DILEMA
FATWA HARAM MEROKOK
Oleh:
Mursana,M.Ag
(Dosen Hadits STAIMA Cirebon ,Alumni Pesantren Darussalam Ciamis)
Pada tanggal 24-26 Januari 2009 lalu Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI) mengadakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas)
di Komplek Perguruan Islam Padang Panjang Sumatra Barat. Acara yang dihadiri
oleh seluruh Ulama se-Indonesia ini membahas berbagai hal yang menjadi
kegelisahan umat Islam Indonesia ,
diantaranya adalah masalah hukum merokok, aborsi, dan golput. Wakil Presiden
Republik Indonesia Bapak Yusup Kalla dalam sambutannya menyarankan agar
keputusan fatwa senantiasa melihat berbagai aspek, baik aspek sosial, ekonomi,
kesehatan, keadilan maupun hukum.
Hasil keputusan fatwa MUI di atas ada beberapa masalah
yang mendapat reaksi dan protes keras dari masyarakat, yakni hukum haram
merokok bagi anak-anak, remaja, wanita hamil dan merokok di tempat umum, hukum
dibolehkan aborsi bagi wanita korban pemerkosaan, dan hukum haram golput.
Dari hasil keputusan hukum haram merokok hanya bagi
anak-anak, remaja, wanita hamil dan
merokok di tempat umum, hukum dibolehkan aborsi bagi wanita korban pemerkosaan,
dan hukum haram golput, terdapat kejanggalan yang sangat mencolok, kenapa
keputusan hukum haram tersebut terkesan tebang pilih, diskriminatif, dan tidak
tegas terutama hukum merokok? Kenapa merokok hanya diharamkan bagi anak-anak,
remaja, wanita hamil, dan di tempat umum saja? Tidak diberlakukan kepada semua
umur termasuk usia dewasa dan di semua tempat. Penulis curiga jangan-jangan
masih banyak ulama yang tidak mau melepaskan rokok atau kecanduan rokok,
sehingga berat sekali apabila keputusan haram merokok ditunjukan kepada semua
kalangan. Ini jelas tidak adil alias njomplang. Enak bagi ulama dan
tidak enak bagi lainnya.
Menurut Hasyim Muzadi yang tidak diundang dalam acara
MUI, bahwa Nahdhatul Ulama (NU) sudah sejak lama mengambil keputusan hukum
merokok lewat kegiatan Bahtsul Masa-il NU bahwa merokok adalah makruh
tidak sampai haram, karena dampak yang diakibatkan dari merokok tidak seperti
minuman keras. Terkait penunjukan keharaman merokok oleh Komisi Fatwa MUI
sangat tidak jelas batasan umur dan tempatnya demikian pendapat Ketua Umum PB.
NU. Sedangkan menurut Azyumardi Azra (mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta) bahwa fatwa haram merokok sangat kompromistis, karena tidak
diberlakukan untuk semua golongan. Apapun alasannya yang jelas bahwa keputusan
haram tersebut telah terjadi sehingga gelombang protes dari masyarakat baik
yang pro maupun yang kontra terhadap keputusan ini terjadi di mana-mana. Di
Kediri Jawa Timur sebagai lumbung rokok misalnya para karyawan pabrik rokok,
para petani tembakau, mereka protes apabila rokok itu diharamkan otomatis para
konsumen rokok di Indonesia
yang mayoritas umat Islam akan berhenti membeli rokok yang berdampak pada
krisis ekonomi. Gelombang protes juga terjadi di kalangan para santri dan ulama
Jawa Timur, seperti MUI Kabupaten Probolinggo, juga dari masyarakat lain yang
tergabung dalam Insitute For Social and Economic Studies (ISES) yang meminta
agar MUI menggagalkan fatwa haram rokok. Sedangkan menurut pendapat Ketua DPD,
Ginanjar Kartasasmita bahwa fatwa ini tidak akan efektif, karena merokok
merupakan hak privat yang sudah ada sejak dulu.
Begitu juga
dengan yang pro keputusan ini, mereka giat mengkampanyekan Gerakan Anti
Merokok, karena bahaya yang diakibatkan dari merokok sudah sangat
memprihatinkan di negeri ini. Komisi Nasional Perlindungan Anak misalnya, ia
berpendapat bahwa dengan diterbitkan fatwa haram merokok akan melindungi hak
anak dari bahaya tembakau. Hal ini didukung oleh Ketua ICMI Jawa Barat, Nanat
Fatah Natsir yang berargumentasi bahwa dengan diputuskan fatwa haram merokok
oleh MUI berarti organisasi ini telah melangkah lebih maju.
Merokok: antara Mashlahat dan madharat ?
Untuk mengetahui apakah merokok itu mashlahat atau
madharat tidak bisa dilihat dari satu aspek saja, melainkan harus ditinjau dari
beberapa aspek, baik dari aspek sosial, ekonomi, kesehatan, maupun agama..
Pertama, aspek sosial.
Secara sosial merokok mengandung mashlahat
dan madharat. Di daerah-daerah tertentu merokok adalah symbol keakraban
diantara anggota masyarakat. Sehingga setiap kali ada acara yang berhubungan
dengan acara kemasyarakatan seperti Wilayah Cirebon setiap tahun ada tradisi
hajat laut, sedekah bumi, membuat sumur, pindahan rumah, memitu (tujuh
bulan usia kehamilan), walimahan, dan lain-lain, merokok merupakan hidangan
wajib. Apabila tidak ada rokok dalam acara-acara tersebut, pasti ada yang
menanyakan di antara anggota masyarakat tersebut terutama setelah makan-makan.
Sehingga sering ada ungkapan “wis
mangan ora udud, enek” ( setelah makan tidak merokok, mulutnya hambar ).
Selain dari itu, rokok juga merupakan lambang silaturrahim, perekat
kekeluargaan, penyambung persaudaraan. Tanpa rokok dalam suatu acara akan
mengurangi rasa/suasana keakraban di antara anggota masyarakat. Inilah beberapa
mashlahat dari merokok ditinjau dari aspek sosial
Di samping itu juga, merokok mengakibatkan madharat yang
tidak sedikit, secara sosial. Asap yang keluar dari rokok menyebarkan racun
yang apabila terisap oleh manusia terutama anak-anak-dan wanita hamil akan
mengakibatkan sesaknya saluran pernafasan. Belum lagi aroma mulut orang yang
merokok menyebarkan bau yang tidak sedap, sangat mengganggu kelancaran
komunikasi dengan lawan bicaranya. Di DKI Jakarta, menurut WALHI asap rokok
sudah sangat memprihatinkan, sehingga apabila tidak segera diatasi dipastikan
pencemaran udara (polusi) akan mengganggu kehidupan sosial, begitu halnya
dengan lingkungan sekitarnya, tidak nyaman lagi.
Kedua, aspek ekonomi.
Secara ekonomi, rokok sangat menguntungkan (mashlahat) bagi masyarakat dan
negara. Bea Cukai dari rokok di Indonesia
termasuk terbesar di antara yang lainnya. Pemasukan negara dari cukai rokok
sangat besar sekali, sehingga apabila rokok ditiadakan karena fatwa MUI, maka
negara akan kehilangan pemasukan yang tidak sedikit, secara otomatis
pembangunan di negeri ini akan terhambat. Sedangkan bagi daerah-daerah basis
rokok, seperti Kediri, Probolinggo, Kudus, dan sebagaian wilayah Cirebon, rokok
merupakan tihang ekonomi, sehingga kalau tidak ada rokok dikahawatirkan
roda ekonomi akan pincang. Berapa banyak karyawan pabrik rokok dan kertas yang
menjadi pengangguran akibat PHK? Berapa banyak petani tembakau yang kelaparan
akibat tembakaunya tidak laku jual? Dan berapa banyak pula sopir mobil rokok
yang kehilangan pekerjaannya?
Secara ekonomi, merokok juga membawa kerugian (madharat)
yang sangat besar. Orang yang mempunyai harta benda yang semestinya untuk
belanja atau memenuhi keperluan keluarga, dihabiskan percuma. Kalau kita
renungkan sebenarnya merokok itu itu sedikitpun tidak membuat kenyang. Apa yang
dimakan atau dihisap dari rokok? Tembakau, kertas, apinya atau asapnya?
Semuanya dibuang percuma. Bukankah menghambur-hamburkan harta benda itu
dilarang oleh Islam? Coba lihat QS.17:
26 - 27:
“Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara syaitan. Dan syaitan itu sangat ingkar kepada Tuhannya”.
Ketiga, aspek kesehatan. Dari aspek kesehatan, merokok tidak ada yang
mashlahat, bahkan sebaliknya mengandung banyak madharat. Mari perhatikan
peringatan Dokter yang tertulis dalam bungkusnya, “merokok dapat menyebabkan
kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”. Sungguh
mengerikan!
Keempat, aspek Agama. Syaikh Abdul Aziz bin Baz
pernah ditanya : Apakah hukum rokok, haram atau makruh? Dan apakah hukum
menjual dan memperdagangkannya ? Beliau menjawab: rokok diharamkan karena ia termasuk khaba’its (sesuatu
yang buruk) dan mengandung banyak sekali madharat,
sementara Allah hanya membolehkan makanan, minuman dan selain keduanya yang baik-baik saja bagi para hambaNya dan
mengharamkan bagi mereka semua yang buruk (khaba’its).
Dalam hal ini, Allah berfirman: “Mereka menanyakan kepadamu, Apakah yang
dihalalkan bagi mereka? Katakanlah, dihalalkan bagimu yang baik-baik (QS.5:
4) Jadi, rokok dengan segala jenisnya bukan termasuk ath-Thayyibat
(segala yang baik) tetapi ia adalah al-Khaba’its. Demikian pula, semua
hal-hal yang memabukkan adalah termasuk al-Khaba’its. Oleh karenanya
menurut Syaikh, tidak boleh merokok, menjual ataupun berbisnis dengannya sama
hukumnya seperti Khamr (arak). Hal ini berbeda dengan pendapat Hasyim Muzadi
bahwa merokok adalah tidak sama dengan khamr
Jadi wajib bagi orang yang
merokok dan memperdagangkannya untuk segera bertaubat dan kembali ke jalan
Allah, menyesali perbuatan yang telah diperbuat serta bertekad untuk tidak
mengulanginya lagi. (lihat Kitabut Da’wah, fatwa Syaikh Ibn Baz :236).
Untuk mendukung fatwa syaikh ini mari perhatikan hadits 32
Arba’in Nawawy, Rasulullah Saw.bersabda: “tidak boleh melakukan perbuatan
(madharat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain”. (HR.Ibnu Majah).
Dari hadits ini muncullah kaidah fiqhiyah: “kemadharatan harus dihilangkan”
dan “menghilangkan sesuatu yang merusak (madharat) harus lebih diutamakan
daripada mengambil kemashlahatan”.
Dari beberapa pokok
pemikiran di atas kiranya bisa disimpulkan bahwa ternyata bahaya merkok lebih
besar daripada manfaatnya. Maka tidak berlebihan kalau MUI memfatwakan
keharaman merokok demi kemashlahatan hidup dan kehidupan umat manusia. Kepada
saudaraku, para Dai, Penyuluh Agama, Asatidz dan semua aktifis dakwah agar
memulai dari sekarang untuk berhenti merokok Ingat kesehatan jasmani dan rohani adalah
harta benda yang tidak ternilai harganya. Semoga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar