MEMBANGUN KANTOR BERBASIS NURANI
Oleh: Mursana, M.Ag
Setiap pegawai atau karyawan
pasti mendambakan suasana tempat kerja (kantor) itu nyaman, tertib, aman, dan
tentram. Namun tidak sedikit dari sekian banyak orang
yang bekerja di kantor kecewa karena dambaannya tidak tercapai. Hal ini terjadi karena sangat
jarang orang yang bekerja, ketika masuk kantor tidak berdasarkan hati nurani
yang berakibat tidak nyaman suasana tempat kerjanya.
Kalau kita perhatikan dengan cermat,
ternyata hati nurani berasal dari dua
kata yaitu: hati dan nurani. Menurut hujjatul Islam Imam Al-Ghozaly, hati adalah suatu sifat yang
halus pada diri manusia yang dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat
menangkap segala pengertian. Sedangkan nurani berasal
dari bahasa Arab yaitu “Nuuran” atau “Nur’aini” yang artinya cahaya atau cahaya
mata. Jadi hati nurani berarti hati yang bercahaya atau hati yang
dicahayai Allah. Tentu saja yang dimaksud menurut Al-Qur’an adalah cahaya
hidayat atau petunjuk.
Di dalam hadits Arba’in Nawawy dijelaskan bahwa Rasulullah Saw.,
bersabda,
“Ingatlah, bahwa di dalam jasad itu ada
sekerat daging. Jika ia baik, baiklah jasad seluruhnya,
dan jika ia rusak, maka rusaklah jasad seluruhnya, itulah yang disebut hati (kalbu). HR. Bukhori dan Muslim”.
Ketika hati manusia bercahaya, berarti hati
manusia mendapat hidayah dari Allah Swt. Hati yang memperoleh hidayah, berarti
otomatis manusianya terbimbing ke jalan yang benar. Setiap manusia yang
hidupnya dibimbing oleh Allah (Ar-Rosyid) ke jalan yang benar, maka perjalanan
hidup manusia tersebut akan sesuai dengan rambu-rambu agama (Al-Qur’an dan
Al-Hadits). Ia akan mampu melihat bahwa yang benar itu adalah benar dan yang
salah adalah salah. Bukan sebaliknya, yang benar adalah batil (salah), dan yang
batil adalah benar (hak). Manusia yang mempunyai hati nurani selalu memberikan
hak yang menjadi hak orang lain. Siapapun dia, apakah seorang Kepala Kantor, Kepala Dinas, Anggota DPRD atau
bahkan seorang Presiden sekalipun. Jangan mentang-mentang dia sedang berkuasa,
berbuat seenake udel, sehingga
merampas sesuatu yang menjadi milik bawahan atau bahkan uang rakyatnya sendiri,
dengan alasan sangat pribadi sekali, misalnya dia punya anak sedang kuliah yang
membutuhkan biaya banyak atau alasan klasik, karena dia mau pensiun, lalu berbuat
semaunya sehingga menerjang rambu-rambu agama, wal-wal keduwal aspal diuntal (istilah masyarakat Cirebon). Itulah bila hati sudah
tidak nurani lagi, karena gelap,
tertutup oleh berbagai kepentingan hawa nafsu.
Orang yang berhati nurani, digambarkan oleh Rasulullah
Saw., seperti lebah madu, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Al-Baihaqi yakni:
“Perumpamaan orang mukmin seperti lebah, jika ia makan selalu
makanan yang baik. Jika ia hinggap, selalu hinggap dengan cara yang baik. Dan
jika ia tinggal di sebuah batang pohon, tidak merusak itu.” (HR. Al-Baihaqi)
Demikianlah orang yang berhati
nurani, bila mencari rizki, ia mencari rizki yang halalan thoyiban (baik), manfaat dan di tempat yang mulia. Bila ia
tinggal di suatu daerah, ia tidak merugikan dan mengganggu masyarakat sekitar,
bahkan sebaliknya memberi manfaat pada masyarakat sekitarnya. “Sebaik-baiknya
manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya” begitu kata
Rasulullah Saw.
Ketika orang yang berhati nurani itu diberi
kesempatan oleh Allah Swt., menjadi orang yang berkuasa, misalnya menjadi
Kepala Kantor A, Kepala Dinas B, atau menjadi seorang Top Manajer di sebuah
perusahaan swasta, ia pasti akan menunaikan kekuasaannya sesuai dengan
bimbingan dan petunjuk Ilahi (Hidayah); menegakkan amanah profesi,
menjunjung tinggi keadilan, kejujuran dan berani memberantas kemungkaran,
misalnya penyelewengan dana APBD, APBN, Kas Negara atau bahkan dana sumbangan
lembaga keagamaan. Ia akan selalu istiqomah dengan Islam, sehingga tidak akan
mengambil atau merampas sesuatu yang bukan haknya. Dan Ia akan berani menghukum
siapapun yang bersalah, walaupun resikonya adalah pahit. Namun sebaliknya, bila
hati nurani tidak ada pada diri manusia, atau manusia yang hatinya tidak
mendapatkan cahaya Ilahi. Ia akan berjalan tanpa aturan bagaikan berjalan
dikegelapan malam. Usahanya selalu menghalalkan segala cara, tindakannya
merugikan dan menyakiti orang lain. Bahkan di dalam Al-Qur’an disebutkan “Mereka
itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (QS. 7:179)
Langkah-langkah
Untuk menciptakan suasana Kantor atau tempat
kerja yang berbasis hati nurani paling tidak dibutuhkan empat langkah.
Langkah-langkah tersebut antara lain :
Pertama, niatkan dalam hati bahwa bekerja
adalah ibadah. Secara bahasa ibadah adalah sebuah penghambaan seorang
makhluk kepada khaliknya. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim ibadah adalah segala
sesuatu yang dicintai Allah yang dilakukan secara lisan atau perbuatan, baik
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan dalam rangka menuju
ridha Allah Swt. Ini berarti setiap
karyawan atau pegawai yang akan masuk kantor hendaklah masuk kantor itu sebagai
bentuk pengabdian kepada Allah dan yakinlah bahwa apa yang diperbuatnya selama
di kantor akan mendapatkan balasan dari Allah Swt. Dengan niat ibadah kepada
Allah inilah seseorang yang bekerja di Kantor akan terhindar dari segala bentuk
penyelewengan. Sedangkan dari pengertian ibadah secara bahasa bisa dipahami
bahwa seorang pegawai pada prinsipnya adalah pelayan/abdi/hamba masyarakat.
Sedangkan seorang pimpinan pada suatu kantor berarti pimpinan pelayan/abdi
masyarakat. Seorang pegawai dan pimpinannya bertugas sebagai pelayan masyarakat.
Maka tidak pantas kalau ada seorang pegawai atau pimpinannya yang sentiasa
minta dilayani oleh masyarakat. Sayyidul qaum khadimuhum, begitu kata
ahli hikmah.
Kedua, tancapkan Bismillahirrahmanirrahim dalam
jiwa dan raga, mulai dari awal masuk Kantor sampai pulang dari Kantor. Dalam
sebuah hadits dinyatakan bahwa, ” setiap perbuatan tanpa diawali dengan Bismillahirrahmanirrahim
maka perbuatan itu sia-sia alias tidak mendapatkan barakah dari Allah
Swt.”. Makna Bismillah bagi seorang Kepala Kantor atau Pimpinan sebuah
perusahaan adalah hendaklah bekerja itu karena rahman dan rahim Allah. Ketika
seorang pimpinan memerintahkan atau mengambil sebuah kebijakan di tempat
kerjanya seyogyanya didasari rahman (kasih) dan Rahim (sayang) kepada
bawahannya. Begitu juga seorang bawahan, jika melaksanakan sebuah kebijakan
atau perintah dari atasannya harus berdasarkan rahman dan rahim. Tanpa didasari
kedua sifat tersebut akan mengakibatkan ketidaksinergian antara bawahan dan
atasan. Bahkan akan saling berbuat zhalim antar keduanya. Dengan menancapkan
rahman rahim (kasih dan sayang) kepada setiap karyawan/pegawai, insya allah
akan membangun suasana kantor yang nyaman dan tentram seperti yang
diidam-idamkan setiap pegawai.
Ketiga, yakinlah bahwa semua karyawan atau pegawai
adalah satu keluarga. Kalau diumpamakan seorang Kepala adalah bapak, bagian
Tata Usaha adalah ibu, para Kepala Seksi adalah anak pertama, sedangkan staf
adalah anak kedua dan seterusnya. Sebagai seorang Bapak dan Ibu harus bersikap
adil kepada anak-anaknya. Apabila anak yang satu diberi fasilitas hidup maka
anak yang yang lainnya juga harus diberi. Jangan pernah orang tua bersikap
diskriminatif kepada anak-anaknya. Sebab apabila hal itu terjadi, maka akan
terjadi suatu keretakan dalam sebuah keluarga, akibat prilaku orang tua yang
tidak menganggap salah satu anaknya sebagai anggota keluarga alias anak tiri.
Na’udzu billah min dzalik. Oleh karena itu semua unsur keluarga tersebut harus
saling menguatkan dengan menjaga persatuan dan persaudaraan di antara anggota
keluarga. Kalau ada anggota keluarga yang sedang dalam kesulitan yang lainnya
harus membantu. Dan kalau ada anggota keluarga yang mendapat nikmat yang
lainnya juga harus merasakan kebahagiaan. Dengan kata lain, jangan ada dusta di
antara kita.
Untuk memperkuat
sebuah bangunan keluarga, maka setiap unsur keluarga memiliki sikap ngaji rasa
dan tepo seliro.
Keempat, mengembangkan sikap ngaji rasa di
kalangan para pegawai atau karyawan di Kantor. Ngaji rasa ialah merasakan
sesuatu apa yang dirasaka oleh orang lain. Tentang ngaji rasa ini Rasul Saw.
pernah bersabda, ” tidak sempurna keimanan seseorang di antara kamu sehingga
mencintai saudaranya seperti mencintai diri sendiri.” (HR. Bukhori dan
Muslim). Menjadi anak tiri itu adalah sangat menyakitkan, maka jangan pernah
menjadikan karyawan seperti anak tiri. Perlakukan mereka seperti anak sendiri.
Menjadi orang terhina itu sangat menyakitkan, maka jangan pernah menghina
karyawan yang lain. Seseorang akan merasakan kebahagiaan apabila dihargai orang
lain, maka berilah penghargaan kepada orang lain. Dan seseorang akan merasa
terhormat apabila dihormati orang lain, maka hormatilah orang lain.
Sebagai pamungkas
dari tulisan ini, penulis ingin memberikan saran kepada semua pegawai dan
karyawan agar setiap kali masuk kantor masuklah dengan hati yang tenang (qalbun
salim). Lakukan semua perbuatan atau pekerjaan sesuai dengan hati nurani.
Hindari pikiran-pikiran kotor (piktor) yang akan memperkeruh suasana hati.
Biasakan dzikrullah setiap saat agar
hati tetap tenang dan mendapat cahaya dari Allah. Semoga.
* Mursana, M.Ag. : Ketua Pokjaluh Kandepag Kab. Cirebon , alumni Pesantren Darussalam Ciamis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar