Cari Blog Ini

Rabu, 04 Januari 2017

DILEMA FATWA HARAM MEROKOK

DILEMA FATWA HARAM MEROKOK
Oleh: Mursana,M.Ag
(Dosen Hadits STAIMA Cirebon,Alumni Pesantren Darussalam Ciamis)

Pada tanggal 24-26 Januari 2009 lalu Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI) mengadakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Komplek Perguruan Islam Padang Panjang Sumatra Barat. Acara yang dihadiri oleh seluruh Ulama se-Indonesia ini membahas berbagai hal yang menjadi kegelisahan umat Islam Indonesia, diantaranya adalah masalah hukum merokok, aborsi, dan golput. Wakil Presiden Republik Indonesia Bapak Yusup Kalla dalam sambutannya menyarankan agar keputusan fatwa senantiasa melihat berbagai aspek, baik aspek sosial, ekonomi, kesehatan, keadilan maupun hukum.
Hasil keputusan fatwa MUI di atas ada beberapa masalah yang mendapat reaksi dan protes keras dari masyarakat, yakni hukum haram merokok bagi anak-anak, remaja, wanita hamil dan merokok di tempat umum, hukum dibolehkan aborsi bagi wanita korban pemerkosaan, dan hukum haram golput.
Dari hasil keputusan hukum haram merokok hanya bagi anak-anak, remaja,  wanita hamil dan merokok di tempat umum, hukum dibolehkan aborsi bagi wanita korban pemerkosaan, dan hukum haram golput, terdapat kejanggalan yang sangat mencolok, kenapa keputusan hukum haram tersebut terkesan tebang pilih, diskriminatif, dan tidak tegas terutama hukum merokok? Kenapa merokok hanya diharamkan bagi anak-anak, remaja, wanita hamil, dan di tempat umum saja? Tidak diberlakukan kepada semua umur termasuk usia dewasa dan di semua tempat. Penulis curiga jangan-jangan masih banyak ulama yang tidak mau melepaskan rokok atau kecanduan rokok, sehingga berat sekali apabila keputusan haram merokok ditunjukan kepada semua kalangan. Ini jelas tidak adil alias njomplang. Enak bagi ulama dan tidak enak bagi lainnya.
Menurut Hasyim Muzadi yang tidak diundang dalam acara MUI, bahwa Nahdhatul Ulama (NU) sudah sejak lama mengambil keputusan hukum merokok lewat kegiatan Bahtsul Masa-il NU bahwa merokok adalah makruh tidak sampai haram, karena dampak yang diakibatkan dari merokok tidak seperti minuman keras. Terkait penunjukan keharaman merokok oleh Komisi Fatwa MUI sangat tidak jelas batasan umur dan tempatnya demikian pendapat Ketua Umum PB. NU. Sedangkan menurut Azyumardi Azra (mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) bahwa fatwa haram merokok sangat kompromistis, karena tidak diberlakukan untuk semua golongan. Apapun alasannya yang jelas bahwa keputusan haram tersebut telah terjadi sehingga gelombang protes dari masyarakat baik yang pro maupun yang kontra terhadap keputusan ini terjadi di mana-mana. Di Kediri Jawa Timur sebagai lumbung rokok misalnya para karyawan pabrik rokok, para petani tembakau, mereka protes apabila rokok itu diharamkan otomatis para konsumen rokok di Indonesia yang mayoritas umat Islam akan berhenti membeli rokok yang berdampak pada krisis ekonomi. Gelombang protes juga terjadi di kalangan para santri dan ulama Jawa Timur, seperti MUI Kabupaten Probolinggo, juga dari masyarakat lain yang tergabung dalam Insitute For Social and Economic Studies (ISES) yang meminta agar MUI menggagalkan fatwa haram rokok. Sedangkan menurut pendapat Ketua DPD, Ginanjar Kartasasmita bahwa fatwa ini tidak akan efektif, karena merokok merupakan hak privat yang sudah ada sejak dulu.
 Begitu juga dengan yang pro keputusan ini, mereka giat mengkampanyekan Gerakan Anti Merokok, karena bahaya yang diakibatkan dari merokok sudah sangat memprihatinkan di negeri ini. Komisi Nasional Perlindungan Anak misalnya, ia berpendapat bahwa dengan diterbitkan fatwa haram merokok akan melindungi hak anak dari bahaya tembakau. Hal ini didukung oleh Ketua ICMI Jawa Barat, Nanat Fatah Natsir yang berargumentasi bahwa dengan diputuskan fatwa haram merokok oleh MUI berarti organisasi ini telah melangkah lebih maju.
Merokok: antara Mashlahat dan madharat ?
Untuk mengetahui apakah merokok itu mashlahat atau madharat tidak bisa dilihat dari satu aspek saja, melainkan harus ditinjau dari beberapa aspek, baik dari aspek sosial, ekonomi, kesehatan, maupun agama..
Pertama, aspek sosial. Secara sosial  merokok mengandung mashlahat dan madharat. Di daerah-daerah tertentu merokok adalah symbol keakraban diantara anggota masyarakat. Sehingga setiap kali ada acara yang berhubungan dengan acara kemasyarakatan seperti Wilayah Cirebon setiap tahun ada tradisi hajat laut, sedekah bumi, membuat sumur, pindahan rumah, memitu (tujuh bulan usia kehamilan), walimahan, dan lain-lain, merokok merupakan hidangan wajib. Apabila tidak ada rokok dalam acara-acara tersebut, pasti ada yang menanyakan di antara anggota masyarakat tersebut terutama setelah makan-makan. Sehingga sering ada ungkapan wis mangan ora udud, enek” ( setelah makan tidak merokok, mulutnya hambar ). Selain dari itu, rokok juga merupakan lambang silaturrahim, perekat kekeluargaan, penyambung persaudaraan. Tanpa rokok dalam suatu acara akan mengurangi rasa/suasana keakraban di antara anggota masyarakat. Inilah beberapa mashlahat dari merokok ditinjau dari aspek sosial
Di samping itu juga, merokok mengakibatkan madharat yang tidak sedikit, secara sosial. Asap yang keluar dari rokok menyebarkan racun yang apabila terisap oleh manusia terutama anak-anak-dan wanita hamil akan mengakibatkan sesaknya saluran pernafasan. Belum lagi aroma mulut orang yang merokok menyebarkan bau yang tidak sedap, sangat mengganggu kelancaran komunikasi dengan lawan bicaranya. Di DKI Jakarta, menurut WALHI asap rokok sudah sangat memprihatinkan, sehingga apabila tidak segera diatasi dipastikan pencemaran udara (polusi) akan mengganggu kehidupan sosial, begitu halnya dengan lingkungan sekitarnya, tidak nyaman lagi.
Kedua, aspek ekonomi. Secara ekonomi, rokok sangat menguntungkan (mashlahat) bagi masyarakat dan negara. Bea Cukai dari rokok di Indonesia termasuk terbesar di antara yang lainnya. Pemasukan negara dari cukai rokok sangat besar sekali, sehingga apabila rokok ditiadakan karena fatwa MUI, maka negara akan kehilangan pemasukan yang tidak sedikit, secara otomatis pembangunan di negeri ini akan terhambat. Sedangkan bagi daerah-daerah basis rokok, seperti Kediri, Probolinggo, Kudus, dan sebagaian wilayah Cirebon, rokok merupakan tihang ekonomi, sehingga kalau tidak ada rokok dikahawatirkan roda ekonomi akan pincang. Berapa banyak karyawan pabrik rokok dan kertas yang menjadi pengangguran akibat PHK? Berapa banyak petani tembakau yang kelaparan akibat tembakaunya tidak laku jual? Dan berapa banyak pula sopir mobil rokok yang kehilangan pekerjaannya?
Secara ekonomi, merokok juga membawa kerugian (madharat) yang sangat besar. Orang yang mempunyai harta benda yang semestinya untuk belanja atau memenuhi keperluan keluarga, dihabiskan percuma. Kalau kita renungkan sebenarnya merokok itu itu sedikitpun tidak membuat kenyang. Apa yang dimakan atau dihisap dari rokok? Tembakau, kertas, apinya atau asapnya? Semuanya dibuang percuma. Bukankah menghambur-hamburkan harta benda itu dilarang oleh Islam? Coba lihat  QS.17: 26 - 27:
 “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan. Dan syaitan itu sangat ingkar kepada Tuhannya”.
Ketiga, aspek kesehatan. Dari aspek kesehatan, merokok tidak ada yang mashlahat, bahkan sebaliknya mengandung banyak madharat. Mari perhatikan peringatan Dokter yang tertulis dalam bungkusnya, “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”. Sungguh mengerikan!
Keempat, aspek Agama. Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya : Apakah hukum rokok, haram atau makruh? Dan apakah hukum menjual dan memperdagangkannya ? Beliau menjawab: rokok diharamkan karena ia termasuk khaba’its (sesuatu yang buruk) dan mengandung banyak sekali madharat, sementara Allah hanya membolehkan makanan, minuman dan selain keduanya yang baik-baik saja bagi para hambaNya dan mengharamkan bagi mereka semua yang buruk (khaba’its). Dalam hal ini, Allah berfirman: “Mereka menanyakan kepadamu, Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah, dihalalkan bagimu yang baik-baik (QS.5: 4) Jadi, rokok dengan segala jenisnya bukan termasuk ath-Thayyibat (segala yang baik) tetapi ia adalah al-Khaba’its. Demikian pula, semua hal-hal yang memabukkan adalah termasuk al-Khaba’its. Oleh karenanya menurut Syaikh, tidak boleh merokok, menjual ataupun berbisnis dengannya sama hukumnya seperti Khamr (arak). Hal ini berbeda dengan pendapat Hasyim Muzadi bahwa merokok adalah tidak sama dengan khamr  Jadi  wajib bagi orang yang merokok dan memperdagangkannya untuk segera bertaubat dan kembali ke jalan Allah, menyesali perbuatan yang telah diperbuat serta bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. (lihat Kitabut Da’wah, fatwa Syaikh Ibn Baz :236).
Untuk mendukung fatwa syaikh ini mari perhatikan hadits 32 Arba’in Nawawy, Rasulullah Saw.bersabda: “tidak boleh melakukan perbuatan (madharat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain”. (HR.Ibnu Majah). Dari hadits ini muncullah kaidah fiqhiyah: “kemadharatan harus dihilangkan” dan “menghilangkan sesuatu yang merusak (madharat) harus lebih diutamakan daripada mengambil kemashlahatan”.
Dari beberapa pokok pemikiran di atas kiranya bisa disimpulkan bahwa ternyata bahaya merkok lebih besar daripada manfaatnya. Maka tidak berlebihan kalau MUI memfatwakan keharaman merokok demi kemashlahatan hidup dan kehidupan umat manusia. Kepada saudaraku, para Dai, Penyuluh Agama, Asatidz dan semua aktifis dakwah agar memulai  dari sekarang untuk berhenti merokok  Ingat kesehatan jasmani dan rohani adalah harta benda yang tidak ternilai harganya. Semoga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar