Cari Blog Ini

Rabu, 04 Januari 2017

PENERAPAN KAIDAH FIQHIYAH DALAM KEPUTUSAN KOMISI FATWA MUI DAN GUS DUR

PENERAPAN KAIDAH FIQHIYAH
DALAM KEPUTUSAN KOMISI FATWA MUI DAN GUS DUR
(STUDI ATAS KONTROVERSI HALAL-HARAM AJINOMOTO)*
Oleh : Mursana, M.Ag


A.     Pendahuluan
Secara sosiologis dapat diakui bahwa masyarakat senantiasa akan mengalami perubahan. Perubahan suatu masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan tata nilai yang ada pada masyarakat. Semakin maju cara berpikir suatu masyarakat, maka akan semakin terbuka untuk menerima kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)[1].
Bagi umat beragama, dalam hal ini umat Islam, kenyataan ini dapat menimbulkan masalah, terutama apabila kegiatan itu dihubungkan dengan norma-norma agama. Akibatnya, pemecahan atas masalah tersebut diperlukan, sehingga syaria’at Islam dapat dibuktikan tidak bertentangan dengan Iptek.
Sehubungan dengan itu, terdapat ungkapan yang kerap kali muncul dikalangan para pakar hukum Islam, yaitu “al-syari’ah al-islamiyah shalihatun likuli zaman wa makan” (Syariat Islam itu patut dipedomani dalam segala waktu dan tempat). Ungkapan ini menjadi sebuah prinsip yang menjadi keyakinan umat Islam sepanjang masa[2].
Menyikapi hal tersebut, nampaknya dari sekian kasus yang merebak bahkan bikin heboh masyarakat di Indonesia khususnya umat Islam. Pada akhir tahun 2000 tersebut adalah kasus halal-haram bumbu penyedap Ajinomoto menjadi masalah Nasional, yang sekaligus menjadi masalah umat Islam terbesar hampir 200 juta jiwa menghuni bumi Nusantara ini. Bagaimana tidak, umat Islam adalah konsumen terbesar produk ini.

 


Berbagai media cetak dan elektronik cukup terbuka memaparkannya, sehingga para pembaca dan pemirsa dapat memperoleh kesimpulan dari paparan-paparan dan tayangan yang mengemukakan di media tersebut. Presiden Republik Indonesia Abdurahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur sampai turun tangan menyelesaikan kasus ini. Karena beliau disamping seorang politikus, negarawan, ulama, juga seorang guru bangsa merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus ini. Masalahnya adalah Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan bahwa bumbu penyedap rasa Ajinomoto itu dihukumi haram. Tiba-tiba Gus Dur menghukuminya dengan halal. Hal ini yang menyebabkan masyarakat, khususnya umat Islam menjadi ragu dan bimbang.
Dalam makalah ini, penulis mencoba menguraikan duduk persoalan yang sebenarnya terjadi dalam kasus ini. Kenapa Komisi Fatwa (MUI) memutuskanharam, sedangkan Gus Dur halal, apa alasannya? metode apa yang dipakai Komisi Fatwa MUI dan Gus Dur untuk menghukumi Ajinomoto tersebut? serta adakah pengaruh sejarah sosial saat melakukan Isthimbat al-hukm dalam kasus tersebut?

B.     Pengertian Halal dan Haram
Dalam hukum Islam (fiqh), halal dan haram merupakan persoalan yang sangat penting dan dipandang sebagai pokok. Karena boleh tidaknya melakukan tindakan mengkonsumsi atau menggunakan sesuatu didasarkan atas kehalalan dan keharamannya. Sedemikian urgennya halal dan haram dalam Islam, sehingga dalam Islam sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hukum Islam (fiqh) adalah pengetahuan tentang halal dan haram.
Lafadz lain yang semakna dengan halal-haram adalah Mubah dan Jaiz. Secara etomologis[3]. Mubah berarti boleh atau yang diizinkan. Sedangkan secara terminologis, ada beberapa rumusan yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih, yaitu :

Pertama, halal atau mubah adalah :[4]
Sesuatu yang diserahkan syari’ kepada mukallaf untuk melaksanakan atau tidak
Rumusan ini menunjukkan bahwa perbuatan mubah itu tidak dituntut syari’ untuk melaksanakannya dan tidak pula dituntut untuk meninggalkannya. Disinilah perbedaan antara mubah dengan wajib al-Mukhayyar dan wajib al-Muwassa’ karena dalam kedua jenis hukum yang disebutkan terakhir ini terdapat tuntutan syari’. Dalam wajib al-Mukhayyar, pilihan dilakukan terhadap dua hal yang dituntut untuk dilaksanakan, sedangkan dalam wajib al-Muwassa berkaitan dengan pemilihan waktu pelaksanaan sesuatu yang dituntut syari’.
Kedua, rumusan halal atau mubah yang dikemukakan Imam al-Syaukani, yaitu :[5]
Sesuatu yang apabila dikerjakan atau ditinggalkan tidak mendapat pujian
Dalam mubah terdapat kemaslahatan dan kemafsadatan secara berimbang yang karenanya pemilihan untuk berbuat atau tidak diserahkan syari’ kepada mukallaf.
Ketiga, adalah rumusan halal atau mubah yang dikemukakan Imam al-Ghazali, yaitu :[6]
Sesuatu yang ada keizinan dari Allah Ta’ala untuk melakukan atau tidak melakukannya, yang pelakunya tidak diembeli dengan pujian atau celaan dan orang yang tidak melakukannya tidak pula diembeli pujian dan celaan
Keempat, menurut rumusan Jamaluddin Al Mahaly, yaitu :[7]
Sesuatu yang tidak mendapat pahala bagi yang mengerjakannya dan yang meninggalkannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkan dan mengerjakannya”



Kelima, menurut rumusan Abdul Hamid Hakim , yaitu :[8]
Kitab Allah Ta’ala yang diberikan kepada mukallaf untuk memilih antara mengerjakan dan meninggalkan”
Keenam, menurut rumusan Asysyaerozy, yaitu :[9]
Sesuatu yang tidak mendapat pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak mendapat siksa bagi yang meninggalkannya”
Sedangkan haram secara etimologis berarti terlarang[10]. Dan haram menurut terminologis akan dikemukakan beberapa rumusan, diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Menurut Abdul Hami Hakim[11], haram ialah :
Khithab Ititah Allah yang menuntut untuk ditinggalkan”
  1. Menurut Rachmat Syafe’i[12], haram ialah :
Tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa”
  1. Menurut Abu Zahro[13], haram ialah :
Larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik ditetapkan dengan dalil qath’i maupun zhanni”
  1. Menurut Mukhtar Yahya[14], haram ialah :
Perbuatan yang apabila perbuatan itu ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya akan mendapat pahala, dan apabila perbuatan itu dikerjakan, maka orang yang mengerjakannya akan mendapat siksa.”
Dari beberapa rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa haram itu ialah suatu perbuatan yang harus dijauhkan, karena apabila dikerjakan akibatnya mencelakakan diri kita sendiri.

C.     Seputar Ajinomoto
Keputusan Komisi Fatwa MUI yang ditandatangani oleh ketuanya Ma’ruf Amir pada tanggal 16 Desember 2001 menyatakan bahwa produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan Bactosoytone dalam proses produksinya adalah haram. Sikap MUI ini sudah final, selama tidak ada alasan syar’i (illat) yang lebih kuat. Keputusan MUI ini dikeluarkan karena sesuai dengan paradigma baru, MUI sebagai perantara dan jembatan Umat dan pemerintah[15].
Disamping itu keputusan dikeluarkan karena tanggung jawab keagamaan (al-mas’uliyah al-diniyah), sehingga umat Islam tidak ragu-ragu lagi dalam mengkonsumsi makanan yang beredar di pasaran. Karenanya bagi umat Islam yang karena ketidaktahuan atau lupa telah mengkonsumsi penyedap rasa Ajinomoto tidak perlu merasa berdosa[16].
Komisi Fatwa MUI menyatakan bahwa dalam kasus Ajinomoto, komponen dari lemak babi bukanlah komponen utama dan juga komponen langsung, tetapi merupakan media untuk pembaikan enzim. Enzim ini digunakan untuk mengkatalisasi proses fermentasi, sehingga menghasilkan Monosodium Glumate (MSG), jadi memang komponen lemak babi adalah hanya sebagai media dan tidak ikut bersama produk akhir.
Dijelaskan juga bahwa Bactosoytone yang diproduksi perusahaan Amerika DIFCO COPERATION, itu digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri pada tahap pertama produk MSG. pada tahap kedua, koloni bakteri terbaik yang telah disegarkan dalam Bactosoytone dipindahkan ke media cair yang mengandung carbon, nitrogen, mineral dan biotin untuk dibiakkan secara bertingkat. Dari proses ini, PT. Ajinomoto juga menggunakan bahan dari Amerika Serikat tersebut.



Dengan demikian, karena dalam proses pembuatannya bumbu masak itu memakai perantara enzim yang mengandung lemak babi, maka umat Islam diharapkan tidak mengkonsumsi bumbu tersebut yang dinyatakan haram. Allah berfirman :
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih selain nama Allah” [17]

Juga berdasarkan hadits Rasulullah SAW :
“Yang halal itu sudah jelas dan yang harampun sudah jelas, dan diantara keduanya adalah musytabihat (samar-samar, tidak jelas halal-haramnya). Kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya” [18]. HR. Muslim

Selanjutnya dalam doktrin Islam juga mengajarkan pada umatnya untuk selalu makan yang halal dan baik, sedangkan daging babi itu mengandung cacing pita yang sangat membahayakan.
Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan baik antara lain :
Hai sekalian manusia ! makanlah yang halal dan baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu” [19]

Juga dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
Wahai umat manusia ! sesungguhnya Allah adalah baik, tidak akan menerima kecuali yang baik dan halal”

Allah berfirman dalam hadits Qudsi,
“Hai para Rasul ! makanlah dari makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal salih[20]”. HR. Muslim






Dalam hal ini para ulama sudah sepakat (ijma’), bahwa daging babi dan segala anggota adalah haram seluruhnya. Dalam kaidah fiqih dinyatakan, bila barang halal campur dengan yang haram, maka dimenangkan yang haram, seperti dalam kaidahnya :
“Apabila bercampur antara yang halal dan yang haram, maka dimenangkan yang haram” [21]

Setelah MUI menfatwakan bahwa bumbu penyedap rasa Ajinomoto itu haram, tiba-tiba Gus Dur yang waktu itu sebagai Presiden Republik Indonesia menyatakan bahwa Ajinomoto itu halal. Beliau menyatakan sesuai dengan pemahaman agama yang beliau ketahui dan yakini bahwa bumbu penyedap masakan Ajinomoto halal. Alasannya beliau berpegang pada satu aqidah “dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih” artinya “Menolak resiko besar lebih diutamakan daripada keinginan untuk memperoleh kemaslahatan”[22]. Sedangkan MUI mengambil kaidah “Jalbul mashahih muqaddam ‘ala dar-il mafasid” artinya “Kemaslahatan umat lebih diutamakan daripada keinginan untuk menolak mafsadat (Resiko).”
Dalam pembahasan fiqhiyah, kedua sudut pandang itu memang ada dasarnya. Dikalangan ulama ushul tidak memutlakkan diantara kedua sudut pandang tersebut yang harus menjadi pegangan.
Fatwa yang disampaikan MUI adalah semata-mata untuk kemaslahatan umat, setidaknya memberitahukan kepada umat bahwa untuk sementara sebaiknya menghindari bumbu penyedap itu. Secara praktis, bumbu masak itu bisa dikonsumsi warga lain, apa itu warga domestik atau manca negara, yang tidak termasuk warga muslim. Dalam kaitan ini kata Ketua Umum MUI Sahal Mahfudz mengatakan, fatwa MUI tanggal 16 Desember 2001 tentang produk Monosodium Glumate (MSG) Ajinomoto adalah sudah final dan tidak akan diubah selama tidak ada alasan-alasan syar’i (illat) yang lebih kuat.
Menurut Gus Dur, dirinya dan Komisi Fatwa MUI sama-sama ijtihad (menafsirkan hukum) dan keduanya dibenarkan dalam beragama. Kata beliau, melalui komisi fatwa yang diketuai oleh Ma’ruf Amin menyebutkan, unsur babi tidak masuk dalam produk, tetapi dalam pemanfaatannya, sedangkan saya kata Gus Dur memakai kaidah lain, yakni “Menghindari kesulitan lebih utama daripada kebaikan”.
Apabila perusahaan Ajinomoto ditutup akibatnya dari fatwa MUI tersebut, kata Gus Dur, maka akan membawa dampak sosial bagi perekonomian dengan hilangnya investasi senilai 1,3 milyar dolar Amerika Serikat. Disamping itu akan muncul pengangguran besar-besaran begitu pula akibat pengangguran itu akan muncul berbagai kejahatan. Dengan demikian negara akan tidak stabil, karena keamanan masyarakat terancam dan yang rugi adalah kita semua sebagai bangsa.

D.    Ikhtilaf Ummat Rahmat
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, selalu saja ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Berbeda berpendapat adalah sesuatu yang wajar bagi makhluk yang berfikir, seperti manusia, apalagi dalam hal-hal yang memungkinkan adanya perbedaan yang dalam bahasa agama disebut khilafiyah. Justru dengan memahami keraguan pendapat itulah wawasan dan cakrawala pemahaman agama menjadi terbuka. Asal jangan sampai masalah khilafiyah itu berubah menjadi kalapiyah, kelewat batas, sehingga pertimbangan akal sehat dan hati nurani di pinggiran. Lebih parah lagi kalau kekalapan itu bersumber dari sentimen pribadi atau kefanatikan yang membabi buta tanpa ilmu (taqlid).
Begitu juga dengan perbedaan konsep ijtihad, antar MUI dengan Gus Dur yang mengakibatkan dualisme hukum yang saling bertentangan tentang bumbu penyedap Ajinomoto. MUI memfatwakan haram, sedangkan Gus Dur memfatwakan halal. Perbedaan seperti itu wajar karena konsep dan teori yang dipakai oleh MUI dan Gus Dur adalah memang berbeda, sehingga hasilnya pun berbeda.
Disamping hal tersebut di atas, faktor-faktor sejarah ulama-ulama yang ada di MUI dengan Gus Dur juga mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda. Begitu pula kondisi sosialnya berbeda[23]. Gus Dur dalam memfatwakan tersebut kedudukannya sebagai presiden yang tugasnya mengayomi dan menentramkan masyarakat pada rakyatnya. Sedangkan MUI bertugas sebagai Khadim Atummah yang mengurusi masalah keagamaan (masa-il al-diniyah). Oleh karena itu perbedaan pendapat adalah rahmat dari Allah SWT. Ikhtilafiyah adalah wadah untuk persatuan bukan untuk memecahkan ummat.
E.     Penutup
Dari uraian di atas tentang kontroversi halal-haram bumbu penyedap Ajinomoto dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya adalah :
1.      Komisi Fatwa MUI memfatwakan bahwa Ajinomoto itu haram, karena mengandung lemak babi, berdasarkan pada nash AL-Qur’an dan As-Sunnah yang ada, serta akidah fiqliyah Jalbul ma-shalih muqaddam ‘ala dar-il mafasid.
2.      Menurut Gus Dur bumbu penyedap Ajinomoto itu halal, berdasarkan pada kaidah dar’ul Mafasid muqaddam ‘ala jal bil mashahih.
3.      Faktor sejarah sosial antara MUI dengan Gus Dur sangat berbeda, sehingga dalam istimbath al-hukm juga berbeda, sehingga kata Ibnu Al-Qayyim “Taghayyuru al fatwa bi taghayyur al-amkinah wa al-azmiinah al-awaid.
4.      Ikhtilaf al-ummat harus menjadi rahmat jangan menjadi laknat.
Demikian uraian singkat dari makalah ini mudah-mudahan bermanfaat untuk kita semua. Amin.
















DAFTAR PUSTAKA


Abdul Hamid Hakim, Al Bayan, Jakarta : Sa’adiyah Putra, tt.
Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushulil Fiqh, Cairo : Dakwatul Islamiyah, Al-Azhar, 1968.
Abdullah bin Said, Iidah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Jiddah : tth.
Al Ghazali, Al Mustashfa’ Jilid I, Beirut : Darul Fikr, 1980
Al-Nawawi, Al-Arba’ina al-nawawi, Bandung : Al-Ma’arif, tth
Al-Suyuthi, Al-Asybah wa Al-Nadzair fi Alfuru’, Semarang : Usaha Keluarga, tth
Al-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiqi min ‘Ilmil Ushul, Jiddah : Al Haramain, tth.
Al-Nawawi, Al-Arba’ina al-nawawiyah, Bandung : Toha Putra, tth
Asysyaerozy, Al Luma’fi Ushulil Fiqh, Semarang : Syirka Nur Asia, tt.
Atho Mudzar, Penerapan Sejarah Sosial Dalam Pemikiran Hukum Islam, Makalah disampaikan dalam acara Pusat Pengkajian Islam UNISBABA, Bandung, 8 Januari 1992.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta : 1973
Harun Nasution, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, Bandung : Mizan, 1996.
Jalaluddin Al Mahaly, Al Waragat fi Ushulil Fiqih, Semarang : Syirka Nur Asia, tt.
M. Abu Zahro, Ushul Fiqih, (Ahli Bahasa Saefullah Ma’shum), Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994.
Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an, 1973.
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung : Al-Ma’arif, 1986.
Nasrun Harun, Ushul Fiqh, Jakarta : Logos, 2001
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia, 1999
Satria Efendi dalam pengantar buku Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani : Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Logos, 1999.




[1] Lihat Harus Nasution, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikira (Bandung : Mizan, 1996), hal 199
[2] Ungkapan ini telah didukung oleh Satria Efendi dalam Pengantar Buku Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani : Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Logos, 1999)
[3] Nasrun Harun, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Logos, 2001), hal 249
[4] Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushulil Fiqh, (Cairo : Dakwatul Islamiyah, Al-Azhar, 1968), hal. 115
[5] Al-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiqi min ‘Ilmil Ushul, (Jiddah : Al Haromen, tt), hal 6
[6] Al Ghazali, Al Mustashfa’ JilidI, (Beirut : Darul Fikr, 1980), hal. 75
[7] Jalaluddin Al Mahaly, Al Waraqat fi Ushulil Fiqhi, (Semarang : Syirka Nur Asia, tt), hal. 4
[8]    Abdul Hamid Hakim, Al Bayan, (Jakarta : Sa’adiyah Putra, tt), hal. 7
[9]    Asysyaerozy, Al Luma’fi Ushulil Fiqh, (Semarang : Syirka Nur Asia, tt), hal. 4
[10]   Muhamad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah/ Penafsiran Al-Qur’an, 1973), hal. 101
[11]   Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, (Jakarta : Sa’diyah Putra, tth), hal.7
[12]   Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hal. 300
[13]   M. Abu Zahro, Ushul Fiqih, (Alih Bahasa Saefullah Ma’shum), (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), hal. 50
[14]   Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1986), hal. 138
[15] Baca Mimbar Ulama No.287/Juli/2002/hal. 15
[16] Lihat Hadits ke-39 dalam Al-Arba’ina al-Nawawi, (bandung : Al-Ma’arif, tth), hal. 61
[17] Lihat QS. Al-Baqorah : 173, Al-Maida : 3, Al-An’am : 145 dan Al-A’rof : 157
[18] Al-Nawawi, Ibid, hal. 19
[19] QS. Al-Baqorah : 168
[20] Al-Nawawi, Ibid, hal. 23
[21] Abdullah bin Said, Iidah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, (Jiddah : tth), hal. 53
[22] Al-Suyuthi, Ibid, hal. 62
[23] Baca Atho Mudzar, Penerapan Sejarah Sosial Dalam Pemikiran Hukum Islam, Makalah disampaikan dalam acara Pusat Pengkajian Islam UNISBABA, Bandung, 8 Januari 1992, hal. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar