Cari Blog Ini

Rabu, 04 Januari 2017

METODE PENGAMBILAN KEPUTUSAN HUKUM KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG PERKAWINAN CAMPURAN

                                       METODE PENGAMBILAN KEPUTUSAN HUKUM
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
TENTANG PERKAWINAN CAMPURAN
Oleh : Mursana


A.     Pendahuluan

Sejalan dengan dinamika sosial keagamaan pada masyarakat, berkembang pula berbagai masalah di seputar fiqh, yang sebagian besar belum terserap dalam pemikiran hukum para ulama[1]. Terhadap masalah-masalah yang biasa disebut dengan masa’il fiqhiyah al-haditsah. Para ulama sejatinya telah memiliki mekanisme institusional yang digunakan untuk memecahkan problematika tersebut.
Keberadaan Komisi Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dipandang sangat penting, karena komisi ini diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum Islam yang senantiasa muncul dan semakin kompleks, yang dihadapi oleh umat Islam Indonesia. Tugas mulia yang ditempuh Komisi Fatwa, yakni memberikan fatwa, bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dilakukan oleh setiap orang, melainkan pekerjaan sulit dan mengandung resiko berat yang kelak dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Hal ini mengingat tujuan pekerjaan tersebut adalah menjelaskan hukum Allah SWT. kepada masyarakat yang akan mempedomani dan mengamalkannya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika hampir seluruh kitab ushul fiqh membicarakan masalah ifta’ (Fatwa) dan menetapkan sejumlah prinsip, Adab (kode etik), dan persyaratan sangat ketat berat yang harus dipegang teguh oleh setiap orang yang akan memberikan fatwa.
Diantara prinsip dan persyaratan tersebut ialah bahwa seorang mufti (orang yang memberikan fatwa) harus mengetahui hukum Islam secara mendalam berikut dalil-dalilnya[2]. Ia tidak dibenarkan berfatwa hanya dengan dugaan-dugaan semata tanpa didasari pada dalil. Tegasnya, setiap yang menyatakan suatu hukum haruslah menunjukkan dalilnya baik dari Al-qur’an, Hadits nabi, maupun dalil hukum lainnya.
Kiranya perlu dikemukakkan disini bahwa dalam persoalan yang hukumnya telah diterapkan oleh nash qath’i, yakni persoalan yang tidak perlu diijtihadkan lagi status hukumnya, MUI tidak memfatwakannya. Dalam hal ini, apa yang dilakukan MUI hanyalah menyampaikan apa adanya sebagaimana ditetapkan oleh nash. Fatwa-fatwa MUI hanyalah berkenaan dengan masalah Fiqh, yakni hukum Islam katagori Fiqh yang merupakan hasil ijtihad para ulama dari nash zhanni[3]. Setiap masalah fiqh adalah identik dengan masalah khilafiyah, perbedaan pendapat. Artinya, untuk setiap persoalan secara pasti akan didapatkan lebih dari satu pendapat. Perbedaan pendapat ini bukan saja dibenarkan keberadaannya oleh Nabi sebagaimana diisyaratkan dalam sejumlah hadits. Tetapi bahkan harus dipandang sebagai khazanah besar dan kekayaan hukum Islam yang menjadi rahmat bagi umat seperti yang dikehendaki oleh Nabi dalam haditsnya yang cukup populer, “Perbedaan umatku adalah rahmat”, serta dipegang teguh dan direalisasikan dalam kehidupan nyata oleh umat Islam generasi awal. Oleh karena itu Fatwa MUI itu merupakan hasil seleksi dari fiqh yang memang berwatak khilafiyah (perbedaan pendapat), yang oleh Nabi dipandang sebagai rahmat. Kita dituntut untuk saling menghargai dan toleransi ketika kita tidak sama dalam memilih atau menentukan suatu pendapat yang akan diikuti. Akan tetapi mengingat bahwa pada umumnya Fatwa MUI itu dijadikan pedoman oleh pemerintah, maka satu hal yang harus kita sadari bersama ialah bahwa dalam soal-soal kemasyarakatan, pemerintah diberi hal oleh hukum Islam untuk memilih suatu pendapat yang saling membawa kemaslahatan sekalipun dalilnya lemah, dan memberlakukannya kepada seluruh masyarakat, karena madzhab pemerintah adalah kemaslahatan. Apa yang ditetapkan pemerintah ini mengikat bagi umat Islam yang ada di wilayah pemerintahannya dan umat Islam wajib mematuhinya.
Dalam makalah sederhana ini penulis mencoba menguraikan bagaimana metodologi pengambilan keputusan hukum Komisi Fatwa MUI tentang Perkawinan Campuran yang akhir-akhir ini sedang trendy dikalangan para selebriti kita di tanah air tercinta ini.

B.     Mengenal Komisi Fatwa MUI

Komisi Fatwa adalah salah satu komisi yang ada di MUI disamping komisi lainnya seperti Komisi Ukhuwah, Pemberdayaan Perempuan Remaja dan Keluarga, Pengkajian dan Pengembangan, Dakwah, Pengembangan Pendidikan Islamiyah, luar negeri, Ekonomi Islam, dan Kerukunan Antar Umat Beragama.
Komisi Fatwa MUI mempunyai beberapa program umum. Salah satu program tersebut diklasifikasikan dalam bentuk kegiatan, seperti penyempurnaan pedoman mekanisme kerja (tata kerja); penyempurnaan pedoman penetapan fatwa; penyempurnaan pedoman penetapan sertifikat halal; dan mengupayakan terbentuknya peraturan perundang-undangan tentang pengawasan produk-produk halal (yang telah mendapat sertifikat halal MUI)[4].
Termasuk dalam program umum komisi fatwa ini adalah pengkajian dan pengembangan masalah-masalah syari’ah (Hukum Islam). Program tersebut diklasifikasikan dalam bentuk kegiatan pengkajian dan penetapan fatwa masalah aktual yang diperlukan fatwanya, terutama yang dimintakan fatwa oleh masyarakat maupun pemerintah, seperti tentang cash wakaf, hal-hal yang berkaitan dengan Haji. Jenis kegiatan lainnya adalah mengkaji ulang fatwa-fatwa MUI terdahulu yang dipandang perlu ditinjau dan dimantapkan, misalnya fatwa tentang kepeloporan pejabat dalam melaksanakan ibadah dan jenis kegiatan yang ketiga adalah menyelenggarakan muzakarah/seminar/loka karya nasional tentang masalah-masalah aktual.
Jenis kegiatan keempat adalah melakukan penelitian terhadap kehalalan makanan, minuman, bentuk obat-obatan dan kosmetika produk luar negeri, baik yang belum memperoleh sertifikat halal maupun sudah namun masih diragukan. Kelima adalah melakukan penelitian tentang respon masyarakat terhadap fatwa-fatwa MUI. Keenam adalah mengusahakan agar fatwa-fatwa MUI baik pusat maupun daerah mempunyai kekuatan hukum positif.
Sosialisasi dan publik kasihasil fatwa adalah program umum komisi fatwa yang menduduki posisi signifikan untuk mempengaruhi masyarakat. Jenis kegiatan dari program tersebut berupa sosialisasi fatwa MUI daerah; melakukan pertemuan dengan ormas-ormas Islam, lembaga legeslatif, eksekutif, dan yudikatif dalam memasyarakatkan hasil-hasil fatwa; menerbitkan buku himpunan fatwa MUI; dan mempublikasikan hasil-hasil fatwa melalui mimbar ulama dan media lain.



C.     Metode Pengambilan keputusan Hukum Komisi Fatwa MUI Tentang Perkawinan Campuran
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat. Keluarga yang baik pada gilirannya akan membawa kepada terciptanya masyarakat yang baik pula. Sebaliknya, keluarga yang tidak baik akan mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Untuk menciptakan suasana keluarga yang sejahtera, tentram dan damai diperlukan persiapan yang matang, sejak dari pra perkawinan sampai berlangsungnya akad perkawinan itu. Salah satu faktor untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera dan tentram itu adalah adanya kesepadanan (kafa’at) antara calon suami dan calon istri dalam berbagai hal, terutama dalam agamanya. Untuk itulah Islam mengatur mekanisme perkawinan, mulai dari meminang sampai pada berlangsungnya perkawinan itu. Bagaimana pandangan ilmu fiqih tentang perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda (Perkawinan Campuran)? MUI telah menjawab persoalan tersebut.
Menurut MUI, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan antara pemeluk agama (Perkawinan Campuran) adalah perkawinan antara orang muslim atau muslimah dengan non muslim atau non-muslimah. Adapun yang dimaksud dengan non muslim atau non-muslimah adalah “orang-orang musyrik dan ahli kitab”[5]. Untuk memudahkan pembahasan, maka perkawinan antara pemeluk agama dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok :
  1. Perkawinan antar pria muslim dengan wanita musyrikah dan sebaliknya.
MUI berpendapat bahwa laki-laki muslim tidak dibenarkan menikah dengan wanita musyrikah, dimana pun mereka berada dan dari suku apapun mereka berasal. Hal ini terlihat dalam pernyataannya yang bersifat umum, bahwa perkawinan antar pemeluk agama, apapun agamanya, hukumnya haram[6]. Adapun dalil yang digunakan sebagai landasan putusannya adalah Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221, sebagai berikut :




Dan janganlah kamu menikahi wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang mu’min lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Q.S. Al-Baqarah/2:221).
Kata “al-musyrikat” dalam ayat ini dipahami oleh MUI sebagai kata yang umum, termasuk di dalamnya wanita yang bukan bangsa Arab.
Berdasarkan ayat di atas juga para ahli fiqih telah sepakat bahwa pria muslim tidak dibenarkan mengawini wanita musyrikat, begitu pula sebaliknya, wanita muslim tidak dibenarkan menikah dengan pria non-muslim, baik itu tergolong musyrik ataupun ahlu al-kitab.
Meskipun ahli fiqih sepakat tentang haramnya wanita muslimah menikah dengan pria musyrik atau laki-laki muslim menikah dengan wanita musyrikah, mereka berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud wanita musyrikah itu. Ibn Jarir Al-Thabari, seorang ahli tafsir Al-Qur’an, berpendapat bahwa wanita musyrikah yang haram dinikahi adalah terbatas kepada wanita musyrikah bangsa Arab saja, sebab mereka adalah penyembah berhala dan tidak mempunyai kitab suci[7]. Konsekwensi dari pendapat ini adalah bahwa wanita musyrik yang bukan Arab tidak termasuk yang dilarang Al-Qur’an untuk mengawininya. Jadi wanita musyrik yang berasal dari Cina, India dan lain-lain dapat dinikahi oleh laki-laki muslim. Pendapat ini juga dianut oleh Rasyid Rida dan Muhammad Abduh[8].
Di pihak lain banyak ahli tafsir dan ahli fiqih yang berpendapat, bahwa wanita musyrikah itu tidak hanya terbatas pada wanita Arab saja, melainkan juga mencakup semua wanita musyrikah non-Arab, dimanapun mereka berada[9]. Agaknya, pernyataan “musyrikah” dalam ayat di atas tidak dapat dibatasi oleh wilayah tertentu. Yang perlu dijadikan standar adalah bahwa wanita itu sudah termasuk orang yang mempersekutukan Allah dan tidak mempunyai kitab suci dari Allah.

  1. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlu al-kitab
MUI pada dasarnya berpendapat bahwa wanita ahlu al-kitab itu boleh dinikahi oleh pria muslim. Diakuinya, bahwa ahlu al-kitab pada masa Rasulullah SAW pun sudah berada pada keadaan syirik, namun Al-Qur’an tetap membolehkan untuk menikahi wanita ahlu al-kitab tersebut[10]. Karena itu, organisasi ini meyakini bahwa Surat Al-Ma’idah ayat 5 merupakan pengecualian terhadap keumuman Surat Al-Baqarah ayat 221 di atas. Dalam surat Al-Ma’idah ayat 5 dinyatakan :
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa kafir setelah ia beriman, maka hapuslah amalannya dan ia dihari akhirat termasuk orang-orang merugi. (Q.S. Al-Ma’idah/5: 5)
Menurut pengamatan MUI, bahwa Surat Al-Ma’idah ayat 5 di atas lebih akhir turunnya dibandingkan dengan Surat Al-Baqarah ayat 221. Karenanya, tidak mungkin ayat yang lebih awal turun me-naskh ayat yang lebih akhir turunnya. Lebih dari itu, MUI juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW beserta beberapa orang shahabatnya pernah menikah dengan wanita ahlu al-kitab[11].
Kalau ditelusuri pendapat para ahli fiqih tentang hukum pria muslim menikah dengan wanita ahlu al-kitab, maka terdapat dua kelompok. Ada yang berpendapat bahwa pria muslim boleh menikahi wanita ahli kitab, seperti wanita Yahudi dan Nasrani, dan ada pula yang berpendapat bahwa wanita Yahudi dan Nasrani yang sekarang tidak boleh dinikahi oleh orang mukmin[12]. Kelompok pertama berpegang pada Firman Allah dalam Surat Al-Ma’idah ayat 5 di atas. Mereka berpendapat bahwa wanita ahlu al-kitab tidak termasuk “wanita musyrikat”, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 221 di atas. Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan pemisahan antara ahlu al-kitab dengan musyrik, melalui analisis kebahasaan. Ayat-ayat dimaksud adalah:





Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar (Q.S. Al-Baqarah/2: 105)




Orang-orang kafir, yakin ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (Q.S. Al-Bayyinah/98:1).
Mereka berpendapat bahwa huruf ‘athaf”waw” mengandung arti adanya perbedaan esensi antara dua kata yang dihubungkan dengan huruf tersebut; dalam hal ini kata “ahlu al-Kitab” dan “al-musyrikun.”
Sebagaimana MUI, kelompok pertama ini juga tidak menerima anggapan, bahwa ayat 5 Surat Al-Maidah. Sebabnya, menurut kelompok ini, adalah karena ayat 221 Surat Al-Baqarah lebih dahulu turunnya daripada ayat 5 Surat Al-Ma’idah. Menurut mereka, tidak mungkin ayat yang menasakh lebih dahulu turunnya daripada ayat yang dinasakh. Kelompok ini juga mengemukakan bukti sejarah, bahwa Nabi Muhammad saw dan beberapa orang sahabatnya pernah menikah dengan wanita yang disebut ahlu al-kitab itu.[13]
Sementara itu kelompok kedua, yang berpendapat bahwa menikahi wanita ahlu al-kitab itu haram hukumnya, bertitik tolak dari satu keyakinan bahwa pada hakikatnya wanita Nasrani dan Yahudi itu termasuk kategori musyrik. Itulah yang mereka fahami dari Firman Allah berikut ini :







Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam”, padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim seorang penolongpun. (Q.S. Al-Ma’idah/5:72)








Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan ‘bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.


Bagi kelompok ini, ayat 221 Surat Al-Baqarah harus diberlakukan penuh, termasuk kepada wanita ahlu al-kitab. Mereka juga mengambil pendapat Ibn ‘Umar yang menyatakan bahwa wanita yang menyatakan Isa sebagai Tuhannya termasuk orang yang paling besar dosanya.[14]
 Dalam kaitan ini kelihatannya MUI sependapat dengan kelompok yang pertama. Namun demikian, organisasi ini menganalisis lebih lanjut tentang hukum mubah terhadap pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahlu al-kitab itu. Menurutnya, hukum mubah harus dihubungkan dengan alasan mengapa pernikahan itu dibolehkan. Salah satu illat dibolehkannya pria muslim menikahi wanita ahlu al-kitab, menurut MUI adalah untuk berda’wah kepada mereka, dengan harapan mereka bisa mengikuti agama yang dianut suaminya, Islam. Jika keadaan justru sebaliknya, pria muslim akan terbawa kepada agama yang dianut ahlu al-kitab itu, maka hukum mubah dapat berubah menjadi haram. Dalam hal ini MUI secara tegas menyatakan telah menggunakan metode saddu al-dzari’at. Menurut pendapatnya, bahwa tujuan digunakan metode ini adalah untuk menghindari kemadaratan yang mungkin timbul, sebagai akibat dilakukannya perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlu al-kitab, seperti Kristen dan Yahudi sekarang ini[15]. Jadi metode ini lebih berorientasi kepada akibat perbuatan yang dilakukan seseorang.
Berbicara tentang kemadaratan atau mafsadat yang harus diperhatikan ketika akan menetapkan hukum berdasarkan metode saddu al-zari’at, maka perlu dipahami bahwa zari’at yang akan membawa kepada mafsadat itu harus ditetapkan berdasarkan penelitian yang seksama. Dalam kaitan ini MUI telah mencoba mengemukakan berbagai bukti akibat dari dilangsungkannya perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlu al-kitab. Pada dasarnya, menurut MUI akibat negatif itu terpulang pada dua hal. Pertama, beralihnya agama suami kepada agama yang dianut oleh isterinya. Kedua, pada umumnya agama yang dianut oleh anaknya sama dengan agama yang dianut ibunya. Hal itu tentu oleh MUI dianggap sebagai kemadaratan yang asasi, karena suami tidak dapat menjaga agamanya dan agama anak-anaknya[16]. Padahal menjaga agama termasuk unsur mashlahat yang menempati peringkat daruriyyat. Dengan kata lain, MUI berkesimpulan bahwa kemaslahatan menghendaki agar perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlu al-kitab, yang dibolehkan Al-Qur’an itu, dilarang. Meskipun kemadaratan yang terdapat dalam perkawinan antar umat beragama itu dianggap pasti dan asasi oleh MUI, namun apabila dihubungkan dengan kerangka teori dan pembagian zari’at, seperti yang telah dijelaskan terdahulu, maka zari’at dalam kasus perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlu al-kitab ini dapat digolongkan sebagai zari’at yang seringkali membawa mafsadat menurut asumsi sementara orang. Karena itu tidak heran kalau hukumnya diperselisihkan oleh para ahli fiqih.
Disadari atau tidak oleh MUI, bahwa ternyata kemaslahatan, pada suatu saat, harus “didahulukan” daripada nash. Al-Qur’an dan Hadits secara eksplisit telah membolehkan pria muslim menikah dengan wanita ahlu al-kitab, namun kemaslahatan umat Islam menghendaki lain. Dengan menggunakan metode saddu al-zari’at, kebolehan menikahi wanita ahlu al-kitab berubah menjadi haram. Haram di sini bukan haram lizatihi tetapi haram lisaddi al-zari’at. Metode ini sebenarnya merupakan pengejawantahan dari kaidah yang terkenal: “dar’u al-mafsid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” (Menghindari mafsadat didahulukan daripada menarik mashlahat). Dari sisi maqashid al-syari’at, metode ini dimaksudkan untuk merealisasikan kemaslahatan yang dijadikan tujuan umum disyari’atkan hukum dalam Islam. Salah satu aspek yang essensial (daruriyyat) dalam kasus ini adalah memelihara agama (hifzhu al-din). Dengan alasan untuk menghindari perpindahan agama itulah maka perlu ditutup kemungkinan perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda, termasuk perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlu al-kitab.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa salah satu syarat diterimanya maslahat sebagai metode penetapan hukum dan Islam adalah tidak bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan Hadits [17]. Dalam kasus menikahi wanita ahli kitab, nash secara tegal membolehkannya. Di pihak lain kemaslahatan menghendaki agar perkawinan pria muslim dengan wanita ahlu al-kitab dilarang. Maka menurut tolok ukur ahli ushul fiqh pada umumnya, kemaslahatan itu harus diabaikan. Tentu ayat Al-Qur’an yang membolehkannya harus tetap diberlakukan.
Agaknya, MUI berusaha untuk mengadakan semacam “penta’wilan” terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang membolehkan menikahi wanita ahlu al-kitab dengan dalil-dalil lain, yang juga diambil dari Al-Qur’an dan Hadits, untuk mendukung penta’wilan tersebut, terutama Hadits Nabi yang menyatakan bahwa kesamaan agama merupakan unsur yang harus diperhatikan dalam perkawinan. MUI juga telah berusaha untuk mendahulukan nash yang bersifat umum daripada nash yang bersifat khusus. Cara berfikir yang dipakai oleh MUI ini hampir sama dengan cara berfikir Umar bin Khatab, ketika ia menghadapi masalah-masalah sosial pada masa pemerintahannya. Ia melakukan tindakan itu, karena memperhatikan tujuan disyari’atkannya hukum dalam Islam (maqasidh al-syari’at). Sebenarnya ia tidak menentang nash, melainkan hanya menerapkan dalil-dalil yang bersifat umum yang dianggapnya sebagai dalil yang mendukung tujuan tersebut.

D.    Penutup

Demikian uraian singkat yang bisa dipaparkan dalam makalah ini, mudah-mudahan bisa dijadikan acuan bagi para pemerhati hukum Islam di negeri ini.
Akhirnya beberapa point yang penting dalam makalah sederhana ini bisa penulis simpulkan sebagai berikut:
1.       Menurut keputusan hukum Komisi Fatwa MUI tertanggal 1 Juni 1980 M bahwa perkawinan campuran antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya berdasarkan Qs. Al-Baqarah (2) : 221.
2.       Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslimah/musyrikah berdasarkan Qs. Al-Baqarah (2) : 221. Adapun tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan pendapat. Dalil yang dipakai adalah Qs. Al-Maidah (5) : 5. Dalam Tafsir ayat tersebut, dikalangan ulama ahli Tafsir dan Fuqaha terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari pada maslahatnya, akhirnya MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram. Metode yang digunakan adalah saddu al-dzari’at yang merupakan pengejawatahan dari kaedah yang terkenal “dar-ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil msahalih” (menghindari mafsadat harus lebih didahulukan daripada menarik mashlahat) semoga.


DAFTAR PUSTAKA


Jaih Mubarok, DR, Metode Pengambilan Keputusan Hukum Bahtsul Masail NU, Ciamis : LPPIAID, 2004.
Yusuf al-Qardawy, DR., Al-Fatwa bainal Indhibath Wat Tasayyub, Jakarta : Pustakan al-Kautsar, 1996.
Himpunan Fatwa MUI, Jakarta : Depag RI, 2003.
Mimbar Ulama, Jakarta : MUI, 2000
Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, Jakarta : Haji Masagung, MCMXCII
Al-Thorabi, Jami’ul bayan Fi Tafsiril Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’arif, 1972.
Rasyid Ridha, Tafsir al-Mannar, Cairo : Dar al-Manar, 1376 H.
Al-Shobuny, Rawai’ul Bayan, Beirut : Daral Fikr, tt
Aziz Masyhuri, KH, Masalah Keagamaan NU, Surabaya : Dinamika Press, 1997
Fathurrahman Djamil, DR., Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta : Logos, 1995
Yusuf al-Qordhowy, DR., Al-Ijtihad al-Mu’ashir (trj), Surabaya : Risalah Gusti, 1995.
Yusuf al-Qardhawy, al-halal wal haram fil Islam, tt : Bina Ilmu, 1993.



[1] Jaih Mubarok, DR, Metode Pengambilan Keputusan Hukum Bahtsul Masa’il NU, (Ciamis : LPPIAID, 2004), h.480
[2]  Lihat Yusuf al-qardhawy, DR, Al-Fatwa bainal Indhibath wat Tasayyub (Terj), (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1996), h.32.
[3]  Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta : Depag RI, 2003), h.X
[4] Lihat Mimbar Ulama, (Jakarta, MUI, 2000), h.7
[5] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : Haji Masagung, MCMXCII), h.4
[6] Himpunan Fatwa MUI, ibid, h.169
[7] Al-Thorabi, Jami’ul bayan Fi Tafsiril Qur’an (Beirut : Dar al-ma’arif, 1972) J.II, h.221.
[8] Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Cairo : Dar al-Manar, 1376H) J.VI, h.187-188, 190, 193.
[9] Al-Shobuny, Rawai’ul bayan, (Beirut : Darul Fikr, tt) J.I, h. 289.
[10] Himpunan Fatwa MUI, Ibid, h.169
[11] Himpunan Fatwa MUI, Ibid, h. 169.
[12] Al-Shobuny, Ibid, h.289
[13] Dalam sejarah Islam disebutkan, bahwa Nabi pernah menikah dengan Maria al-Qibtiyyat, seorang wanita Nasrani dari Mesir. Begitu pula beberapa shahabat Nabi, seperti Thalhat dan Khuzaifat, telah menikah dengan wanita ahlu al-kitab. Lihat Al-Thabari, Jami’al-Bayan, op. cit., Juz IV, h,.366
[14] Al-Shabuni, op. cit., Juz I, h.287.
[15] Himpunan Fatwa MUI, Ibid. Lihat juga Yusuf al-qardhawy, DR., al-halal wal haram, (trj), (TT= Bina Ilmu, 1993), h.252.
[16] Himpunan Fatwa MUI, Ibid
[17] Pedoman Penetapan Fatwa MUI, baca Himpunan Fatwa MUI, Ibid, h.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar