Cari Blog Ini

Rabu, 04 Januari 2017

MEMBANGUN CITRA DEPARTEMEN AGAMA

                    MEMBANGUN CITRA DEPARTEMEN AGAMA
                     ( Sebuah Refleksi HAB Depag ke-64 )
                     Oleh: Mursana, M.Ag
            (Ketua Pokjaluh Kandepag Kab.Cirebon, Alumni Pesantren Darussalam Ciamis)


Tepat pada tanggal 03 Januari 2010 Departemen Agama Republik Indonesia memperingati Hari Amal Bhakti ( HAB ) ke 64. Dalam perjalanannya, dari masa ke masa, Departemen Agama tidak selamanya mulus. Kritikan demi kritikan dari berbagai pihak, baik yang bernada membangun maupun yang bernada melecehkan senantiasa menghampirinya. Namun berkat kegigihan dan kesabaran para pendirinya, Departemen ini masih berdiri tegak sampai sekarang ini.
Sejarah berdirinya Departemen Agama tidak lepas dari peran para Kyai Pondok Pesantren. Maka tidak heran kalau para pendiri dan menteri-menteri yang pernah menduduki Departemen ini adalah para Kyai atau jebolan pondok pesantren. Sebut saja misalnya: KH. Abu Dardiri dan KH. Sholeh Su’ady sebagai penggagas dibentuknya suatu kementerian yang menangani khusus bidang keagamaan. Adapun para menteri yang pernah menduduki Departemen yang mengurusi masalah agama di Negeri ini misalnya: HM. Rasyidi, KH. Fathurrahman Kafrawi, KH. Masykur,  KH.A.Wahid Hasyim, KH.R.Faqih Usman, KH. Moh.Ilyas, KH.Wahib Wahab, KH.Saifudin Zuhri, KH.Moh. Dachlan, sampai dengan menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, hampir rata-rata para Kyai atau pernah belajar di Pondok Pesantren.
Kini Departemen Agama Republik Indonesia sudah berusia 64 tahun sejak berdiri. Sebuah usia yang mestinya cukup matang, dewasa, dan berpengalaman dalam mengurus masalah keagamaan di negeri yang beraneka suku, agama, ras, dan adat istiadat. Permasalahan kerukunan umat beragama, baik inter maupun antar umat beragama merupakan masalah paling serius untuk segera ditangani dengan tepat sasaran. Kasus penodaan agama oleh Ahmadiyah dan munculnya berbagai aliran sesat, walaupun persoalan ini sudah dianggap selesai, jangan lupa pengawasannya, sebab suatu saat nanti kasus penodaan agama dan munculnya aliran sesat bakal muncul lagi yang berakibat kerukunan umat beragama ternoda dan menimbulkan ketidak stabilan keamanan. Masalah KKN di Departemen ini yang masih menjadi sorotan publik, nampaknya masih kental. Pakta Integritas dan sumpah jabatan masih dalam tataran teori, sedangkan pengamalannya, tidak ada bedanya dengan Departemen lain. Masalah logo Ikhlas Beramal, kenyataannya para pejabat mau bekerja ikhlas kalau diberi bayaran yang banyak. Kalau tidak, terpaksa bekerja seikhlasnya. Juga masalah Penyelenggaraan Haji dan Umroh setiap tahun mengalami kekisruhan. Inilah barangkali beberapa contoh kasus yang membuat Departemen Agama hilang kepercayaannya di mata umat. Hal ini harus menjadi pekerjaan rumah (PR) prioritas Menteri Agama RI yang baru (Bapak Drs. Suryadarma Ali) untuk mengembalikan Citra Departemen Agama di mata Umat.
Ada beberapa langkah prinsip yang harus dilakukan oleh Keluarga Besar Departemen Agama dalam rangka mengembalikan Citra Departemen ini khususnya di Wilayah Jawa Barat, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, memahami Visi dan Misi Depaertemen Agama RI sebagai titik tolak ukur dalam bekerja. Visi Departemen Agama RI adalah Terwujudnya masyarakat Indonesia yang taat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI. Sedangkan Misinya adalah: 1) Meningkatkan kualitas bimbingan, pemahaman, pengamalan dan pelayanan kehidupan beragama, 2) Meningkatkan penghayatan moral dan etika keagamaan, 3) Meningkatkan kualitas pendidikan umat beragama, 4) Meningkatkan kualitas penyelenggaraan haji, 5) Memberdayakan umat beragama dan lembaga keagamaan, 6) Memperkokoh kerukunan umat beragama, dan 7) Mengembangkan keselarasan pemahaman keagamaan dengan wawasan kebangsaan Indonesia.
Untuk mendukung Visi dan Misi tersebut, maka seyogianya Karyawan Depag harus memiliki beberapa kriteria, diantaranya adalah: menjadi tauladan yang baik dalam hal keimanan dan ketaqwaan. Ciri Karyawan Depag yang beriman ialah karyawan yang mau diatur oleh Undang-undang atau peraturan dengan dicontohi oleh para pimpinannya. Sedangkan Taqwa ialah sikap hidup karyawan Depag yang diwujudkan dalam tata ucap dan prilaku menuju ridho Allah. Untuk itu dalam berbagai pertemuan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat selalu menyampaikan dalam pidatonya bahwa ”Jika tidak bisa berbuat baik; jangan berbuat salah. Maknanya adalah setiap karyawan Depag haram hukumnya melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang.
Kedua, memahami Makna Logo Depag Ikhlas Beramal. Setiap karyawan Depag, tentunya dengan dicontohi pimpinannya, hendaklah senantiasa bekerja melayani umat dengan tulus ikhlas. Karena memang dibayar setiap bulan untuk melayani umat dengan bersungguh hati. Jangan sampai ada ungkapan yang muncul dari umat bahwa ada oknum pegawai Depag yang mau bekerja / beramal dengan ikhlas kalau dibayar banyak. Tetapi kalau tidak, terpaksa beramal seikhlasnya.
Ketiga, menyadari tugas PNS sebagai Abdi Negara. Tugas PNS adalah sebagai Abdi Negara. Abdi Negara berarti pelayan umat. Setiap karyawan Depag, baik staff atau pelaksana maupun pimpinannya berkewajiban melayani umat dengan sebaik-baiknya. Bukan sebaliknya, yakni hanya mau dilayani saja.
Keempat, mencetak kader pemimpin professional dari karyawan berprestasi sesuai bidangnya. Pemimpin yang baik tentunya selalu memberikan perhatian khusus kepada kader yang berprestasi dan mengangkatnya sebagai calon pemimpin masa depan, bukan karena melihat kedekatannya, familinya, atau karena ketebalan isi kantongnya. Sebab apabila sembrono mengangkat seseorang yang tidak ahli dibidangnya, maka Departemen ini akan hilang wibawahnya di mata publik.
Kelima, memiliki jiwa qana’ah dan menghindari tamak terhadap harta. Inilah ajaran Islam yang disosialisasikan oleh para Kyai Pondok Pesantren sebagai pendiri Departemen ini. Nampaknya kedua sifat ini sudah tidak diminati lagi oleh sebagian karyawan Depag. Sehingga pungutan liar di Departemen ini masih kerap terjadi. Misalnya pungutan dana taktik dari setiap acara pernikahan yang tidak jelas penggunaannya, pemotongan gaji dan uang lauk pauk karyawan tanpa meminta ridho (istirdho) dari pemiliknya. Bentuk-bentuk ketamakan inilah yang akan membawa citra buruk Departemen yang didirikan oleh para Kyai Pondok Pesantren ini. Oleh karena itu waspadalah, jangan sampai seorang pemimpin salah menempatkan orang dalam bekerja. Para Kyai tidak akan rela kalau Departemen yang didirikan dengan susah payah ini hancur oleh oknum sebagian karyawan yang tidak mengerti pesan-pesan ajaran agama.
Keenam, besarkan Departemen Agama. Setiap karyawan Depag berkewajiban membesarkan Departemennya. Misalnya, dengan menyekolahkan anak-anaknya di MI, MTs, MA, STAIN, IAIN atau UIN. Yang  terjadi sekarang adalah sebaliknya, mereka lebih senang dan bangga menyekolahkan putra-putrinya di lembaga yang berada di naungan Diknas daripada Depag itu sendiri. Juga petugas Assesor angka kredit, kenapa lebih bangga mengambil dari Departemen lain? Apakah di Depag kekurangan para pakar? Sungguh sangat ironis.
Demikian beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh keluarga besar Departemen Agama dalam rangka membangun Citra Departemen Agama RI, khususnya di Wilayah Propinsi Jawa barat. Semoga diusianya yang ke 64 Depag semakin eksis dan kokoh di mata umat. Amiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar