Cari Blog Ini

Rabu, 04 Januari 2017

BERAGAMA BENTUK PRILAKU ANTIKORUPSI

          BERAGAMA BENTUK PRILAKU ANTIKORUPSI
          (Refleksi jelang hari Anti Korupsi, 9 Desember 2009)
          Oleh : Mursana, M.Ag

Pada penghujung tahun 2009, negeri yang mayoritas berpenduduk muslim ini dihebohkan oleh mega kasus Bibit-Candra dan Bank Century. Semua media, politisi, pakar hukum, agamawan, mahasiswa, LSM, dan masyarakat ramai membicarakan kasus ini. Pasalnya yang tersangkut dalam kasus tersebut bukan orang biasa, tetapi wakil pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Begitu halnya dengan kasus pembobolan Bank Century, negara telah dirugikan 6,7 triliun rupiah, sebuah angka yang sangat fantastik. Apabila angka 6,7 triliun rupiah ini dipergunakan untuk memberdayakan ekonomi kerakyatan, maka dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun, negeri ini akan bebas dari kemiskinan. Tetapi sayang, dana ini lenyap begitu saja, entah ke mana?
Kasus di atas mengindikasikan bahwa korupsi di Indonesia sudah seperti kangker ganas, sangat susah untuk disembuhkan. Kenapa korupsi marak di Indonesia? Menurut KH. Didin Hafidhudin, bahwa maraknya budaya korupsi di Indonesia disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya adalah:
Pertama, kurangnya masyarakat memahami ajaran-ajaran agamanya. Khusus untuk umat Islam, individu muslim belum menghayati makna ajaran agama, seperti makna sholat, puasa dan sebagainya. Ibadah sholat dan puasa bila dilaksanakan secara benar dan konsekuen dapat dimanifestasikan dalam perilaku sehari-hari, misalnya mampu mencegah perbuatan-perbuatan jahat, mungkar dan merugikan orang lain.
Kedua, lemahnya sistem pengawasan dari pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya. Di tanah air memang banyak lembaga pengawasan berdiri, namun kinerjanya belum maksimal. Lemahnya sistem pengawasan ini memungkinkan pelaku tidak merasa takut untuk melakukan korupsi. Namun saat ini pemerintah baru menyadari bahwa pengawasan itu sangat perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai lembaga LSM dan mengaktifkan lembaga hukum, kejaksaan dan pengadilan (kehakiman).
Ketiga, lemahnya sistem hukum. Ini terjadi karena kurang beraninya aparat hukum dalam melakukan penelitian dan pengungkapan terhadap tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara. Saat ini aparat hukum mulai bergerak. Hukum mulai ditegakkan. Para koruptor satu persatu mulai ditangkap. Penegakan hukum ini harus terus dijalankan, bila Indonesia ingin bebas korupsi.
Keempat, kurang digalakkannya semangat rakyat anti korupsi. Semangat ini sangat perlu dijalankan, sebab tindak korupsi telah menjerumuskan bangsa ini ke jurang kehancuran. Bila semangat kurang digerakkan, maka nasib bangsa ini terus akan di bawah. Oleh karena itu, sosialisasi semangat anti korupsi perlu digerakkan mulai dari lembaga pendidikan bawah sampai atas.
Korupsi dalam Kitab Suci
Dalam naskah al-Qur’an atau hadits Nabi Saw. Memang tidak ditemukan kata-kata yang biasa diterjemahkan secara harfiyah dengan kata korupsi atau koruptor. Namun sebenarnya banyak ayat yang maknanya secara tegas menunjukkan, mengenai korupsi. Diantaranya Q.S. Al-Baqarah ayat 188, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakannya sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui”. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Saw. Pernah menegaskan, “Laknat Allah bagi orang yang menyuap dan menerima suap”. Ayat dan hadits ini menunjukkan tentang larangan tindakan korupsi. Karena korupsi merupakan perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai perbuatan Zhalim, yakni mengambil dan merampas hak orang lain. Dan perbuatan semacam ini sangat berat hukumannya dihari kiamat nanti. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi Saw, “Barang siapa yang mendzolimi (mengambil) tanah orang satu jengkal, maka pada hari kiamat, Allah akan menimpakan kepadanya tujuh kali lipat dari tanah yang diambilnya”. (H.R. Bukhori dan Muslim).
Hadits tersebut menjelaskan bahwa siapapun yang mengambil tanah orang lain dengan cara yang tidak benar (zhalim) satu jengkalpun, maka pada hari kiamat akan memikul tujuh kali lipat dari tanah yang dia ambil itu di atas pundaknya. Sebenarnya kalau kita perhatikan tanah satu jengkal berapa harganya, tentu saja tidak seberapa, akan tetapi akibat yang akan diperoleh bagi mereka yang mengambil hak orang lain, di akhirat akan sangat berat sekali hukumannya, apalagi mereka yang mengambil atau mengkorupsi uang negara atau hak-hak orang dalam jumlah besar, karena itu takutlah kepada azab Allah di akhirat kelak, wahai para koruptor!
Melalui tulisan sederhana ini, penulis atas nama wong cilik menghimbau kepada para pejabat dan para penguasa negeri ini agar mentauladani sang Kholifah Amirul Mumminin Umar bin Khaththab dalam menegakkan supremasi hukum dan memelihara amanah dari rakyatnya.
Khalifah Umar bin Khaththab pernah mengeluarkan perintah yang berisi larangan mencampur susu dengan air. Tetapi adakah peraturan ini memiliki mata hingga sanggup mengawasi setiap orang yang melakukan penyelewengan? Adakah dia memiliki tangan hingga mampu menangkap setiap pelaku pelanggaran? Jawabannya tidak! Dalam hal ini harus imanlah yang memiliki peranan besar dalam diri setiap individu.
Alkisah tersebut cerita seorang ibu dan anak perempuannya. Sang ibu bermaksud mencampur susu dengan air, karena mengharapkan keuntungan, sedang anak perempuannya memperingatkan kepadanya tentang larangan Khalifah Umar bin Khaththab. Sang ibu berkata, “Bukankah Sang Khalifah jauh dari kita? Tak mungkin dia bisa melihat kita.” Anak perempuan itu menjawab, “Meskipun Sang Khalifah tidak melihat kita, namun Tuhan Sang Khalifah tetap melihat kita.”
Dalam riwayat lain menceritakan, ketika kaum muslimin menduduki Madain dan memperoleh rampasan perang, datang seorang laki-laki membawa harta rampasan untuk diserahkan kepada orang-orang yang ditugasi mengumpulkan harta rampasan itu. Lalu orang-orang yang bersama dia saling berbisik satu sama lain dengan mengatakan, “Belum pernah kita melihat barang berharga seperti ini. Apa yang telah kita berikan sungguh tiada menyamai, bahkan mendekatipun tidak.” Para petugas bertanya, “Engkau tidak mengambilnya barang sedikit?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah! Kalau bukan karena Allah, tidak mungkin aku menyerahkan harta ini kepada kalian.” Karena melihat laki-laki itu mempunyai kejujuran yang luar biasa, mereka bertanya, “Siapa engkau?” Dia  menjawab, “Demi Allah aku tidak akan memberitahukan kepada kalian siapa diriku, agar kalian tidak memujiku. Juga kepada selain kalian, agar mereka tidak memberikan penghargaan kepadaku. Tetapi aku hanya mengharap pujian dari Allah SWT dan merasa puas dengan pahalanya. Harta rampasan yang melimpah ruah dan tak ternilai harganya itu diantarkan sendiri oleh seorang tentara yang berjuang dengan ikhlas karena Allah, tiada mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih dari sesama manusia. Kholifah Umar bin Kaththab berkata dengan penuh kekaguman dan penghargaan, “Sungguh yang menyerahkan harta rampasan ini benar-benar orang yang jujur.”
Kedua kisah tersebut mencerminkan bagaimana ketaatan dalam menegakkan hukum dan amanah. Walaupun ada kesempatan untuk melanggar (korupsi) tanpa diketahui oleh manusia lain, namun keyakinan bahwa Allah SWT melihat (al-bashiir) segala perbuatan itu, dan dengan ikhlas berbuat karena Allah SWT, maka segala kesempatan untuk melakukan pelanggaran tidak akan terjadi. Karena ia yakin bahwa siksa kubur dan siksa neraka itu haq.
Ada satu kisah lagi dari ketokohan Khalifah Umar bin Khaththab. Suatu ketika beliau ingin menguji salah seorangg rakyatnya, seorang pengembala kambing upahan yang hidupnya jauh dari keramaian kota. Sang Khalifah yang terkenal tegas, tetapi berhati sangat lembut ini menyamarkan sebagai seorang rakyat biasa juga berpura-pura ingin membeli salah satu kambing gembalaannya. Singkat cerita, Khalifah Umar mulai menawar salah satu diantara kambing gembalaan itu, maka terjadilah dialog antara Khalifah Umar dengan sang pengembala itu. Umar: “Saudaraku, maukah engkau menjual satu atau dua ekor kambing gembalaan-mu itu kepadaku”. Pengembala:   “Maaf tuan, kambing-kambing ini bukan milik aku. Aku hanyalah seorang pengembala upahan, sedang pemilik gembala ini adalah majikanku yang tinggal di kota”. Umar            : “Saudaraku, majikanmu kan tidak ada di sini, dan dia tidak akan bakal tahu kalau kamu menjual barang satu atau dua ekor kambing itu kepadaku. Dan kalau sewaktu-waktu dia datang dan menanyakan perihal kambingnya yang berkurang, andakan bisa saja berkilah bahwa kambingnya ada yang dimakan serigala.
Mendengar penuturan Khalifah Umar tersebut, sang pengembala dengan muka memerah, menatap tajam kepada Khalifah Umar, lalu berkata dengan nada tinggi Fa-ainallah? (lalu dimanakah Allah?)
Beberapa kisah di atas menggambarkan karakter pribadi orang beragama yang dirinya senantiasa merasa ditatap dan disorot oleh kamera Tuhannya (al-Bashiir). Pribadi seperti inilah yang tidak akan pernah mau melakukan tindakan korupsi, meskipun ia mempunyai kesempatan untuk melakukannya.
Dengan demikian, seseorang yang beragama senantiasa memahami ajaran agama secara utuh (kaaffah) dan mengamalkannya yang pada akhirnya akan membentuk prilaku untuk tidak melakukan tindakan pidana korupsi. Sedangkan para koruptor yang selalu menggunakan simbol-simbol keagamaan, berarti pendusta agama, karena membiarkan rakyat miskin dan menyia-nyiakan shalat dengan tindakan korupsinya. Semoga.

*Mursana, M.Ag.; Ketua Pokjaluh Kandepag Kab. Cirebon, alumni Pesantren Darussalam Ciamis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar