METODE PENGAMBILAN KEPUTUSAN HUKUM
KOMISI
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
TENTANG
PERKAWINAN CAMPURAN
Oleh
: Mursana
A.
Pendahuluan
Sejalan dengan dinamika sosial
keagamaan pada masyarakat, berkembang pula berbagai masalah di seputar fiqh,
yang sebagian besar belum terserap dalam pemikiran hukum para ulama[1].
Terhadap masalah-masalah yang biasa disebut dengan masa’il fiqhiyah
al-haditsah. Para ulama sejatinya telah memiliki mekanisme institusional
yang digunakan untuk memecahkan problematika tersebut.
Keberadaan Komisi Fatwa dan Hukum
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dipandang sangat penting, karena komisi ini
diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum Islam yang senantiasa
muncul dan semakin kompleks, yang dihadapi oleh umat Islam Indonesia. Tugas
mulia yang ditempuh Komisi Fatwa, yakni memberikan fatwa, bukanlah pekerjaan
mudah yang dapat dilakukan oleh setiap orang, melainkan pekerjaan sulit dan
mengandung resiko berat yang kelak dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Hal
ini mengingat tujuan pekerjaan tersebut adalah menjelaskan hukum Allah SWT.
kepada masyarakat yang akan mempedomani dan mengamalkannya. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan jika hampir seluruh kitab ushul fiqh membicarakan masalah
ifta’ (Fatwa) dan menetapkan sejumlah prinsip, Adab (kode etik),
dan persyaratan sangat ketat berat yang harus dipegang teguh oleh setiap orang
yang akan memberikan fatwa.
Diantara prinsip dan persyaratan
tersebut ialah bahwa seorang mufti (orang yang memberikan fatwa) harus
mengetahui hukum Islam secara mendalam berikut dalil-dalilnya[2].
Ia tidak dibenarkan berfatwa hanya dengan dugaan-dugaan semata tanpa didasari
pada dalil. Tegasnya, setiap yang menyatakan suatu hukum haruslah menunjukkan
dalilnya baik dari Al-qur’an, Hadits nabi, maupun dalil hukum lainnya.
Kiranya perlu dikemukakkan disini
bahwa dalam persoalan yang hukumnya telah diterapkan oleh nash qath’i,
yakni persoalan yang tidak perlu diijtihadkan lagi status hukumnya, MUI tidak
memfatwakannya. Dalam hal ini, apa yang dilakukan MUI hanyalah menyampaikan apa
adanya sebagaimana ditetapkan oleh nash. Fatwa-fatwa MUI hanyalah
berkenaan dengan masalah Fiqh, yakni hukum Islam katagori Fiqh yang merupakan
hasil ijtihad para ulama dari nash zhanni[3].
Setiap masalah fiqh adalah identik dengan masalah khilafiyah, perbedaan
pendapat. Artinya, untuk setiap persoalan secara pasti akan didapatkan lebih
dari satu pendapat. Perbedaan pendapat ini bukan saja dibenarkan keberadaannya
oleh Nabi sebagaimana diisyaratkan dalam sejumlah hadits. Tetapi bahkan harus
dipandang sebagai khazanah besar dan kekayaan hukum Islam yang menjadi rahmat
bagi umat seperti yang dikehendaki oleh Nabi dalam haditsnya yang cukup
populer, “Perbedaan umatku adalah rahmat”, serta dipegang teguh dan
direalisasikan dalam kehidupan nyata oleh umat Islam generasi awal. Oleh karena
itu Fatwa MUI itu merupakan hasil seleksi dari fiqh yang memang berwatak khilafiyah
(perbedaan pendapat), yang oleh Nabi dipandang sebagai rahmat. Kita dituntut
untuk saling menghargai dan toleransi ketika kita tidak sama dalam memilih atau
menentukan suatu pendapat yang akan diikuti. Akan tetapi mengingat bahwa pada
umumnya Fatwa MUI itu dijadikan pedoman oleh pemerintah, maka satu hal yang
harus kita sadari bersama ialah bahwa dalam soal-soal kemasyarakatan,
pemerintah diberi hal oleh hukum Islam untuk memilih suatu pendapat yang saling
membawa kemaslahatan sekalipun dalilnya lemah, dan memberlakukannya
kepada seluruh masyarakat, karena madzhab pemerintah adalah kemaslahatan. Apa
yang ditetapkan pemerintah ini mengikat bagi umat Islam yang ada di wilayah
pemerintahannya dan umat Islam wajib mematuhinya.
Dalam makalah sederhana ini penulis
mencoba menguraikan bagaimana metodologi pengambilan keputusan hukum Komisi
Fatwa MUI tentang Perkawinan Campuran yang akhir-akhir ini sedang trendy
dikalangan para selebriti kita di tanah air tercinta ini.
B.
Mengenal
Komisi Fatwa MUI
Komisi Fatwa adalah salah satu
komisi yang ada di MUI disamping komisi lainnya seperti Komisi Ukhuwah,
Pemberdayaan Perempuan Remaja dan Keluarga, Pengkajian dan Pengembangan,
Dakwah, Pengembangan Pendidikan Islamiyah, luar negeri, Ekonomi Islam, dan
Kerukunan Antar Umat Beragama.
Komisi Fatwa MUI mempunyai beberapa
program umum. Salah satu program tersebut diklasifikasikan dalam bentuk
kegiatan, seperti penyempurnaan pedoman mekanisme kerja (tata kerja);
penyempurnaan pedoman penetapan fatwa; penyempurnaan pedoman penetapan
sertifikat halal; dan mengupayakan terbentuknya peraturan perundang-undangan
tentang pengawasan produk-produk halal (yang telah mendapat sertifikat halal
MUI)[4].
Termasuk dalam program umum komisi
fatwa ini adalah pengkajian dan pengembangan masalah-masalah syari’ah (Hukum
Islam). Program tersebut diklasifikasikan dalam bentuk kegiatan pengkajian dan
penetapan fatwa masalah aktual yang diperlukan fatwanya, terutama yang
dimintakan fatwa oleh masyarakat maupun pemerintah, seperti tentang cash wakaf,
hal-hal yang berkaitan dengan Haji. Jenis kegiatan lainnya adalah mengkaji
ulang fatwa-fatwa MUI terdahulu yang dipandang perlu ditinjau dan dimantapkan,
misalnya fatwa tentang kepeloporan pejabat dalam melaksanakan ibadah dan jenis
kegiatan yang ketiga adalah menyelenggarakan muzakarah/seminar/loka karya
nasional tentang masalah-masalah aktual.
Jenis kegiatan keempat adalah
melakukan penelitian terhadap kehalalan makanan, minuman, bentuk obat-obatan
dan kosmetika produk luar negeri, baik yang belum memperoleh sertifikat halal
maupun sudah namun masih diragukan. Kelima adalah melakukan penelitian tentang
respon masyarakat terhadap fatwa-fatwa MUI. Keenam adalah mengusahakan agar
fatwa-fatwa MUI baik pusat maupun daerah mempunyai kekuatan hukum positif.
Sosialisasi dan publik kasihasil
fatwa adalah program umum komisi fatwa yang menduduki posisi signifikan untuk
mempengaruhi masyarakat. Jenis kegiatan dari program tersebut berupa
sosialisasi fatwa MUI daerah; melakukan pertemuan dengan ormas-ormas Islam,
lembaga legeslatif, eksekutif, dan yudikatif dalam memasyarakatkan hasil-hasil
fatwa; menerbitkan buku himpunan fatwa MUI; dan mempublikasikan hasil-hasil fatwa
melalui mimbar ulama dan media lain.
C.
Metode
Pengambilan keputusan Hukum Komisi Fatwa MUI Tentang Perkawinan Campuran
Keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat. Keluarga yang baik pada gilirannya akan membawa kepada terciptanya
masyarakat yang baik pula. Sebaliknya, keluarga yang tidak baik akan
mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Untuk menciptakan suasana keluarga yang
sejahtera, tentram dan damai diperlukan persiapan yang matang, sejak dari pra
perkawinan sampai berlangsungnya akad perkawinan itu. Salah satu faktor untuk
mewujudkan keluarga yang sejahtera dan tentram itu adalah adanya kesepadanan (kafa’at)
antara calon suami dan calon istri dalam berbagai hal, terutama dalam agamanya.
Untuk itulah Islam mengatur mekanisme perkawinan, mulai dari meminang sampai
pada berlangsungnya perkawinan itu. Bagaimana pandangan ilmu fiqih tentang
perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda (Perkawinan Campuran)? MUI telah
menjawab persoalan tersebut.
Menurut MUI, bahwa yang dimaksud
dengan perkawinan antara pemeluk agama (Perkawinan Campuran) adalah perkawinan
antara orang muslim atau muslimah dengan non muslim atau non-muslimah. Adapun
yang dimaksud dengan non muslim atau non-muslimah adalah “orang-orang musyrik
dan ahli kitab”[5].
Untuk memudahkan pembahasan, maka perkawinan antara pemeluk agama dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok :
- Perkawinan antar pria muslim
dengan wanita musyrikah dan sebaliknya.
MUI berpendapat bahwa laki-laki muslim tidak dibenarkan
menikah dengan wanita musyrikah, dimana pun mereka berada dan dari suku apapun
mereka berasal. Hal ini terlihat dalam pernyataannya yang bersifat umum, bahwa
perkawinan antar pemeluk agama, apapun agamanya, hukumnya haram[6].
Adapun dalil yang digunakan sebagai landasan putusannya adalah Firman Allah dalam
Surat Al-Baqarah ayat 221, sebagai berikut :
Dan janganlah kamu menikahi wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang mu’min lebih baik daripada
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Q.S.
Al-Baqarah/2:221).
Kata “al-musyrikat” dalam ayat ini
dipahami oleh MUI sebagai kata yang umum, termasuk di dalamnya wanita yang
bukan bangsa Arab.
Berdasarkan ayat di atas juga para ahli fiqih telah
sepakat bahwa pria muslim tidak dibenarkan mengawini wanita musyrikat,
begitu pula sebaliknya, wanita muslim tidak dibenarkan menikah dengan pria
non-muslim, baik itu tergolong musyrik ataupun ahlu al-kitab.
Meskipun ahli fiqih sepakat tentang haramnya wanita
muslimah menikah dengan pria musyrik atau laki-laki muslim menikah
dengan wanita musyrikah, mereka berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud
wanita musyrikah itu. Ibn Jarir Al-Thabari, seorang ahli tafsir Al-Qur’an,
berpendapat bahwa wanita musyrikah yang haram dinikahi adalah terbatas kepada
wanita musyrikah bangsa Arab saja, sebab mereka adalah penyembah berhala dan
tidak mempunyai kitab suci[7].
Konsekwensi dari pendapat ini adalah bahwa wanita musyrik yang bukan Arab tidak
termasuk yang dilarang Al-Qur’an untuk mengawininya. Jadi wanita musyrik yang
berasal dari Cina, India dan lain-lain dapat dinikahi oleh laki-laki muslim.
Pendapat ini juga dianut oleh Rasyid Rida dan Muhammad Abduh[8].
Di pihak lain banyak ahli tafsir dan ahli fiqih yang
berpendapat, bahwa wanita musyrikah itu tidak hanya terbatas pada wanita Arab
saja, melainkan juga mencakup semua wanita musyrikah non-Arab, dimanapun mereka
berada[9].
Agaknya, pernyataan “musyrikah” dalam ayat di atas tidak dapat dibatasi
oleh wilayah tertentu. Yang perlu dijadikan standar adalah bahwa wanita itu
sudah termasuk orang yang mempersekutukan Allah dan tidak mempunyai kitab suci
dari Allah.
- Perkawinan antara pria muslim
dengan wanita ahlu al-kitab
MUI pada dasarnya berpendapat bahwa
wanita ahlu al-kitab itu boleh dinikahi oleh pria muslim. Diakuinya,
bahwa ahlu al-kitab pada masa Rasulullah SAW pun sudah berada pada
keadaan syirik, namun Al-Qur’an tetap membolehkan untuk menikahi wanita ahlu
al-kitab tersebut[10].
Karena itu, organisasi ini meyakini bahwa Surat Al-Ma’idah ayat 5 merupakan
pengecualian terhadap keumuman Surat Al-Baqarah ayat 221 di atas. Dalam surat
Al-Ma’idah ayat 5 dinyatakan :
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita
yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa
kafir setelah ia beriman, maka hapuslah amalannya dan ia dihari akhirat
termasuk orang-orang merugi. (Q.S. Al-Ma’idah/5: 5)
Menurut pengamatan MUI, bahwa Surat
Al-Ma’idah ayat 5 di atas lebih akhir turunnya dibandingkan dengan Surat
Al-Baqarah ayat 221. Karenanya, tidak mungkin ayat yang lebih awal turun me-naskh
ayat yang lebih akhir turunnya. Lebih dari itu, MUI juga menyatakan bahwa Nabi
Muhammad SAW beserta beberapa orang shahabatnya pernah menikah dengan wanita ahlu
al-kitab[11].
Kalau ditelusuri pendapat para ahli
fiqih tentang hukum pria muslim menikah dengan wanita ahlu al-kitab,
maka terdapat dua kelompok. Ada yang berpendapat bahwa pria muslim boleh
menikahi wanita ahli kitab, seperti wanita Yahudi dan Nasrani, dan ada pula
yang berpendapat bahwa wanita Yahudi dan Nasrani yang sekarang tidak boleh
dinikahi oleh orang mukmin[12].
Kelompok pertama berpegang pada Firman Allah dalam Surat Al-Ma’idah ayat 5 di
atas. Mereka berpendapat bahwa wanita ahlu al-kitab tidak termasuk
“wanita musyrikat”, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 221 di atas. Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan pemisahan antara ahlu al-kitab dengan musyrik,
melalui analisis kebahasaan. Ayat-ayat dimaksud adalah:
Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang
musyrik tidak menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi)
rahmat-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar (Q.S.
Al-Baqarah/2: 105)
Orang-orang kafir, yakin ahli kitab dan orang-orang
musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum
datang kepada mereka bukti yang nyata. (Q.S.
Al-Bayyinah/98:1).
Mereka berpendapat bahwa huruf ‘athaf”waw”
mengandung arti adanya perbedaan esensi antara dua kata yang dihubungkan
dengan huruf tersebut; dalam hal ini kata “ahlu al-Kitab” dan “al-musyrikun.”
Sebagaimana MUI, kelompok pertama ini
juga tidak menerima anggapan, bahwa ayat 5 Surat Al-Maidah. Sebabnya, menurut
kelompok ini, adalah karena ayat 221 Surat Al-Baqarah lebih dahulu turunnya
daripada ayat 5 Surat Al-Ma’idah. Menurut mereka, tidak mungkin ayat yang menasakh
lebih dahulu turunnya daripada ayat yang dinasakh. Kelompok ini juga
mengemukakan bukti sejarah, bahwa Nabi Muhammad saw dan beberapa orang
sahabatnya pernah menikah dengan wanita yang disebut ahlu al-kitab itu.[13]
Sementara itu kelompok kedua, yang
berpendapat bahwa menikahi wanita ahlu al-kitab itu haram hukumnya,
bertitik tolak dari satu keyakinan bahwa pada hakikatnya wanita Nasrani dan
Yahudi itu termasuk kategori musyrik. Itulah yang mereka fahami dari
Firman Allah berikut ini :
Sesungguhnya telah kafirlah
orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam”,
padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku
dan Tuhanmu” sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah
neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim seorang penolongpun. (Q.S. Al-Ma’idah/5:72)
Sesungguhnya kafirlah
orang-orang yang mengatakan ‘bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’,
padahal sekali-kali tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak
berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di
antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.
Bagi kelompok ini, ayat 221 Surat
Al-Baqarah harus diberlakukan penuh, termasuk kepada wanita ahlu al-kitab.
Mereka juga mengambil pendapat Ibn ‘Umar yang menyatakan bahwa wanita yang
menyatakan Isa sebagai Tuhannya termasuk orang yang paling besar dosanya.[14]
Dalam kaitan ini kelihatannya MUI sependapat
dengan kelompok yang pertama. Namun demikian, organisasi ini menganalisis lebih
lanjut tentang hukum mubah terhadap pernikahan laki-laki muslim dengan
wanita ahlu al-kitab itu. Menurutnya, hukum mubah harus
dihubungkan dengan alasan mengapa pernikahan itu dibolehkan. Salah satu illat
dibolehkannya pria muslim menikahi wanita ahlu al-kitab, menurut MUI
adalah untuk berda’wah kepada mereka, dengan harapan mereka bisa mengikuti
agama yang dianut suaminya, Islam. Jika keadaan justru sebaliknya, pria muslim
akan terbawa kepada agama yang dianut ahlu al-kitab itu, maka hukum mubah
dapat berubah menjadi haram. Dalam hal ini MUI secara tegas menyatakan telah
menggunakan metode saddu al-dzari’at. Menurut pendapatnya, bahwa tujuan
digunakan metode ini adalah untuk menghindari kemadaratan yang mungkin timbul,
sebagai akibat dilakukannya perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlu
al-kitab, seperti Kristen dan Yahudi sekarang ini[15].
Jadi metode ini lebih berorientasi kepada akibat perbuatan yang dilakukan
seseorang.
Berbicara tentang kemadaratan atau mafsadat
yang harus diperhatikan ketika akan menetapkan hukum berdasarkan metode saddu
al-zari’at, maka perlu dipahami bahwa zari’at yang akan membawa
kepada mafsadat itu harus ditetapkan berdasarkan penelitian yang
seksama. Dalam kaitan ini MUI telah mencoba mengemukakan berbagai bukti akibat
dari dilangsungkannya perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlu
al-kitab. Pada dasarnya, menurut MUI akibat negatif itu terpulang pada dua
hal. Pertama, beralihnya agama suami kepada agama yang dianut oleh isterinya.
Kedua, pada umumnya agama yang dianut oleh anaknya sama dengan agama yang
dianut ibunya. Hal itu tentu oleh MUI dianggap sebagai kemadaratan yang asasi,
karena suami tidak dapat menjaga agamanya dan agama anak-anaknya[16].
Padahal menjaga agama termasuk unsur mashlahat yang menempati peringkat daruriyyat.
Dengan kata lain, MUI berkesimpulan bahwa kemaslahatan menghendaki agar
perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlu al-kitab, yang
dibolehkan Al-Qur’an itu, dilarang. Meskipun kemadaratan yang terdapat dalam
perkawinan antar umat beragama itu dianggap pasti dan asasi oleh MUI, namun
apabila dihubungkan dengan kerangka teori dan pembagian zari’at, seperti
yang telah dijelaskan terdahulu, maka zari’at dalam kasus perkawinan
antara laki-laki muslim dengan wanita ahlu al-kitab ini dapat
digolongkan sebagai zari’at yang seringkali membawa mafsadat
menurut asumsi sementara orang. Karena itu tidak heran kalau hukumnya
diperselisihkan oleh para ahli fiqih.
Disadari atau tidak oleh MUI, bahwa
ternyata kemaslahatan, pada suatu saat, harus “didahulukan” daripada nash.
Al-Qur’an dan Hadits secara eksplisit telah membolehkan pria muslim menikah
dengan wanita ahlu al-kitab, namun kemaslahatan umat Islam menghendaki
lain. Dengan menggunakan metode saddu al-zari’at, kebolehan menikahi
wanita ahlu al-kitab berubah menjadi haram. Haram di sini bukan haram lizatihi
tetapi haram lisaddi al-zari’at. Metode ini sebenarnya merupakan
pengejawantahan dari kaidah yang terkenal: “dar’u al-mafsid muqaddamun ‘ala
jalbi al-mashalih” (Menghindari mafsadat didahulukan daripada menarik
mashlahat). Dari sisi maqashid al-syari’at, metode ini dimaksudkan untuk
merealisasikan kemaslahatan yang dijadikan tujuan umum disyari’atkan hukum
dalam Islam. Salah satu aspek yang essensial (daruriyyat) dalam kasus
ini adalah memelihara agama (hifzhu al-din). Dengan alasan untuk
menghindari perpindahan agama itulah maka perlu ditutup kemungkinan perkawinan
antara pemeluk agama yang berbeda, termasuk perkawinan antara pria muslim
dengan wanita ahlu al-kitab.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa
salah satu syarat diterimanya maslahat sebagai metode penetapan hukum dan Islam
adalah tidak bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan Hadits [17].
Dalam kasus menikahi wanita ahli kitab, nash secara tegal
membolehkannya. Di pihak lain kemaslahatan menghendaki agar perkawinan pria
muslim dengan wanita ahlu al-kitab dilarang. Maka menurut tolok ukur
ahli ushul fiqh pada umumnya, kemaslahatan itu harus diabaikan. Tentu ayat
Al-Qur’an yang membolehkannya harus tetap diberlakukan.
Agaknya, MUI berusaha untuk
mengadakan semacam “penta’wilan” terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang membolehkan
menikahi wanita ahlu al-kitab dengan dalil-dalil lain, yang juga diambil
dari Al-Qur’an dan Hadits, untuk mendukung penta’wilan tersebut, terutama
Hadits Nabi yang menyatakan bahwa kesamaan agama merupakan unsur yang harus
diperhatikan dalam perkawinan. MUI juga telah berusaha untuk mendahulukan nash
yang bersifat umum daripada nash yang bersifat khusus. Cara berfikir
yang dipakai oleh MUI ini hampir sama dengan cara berfikir Umar bin Khatab,
ketika ia menghadapi masalah-masalah sosial pada masa pemerintahannya. Ia
melakukan tindakan itu, karena memperhatikan tujuan disyari’atkannya hukum
dalam Islam (maqasidh al-syari’at). Sebenarnya ia tidak menentang nash,
melainkan hanya menerapkan dalil-dalil yang bersifat umum yang dianggapnya
sebagai dalil yang mendukung tujuan tersebut.
D.
Penutup
Demikian uraian singkat yang bisa dipaparkan dalam makalah ini,
mudah-mudahan bisa dijadikan acuan bagi para pemerhati hukum Islam di negeri ini.
Akhirnya beberapa point yang penting dalam makalah sederhana ini
bisa penulis simpulkan sebagai berikut:
1.
Menurut
keputusan hukum Komisi Fatwa MUI tertanggal 1 Juni 1980 M bahwa perkawinan
campuran antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram
hukumnya berdasarkan Qs. Al-Baqarah (2) : 221.
2.
Seorang
laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslimah/musyrikah
berdasarkan Qs. Al-Baqarah (2) : 221. Adapun tentang perkawinan antara
laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan pendapat. Dalil
yang dipakai adalah Qs. Al-Maidah (5) : 5. Dalam Tafsir ayat tersebut,
dikalangan ulama ahli Tafsir dan Fuqaha terdapat perbedaan pendapat. Setelah
mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari pada maslahatnya, akhirnya MUI
memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram. Metode yang digunakan adalah saddu
al-dzari’at yang merupakan pengejawatahan dari kaedah yang terkenal “dar-ul
mafasid muqaddamun ‘ala jalbil msahalih” (menghindari mafsadat harus lebih
didahulukan daripada menarik mashlahat) semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Jaih
Mubarok, DR, Metode Pengambilan Keputusan Hukum Bahtsul Masail NU,
Ciamis : LPPIAID, 2004.
Yusuf
al-Qardawy, DR., Al-Fatwa bainal Indhibath Wat Tasayyub, Jakarta
: Pustakan al-Kautsar, 1996.
Himpunan
Fatwa MUI, Jakarta : Depag RI, 2003.
Mimbar
Ulama, Jakarta : MUI, 2000
Masjfuk
Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, Jakarta : Haji Masagung, MCMXCII
Al-Thorabi,
Jami’ul bayan Fi Tafsiril Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’arif, 1972.
Rasyid
Ridha, Tafsir al-Mannar, Cairo : Dar al-Manar, 1376 H.
Al-Shobuny,
Rawai’ul Bayan, Beirut : Daral Fikr, tt
Aziz
Masyhuri, KH, Masalah Keagamaan NU, Surabaya : Dinamika Press, 1997
Fathurrahman
Djamil, DR., Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta : Logos,
1995
Yusuf
al-Qordhowy, DR., Al-Ijtihad al-Mu’ashir (trj), Surabaya : Risalah
Gusti, 1995.
Yusuf
al-Qardhawy, al-halal wal haram fil Islam, tt : Bina Ilmu, 1993.
[1] Jaih Mubarok, DR, Metode Pengambilan Keputusan Hukum Bahtsul
Masa’il NU, (Ciamis : LPPIAID, 2004), h.480
[2] Lihat Yusuf al-qardhawy, DR,
Al-Fatwa bainal Indhibath wat Tasayyub (Terj), (Jakarta, Pustaka
Al-Kautsar, 1996), h.32.
[3] Himpunan Fatwa MUI,
(Jakarta : Depag RI, 2003), h.X
[4] Lihat Mimbar Ulama, (Jakarta, MUI, 2000), h.7
[5] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : Haji Masagung,
MCMXCII), h.4
[6] Himpunan Fatwa MUI, ibid, h.169
[7] Al-Thorabi, Jami’ul bayan Fi Tafsiril Qur’an (Beirut : Dar
al-ma’arif, 1972) J.II, h.221.
[8] Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Cairo : Dar al-Manar, 1376H)
J.VI, h.187-188, 190, 193.
[9] Al-Shobuny, Rawai’ul bayan, (Beirut : Darul Fikr, tt) J.I,
h. 289.
[10] Himpunan Fatwa MUI, Ibid, h.169
[11] Himpunan Fatwa MUI, Ibid, h. 169.
[12] Al-Shobuny, Ibid, h.289
[13] Dalam sejarah Islam disebutkan, bahwa Nabi pernah menikah dengan
Maria al-Qibtiyyat, seorang wanita Nasrani dari Mesir. Begitu pula beberapa
shahabat Nabi, seperti Thalhat dan Khuzaifat, telah menikah dengan wanita ahlu
al-kitab. Lihat Al-Thabari, Jami’al-Bayan, op. cit., Juz IV, h,.366
[14] Al-Shabuni, op. cit., Juz I, h.287.
[15] Himpunan Fatwa MUI, Ibid. Lihat juga Yusuf al-qardhawy, DR.,
al-halal wal haram, (trj), (TT= Bina Ilmu, 1993), h.252.
[16] Himpunan Fatwa MUI, Ibid
[17] Pedoman Penetapan Fatwa MUI, baca Himpunan Fatwa MUI, Ibid,
h.1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar