikerjakannya itu halal atau haram.
Bahkan lebih berbahaya lagi, demi mencapai suatu tujuan yang haram pun Ia
lakukan. Maka pantas kalau Allah SWT berfirman, “Kalau sekiranya penduduk suatu
negeri beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka pasti akan kami bukakan
keberkahan kepada mereka yang datang dari langit dan bumi (lahir-batin). Tetapi
mereka mendustakan ayat-ayat kami. Maka kami timpahkan siksa, akibat apa yang
mereka usahakan” (QS. Al-A’rof : 96). Dalam sebuah renungan (muhasabah), KH.
ABDULLAH GYMNASTIAR yang akrab dipanggil Aa Gym, pernah mengatakan; “Kita sering
berfikir dan menyaksikan, mengapa uang yang banyak tidak selalu menjadi jaminan
kebahagiaan? Mengapa rumah yang besar dan megah tidak selalu menjadi jaminan
kebahagiaan dan kemulyaan bagi pemiliknya? Mengapa istri yang cantik jelita
atau suami yang tampan tidak selalu menjadi jaminan kebahagiaan dalam rumah
tangga? Mengapa ilmu yang luas tidak mengangkat derajat pemiliknya? Malah
menghinakannya? Dan lain-lain, padahal mencari, berusaha untuk mendapatkannya
melalui perjuangan susah payah. Tetapi ternyata tidak sesuai dengan apa yang
diharapkannya? Bahkan sebaliknya bukan kebahagiaan atau ketenteraman yang
diperoleh, melainkan masalah dan malapetaka. Apa penyebabnya? Sebenarnya
penyebabnya sederhana sekali, yakni bahwa semua yang dimilikinya itu tidak memperoleh
keberkahan dari Allah SWT.”
Pertanyaannya adalah kenapa tidak memperoleh keberkahan
dari Allah SWT? Jawabnya adalah karena apa yang mereka peroleh dari hasil
usahanya itu didapatkan dengan cara yang tidak halal yaitu suatu cara yang
menerjang rambu-rambu dan batasan-batasan iman
dan ketaqwaan. Padahal Ia
sadar dan tahu bahwa perbuatannya itu dilarang, tapi Ia tetap melaksanakannya
demi mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu dalam hal apapun; uang,
rumah, istri, suami, harta, pangkat, jabatan, dan lalin-lain, yang harus kita
khawatirkan terhadapnya adalah tidak ada keberkahan
dari Allah atas semua itu.
Dengan demikian tidak ada umur yang lebih bermanfaat dan
berbarokah kecuali umur itu digunakan untuk pengabdian kepada Allah dan
RosulNya. Menggunakan jabatan dan wewenang yang sangat membawa berkah tiada
lain kecuali mengenyampingkan kepentingan pribadi di atas hak dan kesenangan
Allah. Harta kekayaan yang melimpah yang kita kuasai yang membawa berkah, tiada
lain kecuali harta yang bersih yang tertunaikan kewajiban-kewajibannya, baik
hak orang lain apalagi hak umat.
Kedua : diberi pemimpin yang zholim, bukan pemimpin sebagai pengayom
masyarakat (khodimul ummat) yang memberi ketenteraman dan keamanan, tetapi
sebaliknya pemimpin yang meresahkan dan mengganggu ketenteraman masyarakat.
Padahal setiap individu sangat mendambakan pemimpin yang adil; lebih
mementingkan masyarakat daripada golongannya sendiri. Akibat suatu negara
banyak dipimpin oleh penguasa yang zholim, maka dampaknya adalah krisis moneter
yang tidak pernah tuntas, harga BBM naik, pendidikan mahal, lapangan kerja
susah didapat, kemiskinan meningkat setiap tahun, harga sembilan bahan pokok
tidak pernah turun yang akhirnya menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat.
Belum lagi masalah keamanan; perampokan, penodongan, kekerasan, pembunuhan
hampir setiap hari kita saksikan di televisi. Inilah suatu akibat, karena
negara banyak dipimpin oleh penguasa yang zholim, penguasa yang tidak mau
mendengar dan mentaati nasehat para ulama.
Ketiga : Mati dalam keadaan tidak membawa Iman. Karena mati dalam
kekufuran (su’ul khotimah) akibatnya akan langgeng menjadi penghuni Neraka.
Na’udzu billahi min dzalik.
Melalui tulisan ini penulis mengingatkan kepada para
santri yang sekarang hidup menjadi Anggota Legislatif, Yudikatif, Edukatif,
Birokrat, Politisi, Kepala Kantor, Manajer Perusahaan dan profesi lainnya, awas
jangan jauh dari ulama, paling tidak seminggu sekali atau sebulan sekali harus
mendatangi ulama, baik langsung atau tidak langsung; melalui ceramahnya di TV,
Radio atau Surat Kabar dan Majalah. Dengarkan nasehat-nasehatnya lalu diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari. Menurut sebagian ulama ahli hikmah, apabila
manusia dalam waktu 40 hari tidak mendengarkan ilmu, maka manusia itu akan
keras hatinya. Apa sebabnya? Sebab Batre / Accu apabila tidak distrum tidak ada
gunanya walaupun masih baru dari toko. Begitu juga iman kita kalau dibiarkan
terus tidak pernah dices/dipompa dengan nasehat dan peringatan dari ulama,
bakal melempem. Karena frekwensi Iman
manusia tidak bisa stabil selamanya; kadang naik kadang turun. Sedangkan cara
untuk menaikkan Iman diantaranya adalah dengan banyak Ibadah, mengikuti
pengajian atau mendengarkan nasehat ulama. Semoga.
Mursana, M.Ag ; Penyuluh Agama Islam Kecamatan Plumbon,
Alumni
Pesantren Darussalam Ciamis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar