BERGURU KEPADA UMAR
DALAM MEMBERANTAS KORUPSI
( Sebuah Renungan Hari
Korupsi Tahun 2008 )
Oleh : Mursana, M.Ag.
Sebagai rakyat Indonesia , saat ini harus bangga
terhadap pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan
Yusuf Kalla. Sebab salah satu yang menjadi agenda dan prioritas utama adalah
pemberantasan korupsi. Mengapa?
Karena korupsi di Negara Republik Indonesia sudah menjadi budaya. Bahkan lebih
ngeri lagi telah menjadi gaya hidup para pejabat yang sedang ngetrend. Sehingga disebut aneh apabila
ada pensiunan pejabat tetapi tidak diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Subhanallah, sebagai wong cilik saya bingung, siapa sebenarnya
yang patut ditauladani di negeri ini. Karena semua tokoh yang dikagumi selalu
saja berakhir dibalik teralis besi.
Tindak korupsi di Indonesia
sudah sampai pada tarap yang meresahkan, kalau dahulu korupsi dilakukan oleh
mereka yang memegang jabatan tertentu, atau di lembaga-lembaga keuangan,
seperti Bank dan sebagainya, maka sekarang sudah sampai pada tingkat-tingkat
terkecil dalam masyarakat seperti Camat, Desa atau bahkan RT, seolah-olah sudah
membumi dan mentradisi dikalangan masyarakat. Selain karena ada peluang juga
karena ketidak tegasan hukum kita terhadap pelaku korupsi, hingga sering kita
dengar sebuah slogan dari masyarakat kita bahwa, “Yang korupsinya bertriliunan saja tidak ditangkap apalagi yang
korupsinya kecil-kecilan”. Oleh karena itu yang kita butuhkan adalah
ketahanan diri (Imsak) dan Istiqomah, yaitu sejauh mana kita ini
komit terhadap ajaran agama itu.
Dalam naskah al-Qur’an atau
hadits Nabi Saw. Memang tidak ditemukan kata-kata yang biasa diterjemahkan
secara harfiyah dengan kata korupsi atau koruptor. Namun sebenarnya banyak ayat
yang maknanya secara tegas menunjukkan, mengenai korupsi. Diantaranya Q.S.
Al-Baqarah ayat 188, “Dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang
batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu
dapat memakannya sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat
dosa, padahal kamu mengetahui”. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Saw.
Pernah menegaskan, “Laknat Allah bagi
orang yang menyuap dan menerima suap”. Ayat dan hadits ini menunjukkan
tentang larangan tindakan korupsi. Karena korupsi merupakan perbuatan yang
dapat dikatagorikan sebagai perbuatan Zhalim, yakni mengambil dan merampas hak
orang lain. Dan perbuatan semacam ini sangat berat hukumannya dihari kiamat
nanti. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi Saw, “Barang siapa yang mendzolimi (mengambil)
tanah orang satu jengkal, maka pada hari kiamat, Allah akan menimpakan
kepadanya tujuh kali lipat dari tanah yang diambilnya”. (H.R. Bukhori dan
Muslim).
Hadits tersebut menjelaskan
bahwa siapapun yang mengambil tanah orang lain dengan cara yang tidak benar
(zhalim) satu jengkalpun, maka pada hari kiamat akan memikul tujuh kali lipat
dari tanah yang dia ambil itu di atas pundaknya. Sebenarnya kalau kita
perhatikan tanah satu jengkal berapa harganya, tentu saja tidak seberapa, akan
tetapi akibat yang akan diperoleh bagi mereka yang mengambil hak orang lain, di
akhirat akan sangat berat sekali hukumannya, apalagi mereka yang mengambil atau
mengkorupsi uang negara atau hak-hak orang dalam jumlah besar, karena itu
takutlah kepada azab Allah di akhirat kelak, wahai para koruptor!
Kerugian akibat ulah para
koruptor di negeri ini sesungguhnya membawa dampak ketidakstabilan negara dalam
berbagai bidang. Misalnya dalam bidang ekonomi, harga
BBM hampir tidak pernah turun (naik terus), harga sembako semakin melangit yang
mengakibatkan rakyat semakin menderita, terutama rakyat kecil (wong cilik).
Dalam bidang pertahanan dan keamanan; peralatan perang yang dimiliki oleh TNI
jauh tertinggal dibanding negara lain, karena biaya untuk membeli senjata tidak
sebesar negara lain, gara-gara ada Mang
Koruptor. Begitu pula pada bidang-bidang yang lainnya.
Kenapa korupsi marak di Indonesia ? Menurut KH. Didin
Hafidhudin, bahwa maraknya budaya korupsi di Indonesia disebabkan karena
beberapa faktor, diantaranya adalah:
Pertama, kurangnya
masyarakat memahami ajaran-ajaran agamanya. Khusus untuk umat Islam, individu
muslim belum menghayati makna ajaran agama, seperti makna sholat, puasa dan
sebagainya. Ibadah sholat dan puasa bila dilaksanakan secara benar dan
konsekuen dapat dimanifestasikan dalam perilaku sehari-hari, misalnya mampu
mencegah perbuatan-perbuatan jahat, mungkar dan merugikan orang lain.
Kedua, lemahnya
sistem pengawasan dari pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya. Di tanah air memang banyak lembaga pengawasan berdiri, namun
kinerjanya belum maksimal. Lemahnya sistem pengawasan ini memungkinkan pelaku
tidak merasa takut untuk melakukan korupsi. Namun saat ini pemerintah baru
menyadari bahwa pengawasan itu sangat perlu dilakukan dengan melibatkan
berbagai lembaga LSM dan mengaktifkan lembaga hukum, kejaksaan dan pengadilan
(kehakiman).
Ketiga, lemahnya sistem hukum. Ini terjadi karena kurang beraninya aparat
hukum dalam melakukan penelitian dan pengungkapan terhadap tindak korupsi yang
dilakukan oleh pejabat negara. Saat ini aparat hukum mulai bergerak. Hukum
mulai ditegakkan. Para koruptor satu persatu
mulai ditangkap. Penegakan hukum ini harus terus dijalankan, bila Indonesia
ingin bebas korupsi.
Keempat, kurang digalakkannya semangat rakyat anti korupsi. Semangat ini
sangat perlu dijalankan, sebab tindak korupsi telah menjerumuskan bangsa ini ke
jurang kehancuran. Bila
semangat kurang digerakkan, maka nasib bangsa ini terus akan di bawah. Oleh
karena itu, sosialisasi semangat anti korupsi perlu digerakkan mulai dari
lembaga pendidikan bawah sampai atas.
Melalui tulisan sederhana ini,
penulis atas nama wong cilik
menghimbau kepada para pejabat dan para penguasa negeri ini agar mentauladani
sang Kholifah Amirul Mumminin Umar bin Khaththab dalam menegakkan supremasi
hukum dan memelihara amanah dari rakyatnya.
Khalifah Umar bin Khaththab
pernah mengeluarkan perintah yang berisi larangan mencampur susu dengan air.
Tetapi adakah peraturan ini memiliki mata hingga sanggup mengawasi setiap orang
yang melakukan penyelewengan? Adakah dia memiliki tangan hingga mampu menangkap
setiap pelaku pelanggaran? Jawabannya tidak! Dalam hal ini harus imanlah yang
memiliki peranan besar dalam diri setiap individu.
Alkisah tersebut cerita
seorang ibu dan anak perempuannya. Sang ibu bermaksud mencampur susu dengan
air, karena mengharapkan keuntungan, sedang anak perempuannya memperingatkan
kepadanya tentang larangan Khalifah Umar bin Khaththab. Sang ibu berkata, “Bukankah Sang Khalifah jauh dari kita? Tak mungkin dia bisa melihat
kita.” Anak perempuan itu menjawab, “Meskipun
Sang Khalifah tidak melihat kita, namun Tuhan Sang Khalifah tetap melihat kita.”
Dalam riwayat lain
menceritakan, ketika kaum muslimin menduduki Madain dan memperoleh rampasan perang, datang seorang laki-laki
membawa harta rampasan untuk diserahkan kepada orang-orang yang ditugasi
mengumpulkan harta rampasan itu. Lalu orang-orang yang
bersama dia saling berbisik satu sama lain dengan mengatakan, “Belum pernah kita melihat barang berharga
seperti ini. Apa yang telah kita berikan sungguh tiada menyamai, bahkan
mendekatipun tidak.” Para
petugas bertanya, “Engkau tidak
mengambilnya barang sedikit?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah! Kalau bukan karena Allah, tidak mungkin aku
menyerahkan harta ini kepada kalian.” Karena melihat laki-laki itu
mempunyai kejujuran yang luar biasa, mereka bertanya, “Siapa engkau?” Dia menjawab,
“Demi Allah aku tidak akan memberitahukan
kepada kalian siapa diriku, agar kalian tidak memujiku. Juga kepada selain
kalian, agar mereka tidak memberikan penghargaan kepadaku. Tetapi aku hanya
mengharap pujian dari Allah SWT dan merasa puas dengan pahalanya.” Harta rampasan yang melimpah ruah dan
tak ternilai harganya itu diantarkan sendiri oleh seorang tentara yang berjuang
dengan ikhlas karena Allah, tiada mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih
dari sesama manusia. Kholifah Umar bin Kaththab berkata dengan penuh kekaguman
dan penghargaan, “Sungguh yang
menyerahkan harta rampasan ini benar-benar orang yang jujur.”
Kedua kisah tersebut mencerminkan
bagaimana ketaatan dalam menegakkan hukum dan amanah. Walaupun ada kesempatan
untuk melanggar (korupsi) tanpa diketahui oleh manusia lain, namun keyakinan
bahwa Allah SWT melihat (al-bashiir) segala perbuatan itu, dan dengan ikhlas
berbuat karena Allah SWT, maka segala kesempatan untuk melakukan pelanggaran
tidak akan terjadi. Karena ia
yakin bahwa siksa kubur dan siksa neraka itu haq.
Ada satu kisah lagi dari
ketokohan Khalifah Umar bin Khaththab. Suatu ketika beliau ingin menguji salah
seorangg rakyatnya, seorang pengembala kambing upahan yang hidupnya jauh dari
keramaian kota. Sang Khalifah yang terkenal tegas, tetapi berhati sangat lembut
ini menyamarkan sebagai seorang rakyat biasa juga berpura-pura ingin membeli
salah satu kambing gembalaannya. Singkat cerita, Khalifah Umar mulai menawar
salah satu diantara kambing gembalaan itu, maka terjadilah dialog antara Khalifah
Umar dengan sang pengembala itu:
Khalifah Umar : “Saudaraku, maukah engkau menjual satu atau
dua ekor kambing gembalaan-mu itu kepadaku”.
Pengembala : “Maaf tuan, kambing-kambing ini bukan milik
aku. Aku hanyalah seorang pengembala upahan, sedang pemilik gembala ini adalah
majikanku yang tinggal di kota”.
Khalifah Umar : “Saudaraku, majikanmu kan tidak ada di sini,
dan dia tidak akan bakal tahu kalau kamu menjual barang satu atau dua ekor
kambing itu kepadaku. Dan kalau sewaktu-waktu dia datang dan menanyakan perihal
kambingnya yang berkurang, andakan bisa saja berkilah bahwa ada yang dimakan
serigala.
Mendengar penuturan Khalifah
Umar tersebut, sang pengembala dengan muka memerah, menatap tajam kepada
Khalifah Umar, lalu berkata dengan nada tinggi Fa-ainallah? (lalu dimanakah Allah?)
Sepenggal kisah ini
menggambarkan karakter pribadi seseorang yang merasa dirinya senantiasa ditatap
dan disorot oleh kamera Tuhannya (al-Bashiir). Pribadi seperti inilah yang
tidak akan pernah mau berbuat maksiat dan korup, meskipun ia punya kesempatan
untuk itu.
Sungguh hanya dengan kekuatan
spiritual-lah (keimanan) yang mengakar dan meresap dalam hati, satu-satunya
kekuatan sejati yang dapat meredam gejolak hawa nafsu, bisikan jahat syetan,
dan naluri kita. Tanpa kendali ini, adanya hukum, ilmu, dan kontrol sosial
tidak akan mampu meredam segala macam tindak kejahatan termasuk korupsi.
Artinya bahwa hukum, ilmu, maupun kontrol sosial tidak ada gunanya tanpa
keimanan yang istiqomah kepada Allah Swt. Sebaliknya, keimanan bahwa Allah senantiasa “Melihat segala perbuatan kita” (QS.
Al-‘Alaq :14) dapat meredam segala gejolak tersebut tanpa perlu bantuan hukum,
ilmu, dan kontrol sosial. Hukum biasanya tidak dipatuhi pada saat dalam
kesendirian. Hukum hanya bermanfaat di dalam keramaian. Sementara sebagian
kejahatan terjadi karena sembunyi-sembunyi. Ilmu dan kontrol sosial tidak
berguna untuk mencegah naluri ketika ia bergelora. Kedua hal ini hanya dapat mencegah dan
mengendalikan naluri di saat dan di dalam situasi normal. Tidak salah, tetapi
juga mungkin agak berlebihan, jika Jalaludin
Rumi dalam salah satu bait syairnya mengatakan : “Janganlah anda mengira dapat mengalahkan hawa nafsu dengan ilmu dan
pemikiran serta filsafat, akan tetapi anda perlu senjata iman yang kuat, akal
dan rasio tidak dapat memberikan sumbangan apapun”.
Akhirnya, bahwa untuk
membersihkan negeri ini dari korupsi, mari kita mulai dari diri sendiri (Ibda’
bin Nafsi) untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. Tanpa
keduanya, sekuat apapun pemerintah dalam menegakkan hukum di negeri ini tidak
akan sukses dalam memberantas korupsi, dimulai dari aparat penegak hukumnya untuk
meningkatkan iman dan taqwanya kepada Allah, selanjutnya pasti akan diikuti
oleh masyarakatnya. Jangan sampai seperti yang sudah-sudah. Dia memberantas
korupsi, padahal dia sendiri tersangka masalah korupsi. Dia memberantas narkoba, padahal dia sendiri bermasalah
dengan narkoba, dan lain sebagainya. Semoga.
Mursana,
M.Ag. ; Penyuluh Agama Islam Kec. Plumbon.
Alumni
Pesantren Darussalam Ciamis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar