PENERAPAN KAIDAH FIQHIYAH
DALAM KEPUTUSAN KOMISI FATWA MUI DAN GUS DUR
(STUDI ATAS
KONTROVERSI HALAL-HARAM AJINOMOTO)*
Oleh : Mursana, M.Ag
A. Pendahuluan
Secara sosiologis dapat diakui bahwa
masyarakat senantiasa akan mengalami perubahan. Perubahan suatu masyarakat
dapat mempengaruhi pola pikir dan tata nilai yang ada pada masyarakat. Semakin
maju cara berpikir suatu masyarakat, maka akan semakin terbuka untuk menerima
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)[1].
Bagi umat beragama, dalam hal ini
umat Islam, kenyataan ini dapat menimbulkan masalah, terutama apabila kegiatan
itu dihubungkan dengan norma-norma agama. Akibatnya, pemecahan atas masalah
tersebut diperlukan, sehingga syaria’at Islam dapat dibuktikan tidak
bertentangan dengan Iptek.
Sehubungan dengan itu, terdapat ungkapan yang kerap kali
muncul dikalangan para pakar hukum Islam, yaitu “al-syari’ah al-islamiyah shalihatun likuli zaman wa makan” (Syariat
Islam itu patut dipedomani dalam segala waktu dan tempat). Ungkapan ini menjadi
sebuah prinsip yang menjadi keyakinan umat Islam sepanjang masa[2].
Menyikapi hal tersebut, nampaknya
dari sekian kasus yang merebak bahkan bikin heboh masyarakat di Indonesia
khususnya umat Islam. Pada akhir tahun 2000 tersebut adalah kasus halal-haram
bumbu penyedap Ajinomoto menjadi masalah Nasional, yang sekaligus menjadi
masalah umat Islam terbesar hampir 200 juta jiwa menghuni bumi Nusantara ini.
Bagaimana tidak, umat Islam adalah konsumen terbesar produk ini.
Berbagai media cetak dan elektronik
cukup terbuka memaparkannya, sehingga para pembaca dan pemirsa dapat memperoleh
kesimpulan dari paparan-paparan dan tayangan yang mengemukakan di media
tersebut. Presiden Republik Indonesia Abdurahman Wahid yang akrab dipanggil Gus
Dur sampai turun tangan menyelesaikan kasus ini. Karena beliau disamping
seorang politikus, negarawan, ulama, juga seorang guru bangsa merasa
bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus ini. Masalahnya adalah Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan bahwa bumbu penyedap rasa Ajinomoto
itu dihukumi haram. Tiba-tiba Gus Dur
menghukuminya dengan halal. Hal ini
yang menyebabkan masyarakat, khususnya umat Islam menjadi ragu dan bimbang.
Dalam makalah ini, penulis mencoba
menguraikan duduk persoalan yang sebenarnya terjadi dalam kasus ini. Kenapa
Komisi Fatwa (MUI) memutuskanharam, sedangkan Gus Dur halal, apa alasannya?
metode apa yang dipakai Komisi Fatwa MUI dan Gus Dur untuk menghukumi Ajinomoto
tersebut? serta adakah pengaruh sejarah sosial saat melakukan Isthimbat al-hukm dalam kasus tersebut?
B. Pengertian
Halal dan Haram
Dalam hukum Islam (fiqh), halal dan
haram merupakan persoalan yang sangat penting dan dipandang sebagai pokok.
Karena boleh tidaknya melakukan tindakan mengkonsumsi atau menggunakan sesuatu
didasarkan atas kehalalan dan keharamannya. Sedemikian urgennya halal dan haram
dalam Islam, sehingga dalam Islam sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hukum
Islam (fiqh) adalah pengetahuan tentang halal dan haram.
Lafadz lain yang semakna dengan
halal-haram adalah Mubah dan Jaiz. Secara etomologis[3].
Mubah berarti boleh atau yang diizinkan. Sedangkan secara terminologis, ada
beberapa rumusan yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih, yaitu :
“Sesuatu yang
diserahkan syari’ kepada mukallaf untuk melaksanakan atau tidak”
Rumusan ini menunjukkan bahwa
perbuatan mubah itu tidak dituntut
syari’ untuk melaksanakannya dan tidak pula dituntut untuk meninggalkannya.
Disinilah perbedaan antara mubah
dengan wajib al-Mukhayyar dan wajib al-Muwassa’ karena dalam kedua jenis hukum
yang disebutkan terakhir ini terdapat tuntutan syari’. Dalam wajib
al-Mukhayyar, pilihan dilakukan terhadap dua hal yang dituntut untuk
dilaksanakan, sedangkan dalam wajib al-Muwassa berkaitan dengan pemilihan waktu
pelaksanaan sesuatu yang dituntut syari’.
“Sesuatu yang
apabila dikerjakan atau ditinggalkan tidak mendapat pujian”
Dalam mubah terdapat kemaslahatan dan kemafsadatan secara berimbang yang
karenanya pemilihan untuk berbuat atau tidak diserahkan syari’ kepada mukallaf.
“Sesuatu yang ada
keizinan dari Allah Ta’ala untuk melakukan atau tidak melakukannya, yang
pelakunya tidak diembeli dengan pujian atau celaan dan orang yang tidak
melakukannya tidak pula diembeli pujian dan celaan ”
“Sesuatu yang
tidak mendapat pahala bagi yang mengerjakannya dan yang meninggalkannya dan
tidak disiksa bagi yang meninggalkan dan mengerjakannya”
“Kitab Allah
Ta’ala yang diberikan kepada mukallaf untuk memilih antara mengerjakan dan
meninggalkan”
“Sesuatu yang
tidak mendapat pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak mendapat siksa bagi
yang meninggalkannya”
Sedangkan haram secara etimologis
berarti terlarang[10].
Dan haram menurut terminologis akan dikemukakan beberapa rumusan, diantaranya
adalah sebagai berikut :
- Menurut Abdul Hami Hakim[11],
haram ialah :
“Khithab Ititah
Allah yang menuntut untuk ditinggalkan”
- Menurut Rachmat Syafe’i[12],
haram ialah :
“Tuntutan untuk
tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa”
- Menurut Abu Zahro[13],
haram ialah :
“Larangan Allah
yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik ditetapkan dengan dalil qath’i maupun
zhanni”
- Menurut Mukhtar Yahya[14],
haram ialah :
“Perbuatan yang
apabila perbuatan itu ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya akan
mendapat pahala, dan apabila perbuatan itu dikerjakan, maka orang yang
mengerjakannya akan mendapat siksa.”
Dari beberapa rumusan di atas dapat
disimpulkan bahwa haram itu ialah suatu perbuatan yang harus dijauhkan, karena
apabila dikerjakan akibatnya mencelakakan diri kita sendiri.
C. Seputar
Ajinomoto
Keputusan Komisi Fatwa MUI yang
ditandatangani oleh ketuanya Ma’ruf Amir pada tanggal 16 Desember 2001
menyatakan bahwa produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan
Bactosoytone dalam proses produksinya
adalah haram. Sikap MUI ini sudah final, selama tidak ada alasan syar’i (illat) yang lebih kuat. Keputusan MUI
ini dikeluarkan karena sesuai dengan paradigma baru, MUI sebagai perantara dan
jembatan Umat dan pemerintah[15].
Disamping itu keputusan dikeluarkan karena tanggung
jawab keagamaan (al-mas’uliyah al-diniyah), sehingga umat Islam tidak
ragu-ragu lagi dalam mengkonsumsi makanan yang beredar di pasaran. Karenanya
bagi umat Islam yang karena ketidaktahuan atau lupa telah mengkonsumsi penyedap
rasa Ajinomoto tidak perlu merasa berdosa[16].
Komisi Fatwa MUI menyatakan bahwa
dalam kasus Ajinomoto, komponen dari lemak babi bukanlah komponen utama dan
juga komponen langsung, tetapi merupakan media untuk pembaikan enzim. Enzim ini digunakan untuk
mengkatalisasi proses fermentasi, sehingga menghasilkan Monosodium Glumate
(MSG), jadi memang komponen lemak babi adalah hanya sebagai media dan tidak
ikut bersama produk akhir.
Dijelaskan juga bahwa Bactosoytone yang diproduksi perusahaan
Amerika DIFCO COPERATION, itu digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri pada
tahap pertama produk MSG. pada tahap kedua, koloni bakteri terbaik yang telah disegarkan
dalam Bactosoytone dipindahkan ke
media cair yang mengandung carbon, nitrogen, mineral dan biotin untuk dibiakkan
secara bertingkat. Dari proses ini, PT. Ajinomoto juga menggunakan bahan dari
Amerika Serikat tersebut.
Dengan demikian, karena dalam proses
pembuatannya bumbu masak itu memakai perantara enzim yang mengandung lemak
babi, maka umat Islam diharapkan tidak mengkonsumsi bumbu tersebut yang
dinyatakan haram. Allah berfirman :
“Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih
selain nama Allah”
[17]
Juga berdasarkan hadits Rasulullah SAW :
“Yang halal itu sudah jelas
dan yang harampun sudah jelas, dan diantara keduanya adalah musytabihat
(samar-samar, tidak jelas halal-haramnya). Kebanyakan manusia tidak mengetahui
hukumnya” [18]. HR. Muslim
Selanjutnya dalam doktrin Islam juga
mengajarkan pada umatnya untuk selalu makan yang halal dan baik, sedangkan
daging babi itu mengandung cacing pita yang sangat membahayakan.
Firman Allah SWT tentang keharusan
mengkonsumsi yang halal dan baik antara lain :
“Hai sekalian manusia !
makanlah yang halal dan baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata
bagimu” [19]
Juga dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
“Wahai umat manusia !
sesungguhnya Allah adalah baik, tidak akan menerima kecuali yang baik dan
halal”
Allah berfirman dalam hadits Qudsi,
“Hai para Rasul ! makanlah
dari makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal salih[20]”.
HR. Muslim
Dalam hal ini para ulama sudah
sepakat (ijma’), bahwa daging babi
dan segala anggota adalah haram seluruhnya. Dalam kaidah fiqih dinyatakan, bila
barang halal campur dengan yang haram, maka dimenangkan yang haram, seperti
dalam kaidahnya :
Setelah MUI menfatwakan bahwa bumbu
penyedap rasa Ajinomoto itu haram,
tiba-tiba Gus Dur yang waktu itu sebagai Presiden Republik Indonesia menyatakan bahwa
Ajinomoto itu halal. Beliau
menyatakan sesuai dengan pemahaman agama yang beliau ketahui dan yakini bahwa
bumbu penyedap masakan Ajinomoto halal.
Alasannya beliau berpegang pada satu aqidah “dar’ul
mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih” artinya “Menolak resiko besar lebih
diutamakan daripada keinginan untuk memperoleh kemaslahatan”[22].
Sedangkan MUI mengambil kaidah “Jalbul
mashahih muqaddam ‘ala dar-il mafasid” artinya “Kemaslahatan umat lebih
diutamakan daripada keinginan untuk menolak mafsadat (Resiko).”
Dalam pembahasan fiqhiyah, kedua
sudut pandang itu memang ada dasarnya. Dikalangan ulama ushul tidak memutlakkan
diantara kedua sudut pandang tersebut yang harus menjadi pegangan.
Fatwa yang disampaikan MUI adalah
semata-mata untuk kemaslahatan umat, setidaknya memberitahukan kepada umat
bahwa untuk sementara sebaiknya menghindari bumbu penyedap itu. Secara praktis,
bumbu masak itu bisa dikonsumsi warga lain, apa itu warga domestik atau manca
negara, yang tidak termasuk warga muslim. Dalam kaitan ini kata Ketua Umum MUI
Sahal Mahfudz mengatakan, fatwa MUI tanggal 16 Desember 2001 tentang produk Monosodium Glumate (MSG) Ajinomoto
adalah sudah final dan tidak akan diubah selama tidak ada alasan-alasan syar’i
(illat) yang lebih kuat.
Menurut Gus Dur, dirinya dan Komisi
Fatwa MUI sama-sama ijtihad (menafsirkan hukum) dan keduanya dibenarkan dalam
beragama. Kata beliau, melalui komisi fatwa yang diketuai oleh Ma’ruf Amin
menyebutkan, unsur babi tidak masuk dalam produk, tetapi dalam pemanfaatannya,
sedangkan saya kata Gus Dur memakai kaidah lain, yakni “Menghindari kesulitan lebih utama daripada kebaikan”.
Apabila perusahaan Ajinomoto ditutup
akibatnya dari fatwa MUI tersebut, kata Gus Dur, maka akan membawa dampak sosial bagi perekonomian dengan
hilangnya investasi senilai 1,3 milyar dolar Amerika Serikat. Disamping itu
akan muncul pengangguran besar-besaran begitu pula akibat pengangguran itu akan
muncul berbagai kejahatan. Dengan demikian negara akan tidak stabil, karena
keamanan masyarakat terancam dan yang rugi adalah kita semua sebagai bangsa.
D. Ikhtilaf
Ummat Rahmat
Dalam sejarah perkembangan hukum
Islam, selalu saja ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Berbeda
berpendapat adalah sesuatu yang wajar bagi makhluk yang berfikir, seperti
manusia, apalagi dalam hal-hal yang memungkinkan adanya perbedaan yang dalam
bahasa agama disebut khilafiyah.
Justru dengan memahami keraguan pendapat itulah wawasan dan cakrawala pemahaman
agama menjadi terbuka. Asal jangan sampai masalah khilafiyah itu berubah menjadi kalapiyah,
kelewat batas, sehingga pertimbangan akal sehat dan hati nurani di pinggiran.
Lebih parah lagi kalau kekalapan itu
bersumber dari sentimen pribadi atau kefanatikan yang membabi buta tanpa ilmu
(taqlid).
Begitu juga dengan perbedaan konsep
ijtihad, antar MUI dengan Gus Dur yang mengakibatkan dualisme hukum yang saling
bertentangan tentang bumbu penyedap Ajinomoto. MUI memfatwakan haram, sedangkan
Gus Dur memfatwakan halal. Perbedaan seperti itu wajar karena konsep dan teori
yang dipakai oleh MUI dan Gus Dur adalah memang berbeda, sehingga hasilnya pun
berbeda.
Disamping hal tersebut di atas,
faktor-faktor sejarah ulama-ulama yang ada di MUI dengan Gus Dur juga mempunyai
latar belakang pendidikan yang berbeda. Begitu pula kondisi sosialnya berbeda[23].
Gus Dur dalam memfatwakan tersebut kedudukannya sebagai presiden yang tugasnya mengayomi
dan menentramkan masyarakat pada rakyatnya. Sedangkan MUI bertugas sebagai Khadim Atummah yang mengurusi masalah
keagamaan (masa-il al-diniyah). Oleh
karena itu perbedaan pendapat adalah rahmat dari Allah SWT. Ikhtilafiyah adalah wadah untuk
persatuan bukan untuk memecahkan ummat.
E. Penutup
Dari uraian di atas tentang
kontroversi halal-haram bumbu penyedap Ajinomoto dapat diambil beberapa kesimpulan
diantaranya adalah :
1.
Komisi
Fatwa MUI memfatwakan bahwa Ajinomoto itu haram, karena mengandung lemak babi,
berdasarkan pada nash AL-Qur’an dan As-Sunnah yang ada, serta akidah fiqliyah Jalbul ma-shalih muqaddam ‘ala dar-il
mafasid.
2.
Menurut
Gus Dur bumbu penyedap Ajinomoto itu halal, berdasarkan pada kaidah dar’ul Mafasid muqaddam ‘ala jal bil
mashahih.
3.
Faktor
sejarah sosial antara MUI dengan Gus Dur sangat berbeda, sehingga dalam istimbath al-hukm juga berbeda, sehingga
kata Ibnu Al-Qayyim “Taghayyuru al fatwa
bi taghayyur al-amkinah wa al-azmiinah al-awaid.
4.
Ikhtilaf al-ummat harus menjadi rahmat jangan menjadi laknat.
Demikian uraian singkat dari makalah
ini mudah-mudahan bermanfaat untuk kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Hakim, Al Bayan, Jakarta : Sa’adiyah Putra, tt.
Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushulil Fiqh, Cairo : Dakwatul Islamiyah, Al-Azhar, 1968.
Abdullah bin Said, Iidah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Jiddah :
tth.
Al Ghazali, Al Mustashfa’ Jilid I, Beirut
: Darul Fikr, 1980
Al-Nawawi, Al-Arba’ina al-nawawi, Bandung
: Al-Ma’arif, tth
Al-Suyuthi, Al-Asybah wa Al-Nadzair fi Alfuru’, Semarang : Usaha Keluarga, tth
Al-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiqi min ‘Ilmil Ushul, Jiddah : Al Haramain,
tth.
Al-Nawawi, Al-Arba’ina al-nawawiyah, Bandung
: Toha Putra, tth
Asysyaerozy, Al Luma’fi Ushulil Fiqh, Semarang
: Syirka Nur Asia, tt.
Atho Mudzar, Penerapan Sejarah Sosial Dalam Pemikiran Hukum Islam, Makalah
disampaikan dalam acara Pusat Pengkajian Islam UNISBABA, Bandung , 8 Januari 1992.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta : 1973
Harun Nasution, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, Bandung : Mizan, 1996.
Jalaluddin Al Mahaly, Al Waragat fi Ushulil Fiqih, Semarang : Syirka Nur
Asia, tt.
M. Abu Zahro, Ushul Fiqih, (Ahli Bahasa Saefullah Ma’shum), Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994.
Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta
: Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an, 1973.
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung : Al-Ma’arif,
1986.
Nasrun Harun, Ushul Fiqh, Jakarta
: Logos, 2001
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung
: Pustaka Setia, 1999
Satria Efendi dalam pengantar buku
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani
: Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Logos, 1999.
[1] Lihat Harus Nasution, Islam
Rasional : Gagasan dan Pemikira (Bandung : Mizan, 1996), hal 199
[2] Ungkapan ini telah didukung oleh Satria Efendi dalam Pengantar Buku
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani
: Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Logos,
1999)
[3] Nasrun Harun, Ilmu Ushul Fiqh,
(Jakarta :
Logos, 2001), hal 249
[4] Abdul Wahab Kholaf, Ilmu
Ushulil Fiqh, (Cairo : Dakwatul Islamiyah, Al-Azhar, 1968), hal. 115
[5] Al-Syaukani, Irsyadul Fuhul
ila Tahqiqi min ‘Ilmil Ushul, (Jiddah : Al Haromen, tt), hal 6
[6] Al Ghazali, Al Mustashfa’
JilidI, (Beirut : Darul Fikr, 1980), hal. 75
[7] Jalaluddin Al Mahaly, Al
Waraqat fi Ushulil Fiqhi, (Semarang
: Syirka Nur Asia, tt), hal. 4
[8] Abdul Hamid Hakim, Al Bayan, (Jakarta : Sa’adiyah Putra, tt), hal. 7
[9] Asysyaerozy, Al Luma’fi Ushulil Fiqh, (Semarang : Syirka Nur
Asia, tt), hal. 4
[10] Muhamad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : Yayasan
Penyelenggaraan Penterjemah/ Penafsiran Al-Qur’an, 1973), hal. 101
[11] Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, (Jakarta : Sa’diyah Putra, tth), hal.7
[12] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka
Setia, 1999), hal. 300
[13] M. Abu Zahro, Ushul Fiqih, (Alih Bahasa Saefullah Ma’shum),
(Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), hal. 50
[14] Mukhtar Yahya dan
Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1986), hal. 138
[15] Baca Mimbar Ulama
No.287/Juli/2002/hal. 15
[16] Lihat Hadits ke-39 dalam Al-Arba’ina
al-Nawawi, (bandung
: Al-Ma’arif, tth), hal. 61
[17] Lihat QS. Al-Baqorah : 173, Al-Maida : 3, Al-An’am : 145 dan
Al-A’rof : 157
[18] Al-Nawawi, Ibid, hal. 19
[19] QS. Al-Baqorah : 168
[20] Al-Nawawi, Ibid, hal. 23
[21] Abdullah bin Said, Iidah
al-Qawa’id al-Fiqhiyah, (Jiddah : tth), hal. 53
[22] Al-Suyuthi, Ibid, hal. 62
[23] Baca Atho Mudzar, Penerapan
Sejarah Sosial Dalam Pemikiran Hukum Islam, Makalah disampaikan dalam acara
Pusat Pengkajian Islam UNISBABA, Bandung ,
8 Januari 1992, hal. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar