BERAGAMA BENTUK PRILAKU ANTIKORUPSI
(Refleksi jelang hari Anti
Korupsi, 9 Desember 2009)
Oleh : Mursana, M.Ag
Pada penghujung tahun 2009, negeri yang mayoritas
berpenduduk muslim ini dihebohkan oleh mega kasus Bibit-Candra dan Bank
Century. Semua media, politisi, pakar hukum, agamawan, mahasiswa, LSM, dan
masyarakat ramai membicarakan kasus ini. Pasalnya yang tersangkut dalam kasus tersebut
bukan orang biasa, tetapi wakil pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Begitu halnya dengan kasus pembobolan Bank
Century, negara telah dirugikan 6,7 triliun rupiah, sebuah angka yang sangat
fantastik. Apabila angka 6,7 triliun rupiah ini dipergunakan untuk
memberdayakan ekonomi kerakyatan, maka dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun,
negeri ini akan bebas dari kemiskinan. Tetapi sayang, dana ini lenyap begitu
saja, entah ke mana?
Kasus di atas mengindikasikan
bahwa korupsi di Indonesia sudah seperti kangker ganas, sangat susah untuk
disembuhkan. Kenapa korupsi marak di Indonesia? Menurut KH. Didin Hafidhudin,
bahwa maraknya budaya korupsi di Indonesia disebabkan karena beberapa faktor,
diantaranya adalah:
Pertama, kurangnya
masyarakat memahami ajaran-ajaran agamanya. Khusus untuk umat Islam, individu
muslim belum menghayati makna ajaran agama, seperti makna sholat, puasa dan
sebagainya. Ibadah sholat dan puasa bila dilaksanakan secara benar dan
konsekuen dapat dimanifestasikan dalam perilaku sehari-hari, misalnya mampu
mencegah perbuatan-perbuatan jahat, mungkar dan merugikan orang lain.
Kedua, lemahnya
sistem pengawasan dari pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya. Di tanah air memang banyak lembaga
pengawasan berdiri, namun kinerjanya belum maksimal. Lemahnya sistem pengawasan
ini memungkinkan pelaku tidak merasa takut untuk melakukan korupsi. Namun saat
ini pemerintah baru menyadari bahwa pengawasan itu sangat perlu dilakukan
dengan melibatkan berbagai lembaga LSM dan mengaktifkan lembaga hukum,
kejaksaan dan pengadilan (kehakiman).
Ketiga, lemahnya
sistem hukum. Ini terjadi karena kurang beraninya aparat hukum dalam melakukan
penelitian dan pengungkapan terhadap tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat
negara. Saat ini aparat hukum mulai bergerak. Hukum mulai ditegakkan. Para
koruptor satu persatu mulai ditangkap. Penegakan hukum ini harus terus
dijalankan, bila Indonesia ingin bebas korupsi.
Keempat, kurang digalakkannya semangat rakyat anti korupsi. Semangat ini sangat
perlu dijalankan, sebab tindak korupsi telah menjerumuskan bangsa ini ke jurang
kehancuran. Bila semangat kurang digerakkan, maka nasib bangsa ini terus akan
di bawah. Oleh karena itu, sosialisasi semangat anti korupsi perlu digerakkan
mulai dari lembaga pendidikan bawah sampai atas.
Korupsi dalam Kitab Suci
Dalam naskah al-Qur’an atau
hadits Nabi Saw. Memang tidak ditemukan kata-kata yang biasa diterjemahkan
secara harfiyah dengan kata korupsi atau koruptor. Namun sebenarnya banyak ayat
yang maknanya secara tegas menunjukkan, mengenai korupsi. Diantaranya Q.S.
Al-Baqarah ayat 188, “Dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang
batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu
dapat memakannya sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat
dosa, padahal kamu mengetahui”. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Saw.
Pernah menegaskan, “Laknat Allah bagi
orang yang menyuap dan menerima suap”. Ayat dan hadits ini menunjukkan
tentang larangan tindakan korupsi. Karena korupsi merupakan perbuatan yang
dapat dikatagorikan sebagai perbuatan Zhalim, yakni mengambil dan merampas hak
orang lain. Dan perbuatan semacam ini sangat berat hukumannya dihari kiamat
nanti. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi Saw, “Barang siapa yang mendzolimi (mengambil)
tanah orang satu jengkal, maka pada hari kiamat, Allah akan menimpakan
kepadanya tujuh kali lipat dari tanah yang diambilnya”. (H.R. Bukhori dan
Muslim).
Hadits tersebut menjelaskan
bahwa siapapun yang mengambil tanah orang lain dengan cara yang tidak benar
(zhalim) satu jengkalpun, maka pada hari kiamat akan memikul tujuh kali lipat
dari tanah yang dia ambil itu di atas pundaknya. Sebenarnya kalau kita
perhatikan tanah satu jengkal berapa harganya, tentu saja tidak seberapa, akan
tetapi akibat yang akan diperoleh bagi mereka yang mengambil hak orang lain, di
akhirat akan sangat berat sekali hukumannya, apalagi mereka yang mengambil atau
mengkorupsi uang negara atau hak-hak orang dalam jumlah besar, karena itu
takutlah kepada azab Allah di akhirat kelak, wahai para koruptor!
Melalui tulisan sederhana ini,
penulis atas nama wong cilik
menghimbau kepada para pejabat dan para penguasa negeri ini agar mentauladani
sang Kholifah Amirul Mumminin Umar bin Khaththab dalam menegakkan supremasi
hukum dan memelihara amanah dari rakyatnya.
Khalifah Umar bin Khaththab
pernah mengeluarkan perintah yang berisi larangan mencampur susu dengan air.
Tetapi adakah peraturan ini memiliki mata hingga sanggup mengawasi setiap orang
yang melakukan penyelewengan? Adakah dia memiliki tangan hingga mampu menangkap
setiap pelaku pelanggaran? Jawabannya tidak! Dalam hal ini harus imanlah yang
memiliki peranan besar dalam diri setiap individu.
Alkisah tersebut cerita
seorang ibu dan anak perempuannya. Sang ibu bermaksud mencampur susu dengan
air, karena mengharapkan keuntungan, sedang anak perempuannya memperingatkan
kepadanya tentang larangan Khalifah Umar bin Khaththab. Sang ibu berkata, “Bukankah Sang Khalifah jauh dari kita? Tak mungkin dia bisa melihat
kita.” Anak perempuan itu menjawab, “Meskipun
Sang Khalifah tidak melihat kita, namun Tuhan Sang Khalifah tetap melihat kita.”
Dalam riwayat lain
menceritakan, ketika kaum muslimin menduduki Madain dan memperoleh rampasan perang, datang seorang laki-laki
membawa harta rampasan untuk diserahkan kepada orang-orang yang ditugasi
mengumpulkan harta rampasan itu. Lalu orang-orang yang bersama dia saling berbisik satu sama lain dengan
mengatakan, “Belum pernah kita melihat
barang berharga seperti ini. Apa yang telah kita berikan sungguh tiada
menyamai, bahkan mendekatipun tidak.” Para petugas bertanya, “Engkau tidak mengambilnya barang sedikit?”
Ia menjawab, “Tidak, demi Allah! Kalau
bukan karena Allah, tidak mungkin aku menyerahkan harta ini kepada kalian.”
Karena melihat laki-laki itu mempunyai kejujuran yang luar biasa, mereka
bertanya, “Siapa engkau?” Dia menjawab, “Demi Allah aku tidak akan memberitahukan kepada kalian siapa diriku,
agar kalian tidak memujiku. Juga kepada selain kalian, agar mereka tidak
memberikan penghargaan kepadaku. Tetapi aku hanya mengharap pujian dari Allah
SWT dan merasa puas dengan pahalanya.”
Harta rampasan yang melimpah ruah dan tak ternilai harganya itu diantarkan
sendiri oleh seorang tentara yang berjuang dengan ikhlas karena Allah, tiada
mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih dari sesama manusia. Kholifah Umar
bin Kaththab berkata dengan penuh kekaguman dan penghargaan, “Sungguh yang menyerahkan harta rampasan ini
benar-benar orang yang jujur.”
Kedua kisah tersebut
mencerminkan bagaimana ketaatan dalam menegakkan hukum dan amanah. Walaupun ada
kesempatan untuk melanggar (korupsi) tanpa diketahui oleh manusia lain, namun
keyakinan bahwa Allah SWT melihat (al-bashiir) segala perbuatan itu, dan dengan
ikhlas berbuat karena Allah SWT, maka segala kesempatan untuk melakukan
pelanggaran tidak akan terjadi. Karena ia yakin bahwa siksa kubur dan siksa neraka itu haq.
Ada satu kisah lagi dari
ketokohan Khalifah Umar bin Khaththab. Suatu ketika beliau ingin menguji salah
seorangg rakyatnya, seorang pengembala kambing upahan yang hidupnya jauh dari
keramaian kota. Sang Khalifah yang terkenal tegas, tetapi berhati sangat lembut
ini menyamarkan sebagai seorang rakyat biasa juga berpura-pura ingin membeli
salah satu kambing gembalaannya. Singkat cerita, Khalifah Umar mulai menawar
salah satu diantara kambing gembalaan itu, maka terjadilah dialog antara
Khalifah Umar dengan sang pengembala itu. Umar: “Saudaraku, maukah engkau
menjual satu atau dua ekor kambing gembalaan-mu itu kepadaku”. Pengembala: “Maaf tuan, kambing-kambing ini bukan milik
aku. Aku hanyalah seorang pengembala upahan, sedang pemilik gembala ini adalah
majikanku yang tinggal di kota”. Umar :
“Saudaraku, majikanmu kan tidak ada di sini, dan dia tidak akan bakal tahu
kalau kamu menjual barang satu atau dua ekor kambing itu kepadaku. Dan kalau
sewaktu-waktu dia datang dan menanyakan perihal kambingnya yang berkurang,
andakan bisa saja berkilah bahwa kambingnya ada yang dimakan serigala.
Mendengar penuturan Khalifah
Umar tersebut, sang pengembala dengan muka memerah, menatap tajam kepada
Khalifah Umar, lalu berkata dengan nada tinggi Fa-ainallah? (lalu dimanakah Allah?)
Beberapa kisah di atas menggambarkan
karakter pribadi orang beragama yang dirinya senantiasa merasa ditatap dan
disorot oleh kamera Tuhannya (al-Bashiir). Pribadi seperti inilah yang tidak
akan pernah mau melakukan tindakan korupsi, meskipun ia mempunyai kesempatan
untuk melakukannya.
Dengan demikian, seseorang
yang beragama senantiasa memahami ajaran agama secara utuh (kaaffah) dan
mengamalkannya yang pada akhirnya akan membentuk prilaku untuk tidak melakukan
tindakan pidana korupsi. Sedangkan para koruptor yang selalu menggunakan
simbol-simbol keagamaan, berarti pendusta agama, karena membiarkan rakyat
miskin dan menyia-nyiakan shalat dengan tindakan korupsinya. Semoga.
*Mursana, M.Ag.; Ketua Pokjaluh Kandepag Kab. Cirebon, alumni Pesantren Darussalam
Ciamis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar