Bukan lautan
hanya kolam susu
Kail dan jala
cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah sorga )
Tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman ) 2X
( lagu ini dipopulerkan oleh grup musik Koes Plus
pada tahun 80-an )
Penggalan bait syair di atas
merupakan gambaran negeri yang subur dan makmur. Kehidupan makhluk Tuhan
terlihat adanya keseimbangan dan keserasian dengan saling berkaitan satu sama
lainnya. Maka menurut Quraish Shihab
(1992); bila terjadi gangguan alam yang luar biasa terhadap salah satunya,
dipastikan makhluk yang berada dalam lingkungan hidup tersebut, ikut terganggu
pula. Seperti disebutkan dalam al Qur’an bahwa Alam raya berjalan atas dasar
pengaturan yang serasi dan perhitungan yang tepat ” (Q.S.82: 7 dan 67: 3).
Oleh karena itu jika keseimbangan dan keserasian alam tidak dilestarikan, maka
timbullah kehancuran alam ini.
Suasana alam yang ramah dan
bersahaja dengan lingkungan hidup yang ada di sekitarnya telah tergambar dalam
goresan syair di atas. Inilah potret negeri kita pada masa lampau.
Pertanyaannya adalah apakah bait-bait syair ini masih relevan apabila
dikumandangkan pada saat ini? Kalau tidak, lalu kata-kata apa yang pantas untuk
diucapkan dalam menilai kondisi alam dan lingkungan kita saat ini?
Inna lillahi wa
innaa ilaihi raji’uun, nampaknya
kalimat inilah yang sangat cocok untuk diucapkan oleh umat Islam di Indonesia,
akhir-akhir ini. Karena kelihatannya bangsa Indonesia pada umumnya sedang
mendapat teguran/ diperingatkan oleh Allah Swt. dengan datangnya musibah yang
silih berganti. Mulai dari musibah Tsunami di penghujung tahun 2004 yang
memakan korban ratusan ribu jiwa masyarakat Aceh meninggal dunia, disusul lagi
tsunami di Nias Sumatra Utara, sampai dengan gempa di Yogyakarta, Jawa Tengah,
Pengandaran, dan yang terakhir di Bengkulu terjadi gempa berkekuatan 7,9 skala
Richer disusul serangkaian gempa susulan sejumlah daerah di Indonesia dan sempat
dinyatakan berpotensi tsunami, Rabu (12/9/2007), sekitar pukul 18.10 WIB. Gempa
Bengkulu berkekuatan 7,9 skala Richter membuat kerusakan berat di Kepulauan
Mentawai, Sumatra Barat, dan yang terakhir pada awal-awal tahun ini bencana
Situ Gintung Tanggerang. Kalimat Thoyibah tersebut diucapkan sebagai bentuk
kesadaran makhluk kepada Sang Kholik, bahwa semua makhluk di dunia ini adalah
milik Allah dan suatu saat akan kembali kepada Allah Swt. Dengan demikian
apabila bacaan tersebut diucapkan ketika terjadi musibah, maka berarti kita
sedang diingatkan agar segera kembali kepada Allah, karena mungkin selama ini,
kita sebagai makhluk telah jauh menyimpang dari rambu-rambu yang telah
digariskan Allah Swt.
Ada apa dengan Bencana?
Setiap kali muncul / terjadi suatu
bencana, sering orang bertanya-tanya, ada apa dengan bencana? Setiap orang
beragam dalam menjawab pertanyaan seperti ini. Ada yang menjawab, terjadi
karena pergeseran lempengan-lempengan yang ada di dasar laut, sehingga berpotensi
menimbulkan gempa tektonik dan tsunami. Ada lagi yang menjawab, mungkin karena
alam sudah tidak bersahabat dengan kita. Bahkan ada yang lebih radikal lagi
jawabannya, karena alam sudah terlalu
sering disakiti, dirusak, dizholimi (dieksploitasi) oleh manusia, maka alam itu
marah yang membabi buta. Dan kalau alam itu sudah marah dan murka maka
dampaknya adalah kepada manusia itu sendiri.
Semua jawaban di atas apabila
disimpulkan, karena umat manusia sudah tidak lagi memelihara dan menjaga akhlak
yang baik terhadap alam dan lingkungan hidup yang ada di sekitarnya.
Sudah bosan rasanya telinga
kita mendengar berita-berita yang menggambarkan tentang prilaku manusia yang
berbuat tidak adil terhadap alam dan lingkungan. Padahal dampak dari
perbuatannya itu akan kembali lagi kepada manusia itu sendiri. Sebut saja
misalnya penebangan liar (penggundulan) hutan tanpa memperhatikan undang-undang
yang berlaku, mengakibatkan banjir bandang dan longsor. Membakar hutan secara
ilegal, untuk kepentingan oknum para pengusaha Kelapa Sawit, mengakibatkan asap
tebal dimana-mana bahkan sampai ke negara tetangga. Dan pengeboran minyak tanpa
memperhatikan peraturan yang berlaku, berdampak luapan lumpur yang tidak
terkendali seperti di Sidoarjo dan lain-lain. Kenapa manusia tega berbuat demikian?
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ
مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ
وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ
ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا ۖ
” Telah dihiasi pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
benda yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia ” ( Q.S. 3:14).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa
setiap manusia diberi potensi hawa nafsu untuk mendapatkan rasa cinta kepada
wanita cantik, ingin memiliki harta benda yang banyak seperti emas, perak, kuda
pilihan (kendaraan mewah), binatang ternak dan sawah ladang (Az-Zuhaily:1998)
Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan semuanya itu, walaupun dengan berbagai
cara, tidak peduli apakah cara yang digunakan itu merusak alam dan lingkungan
atau tidak yang penting bagi dirinya bahwa tujuan itu tercapai. Maka dari
sinilah awal mula proses terjadinya kerusakan alam yang mengakibatkan bencana
yang sangat dasyat di negeri ini.
Islam memandang bahwa segala musibah yang terjadi
di alam ini akibat perbuatan manusia itu sendiri. Seperti dalam firman Allah Swt.:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“ Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Q.S. 30: 41)
Dalam ayat ini
menjelaskan bahwa musibah yang terjadi baik di daratan maupun di lautan akibat
ulah manusia yang mengumbar hawa nafsunya untuk kepentingan dirinya. Dan
musibah sengaja Allah Swt. timpahkan kepada manusia agar manusia kembali ke
jalan Tuhannya yakni jalan yang benar.
Saatnya berakhlakulkarimah kepada Lingkungan Hidup
Apabila kita tela’ah kembali ruang lingkup ajaran
Islam, paling tidak ada empat hal yang perlu dilakukan oleh setiap muslim,
yaitu memelihara akhlak terhadap Allah, dengan sesama manusia, dengan dirinya
sendiri, dan dengan lingkungan hidup (alam sekitar).
Ketika manusia berakhlak kepada Allah disebut hablum
minallah, bentuknya adalah ibadah atau pengabdian kepada Allah. Ketika
manusia berakhlak kepada sesama manusia disebut hablum minannas,
bentuknya adalah mu’amalah atau saling tolong menolong dalam kebaikan. Ketika
manusia berakhlak dengan dirinya sendiri disebut hablum minannafsi, bentuknya
adalah memperhatikan dirinya sendiri agar badannya selalu sehat dan prima, dan
bila ia sakit segera berobat. Dengan kata lain tidak membiarkan dirinya sakit
atau menderita. Dan ketika manusia berakhlak kepada lingkungan hidup atau alam
sekitar disebut hablum minal ’alam, bentuknya adalah memelihara,
melestarikan dan mempergunakan lingkungan hidup itu untuk kepentingan manusia.
Pada saat manusia beribadah kepada Allah swt.maka
ia bertindak sebagai hamba Allah yang mempunyai tugas untuk mengabdi, sesuai
dengan firman Allah dalam al Qur’an:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan
untuk beribadah kepadaKu” (QS. 51: 56). Sedangkan pada saat ia berakhlak dengan
sesama manusia, dengan dirinya sendiri, dan dengan lingkungan hidup, maka ia
bertindak sebagai khalifatullah fil ardh, sesuai dengan firman Allah
Swt. dalam al Qur’an:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي
الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ
” Dan ingatlah ketika tuhanmu berkata kepada para malaikat,
sesungguhnya aku akan menciptakan di muka bumi ini seorang khalifah”. (Q.S. 2: 30)
Coba perhatikan dengan seksama, setiap lingkungan
hidup yang ada di sekitar kita semuanya bermanfaat bagi kehidupan manusia,
mulai dari udara, air, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Udara sangat berguna bagi kehidupan manusia
yakni untuk bernafas, karena sedetik saja kita tidak bisa menghirup udara untuk
bernafas, maka hidup akan berakhir. Air sangat berguna untu minum, tidak
sedikit manusia yang mati karena kehausan, bahkan hewan dan tumbuh-tumbuhanpun
akan mati bila tidak ada air. Hewan, terutama hewan ternak yang halal, ada yang
berguna untuk dimakan, ada yang bermanfaat untuk dipergunakan tenaganya,
seperti kerbau untuk membajak sawah, kuda dan unta untuk kendaraan. Sedangkan
tumbuh-tumbuhan berguna untuk dimakan, seperti buah-buahan dan sayuran. Dan ada
juga yang digunakan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar dan lain sebagainya.
Manusia sebagai khalifah fil ardh telah
diperintakan Allah Swt.untuk memelihara, melestarikan dan mempergunakan
lingkungan hidup untuk kepentingan manusia itu sendiri. Sebagaimana firman
Allah Swt.dalam al Qur’an :
هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
” Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikan kamu untuk memakmurkannya” (Q.S.11: 61).
Az Zuhaily (1998) menafsirkan ayat tersebut, bahwa
alam ini diciptakan untuk kita dan kita diperintakan untuk melestarikan,
memakmurkan dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan diri
kita sendiri. Namun harus diingat, bahwa kita harus menjaga keseimbangan alam
dan lingkungan hidup. Janganlah kita membuat kerusakan di muka bumi ini, tidak
boleh mengeksploitasi alam hanya untuk kepentingan nafsu serakah. Misalnya
menebang pohon seenak udelnya tanpa menanam kembali pohon sebagai
pengantinya. Karena itu akan mengakibatkan bencana bagi manusia itu sendiri,
sebagaimana yang telah dijelaskan pada awal pembukaan makalah ini.
Sebagai bangsa Indonesia sepantasnya harus banyak
bersyukur nikmat kepada Sang Kholik, karena sudah banyak dimanjakan oleh Nya
dengan kesuburan tanah yang dapat menumbuhkan berbagai macam tanaman, orang
bilang tanah kita tanah sorga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, hasil hutan
dan lautan yang melimpah ruah tak terhitung banyaknya, keindahan alamnya yang
menarik para wisatawan, kandungan minyak bumi, gas, emas, batubara dan
lain-lain. Semua itu patut disyukuri dengan memelihara, melestarikan dan
memanfaatkannya sebanyak-banyaknya untuk kepentingan masyarakat.
Salah satu cara bersyukur adalah memanfaatkan
lingkunga hidup tersebut di jalan yang diridhoi Allah Swt. Namun bila
mempergunakan lingkungan hidup di jalan yang dimurkai Allah Swt., misalnya
membiarkan bumi (tanah) dan berbagai macam kemaksiatan tumbuh subur di negeri
ini, para pemimpin negara banyak yang korupsi, kaum muda-mudi tidak risih
memamerkan auratnya di depan umum, tayangan TV penuh dengan pornografi dan
pornoaksi, maka jangan heran bila bencana silih berganti, sebagai peringatan
dari Allah Swt. na’udzu billah min dzalik.
Sebagai penegasan akhir dari tulisan ini bahwa
yang dimaksud dengan berakhlakulkarimah dengan lingkungan hidup adalah berani
memelihara, melestarikan, dan memanfaatkannya untuk kepentingan manusia dalam
rangka menuju ridho Allah Swt. Dan apabila dipergunakan untuk sebaliknya. Maka
bersiap-siaplah menerima bencana yang maha dahsyat, seperti dijanjikan dalam al
Qur’an :
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا
مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ
وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“
Dan hendaklah kalian takut akan fitnah (bencana) yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat
keras siksaan-Nya” (Q.S.8: 25). Semoga.
Daftar
Bacaan
1.
Departemen Agama RI, al
Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : 2007
2.
Az Zukhaily, Wahbah, al
Tafsir al Munir, Bairut : Dar el Fikr, 1998
3. Ali Yafie, KH., Menggagas Fiqih Sosial, Bandung: Mizan,
1994
4. Quraish Shihab,DR.,
Membumikan al Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar