MEMBANGUN TEOLOGI INKLUSIF DAN
DIALOGIS
UPAYA MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS
UMAT BERAGAMA1
Oleh : Mursana, M.Ag.2
Sikap tidak menghargai mazhab, iman atau agama di luar
dirinya mengemukakan dalam sikap-sikap agresif
dan agitatif. Apabila sika-sikap
negatif ini semakin “mengeras” niscaya akan timbul reaksi balik dari para
pemeluk agama lain atau penganut doktrin tertentu, walaupun masih berada pada
satu tradisi agama yang sama. Di kalangan Muslim tertentu, reaksi balik ini
akhirnya akan menumbuhkan sikap eksklusif.
Membangun klaim kebenaran absolut (absolut religious truth claim) yang bersifat eksklusif pada
agamanya dan menegatifkan pintu keselamatan pada pemeluk lain dalam konteks
Indonesia tidak hanya dilakukan oleh para mubalig atau pendeta. Dalam proses
yang panjang tampaknya hal ini merupakan akibat dari proses pendidikan dan
dakwah. Metode pengajaran pendidikan agama dan metode dakwah selama ini
cenderung memusuhi, mencurigai dan tidak mau mengerti agama atau mazhab lain.
Pada akhirnya pesan agama kian pudar karena tergantikan oleh kepentingan
politis pada masing-masing pemeluk agama dan mazhab.
Selain metode pendidikan dan dakwah sebagaimana di atas,
agama telah dijadikan sebagai ajang kepentingan politik dan bendera politik
yang dipergunakan untuk menghadapi orang lain. Inilah proses lain dari
pendangkalan agama: kepentingan agama telah diletakkan atau disusupi oleh
kepentingan yang sifatnya eksklusif, dan menjadi kepentingan utama. Karena itu,
yang terjadi adalah eksklusivisme agama di kalangan pemeluk agama dan mazhab.
Gejala inilah yang mengakibatkan munculnya peristiwa-peristiwa kerusuhan atas
nama agama, seperti di Ambon, Poso, Palu, serangan terhadap jemaah
Ahmadiyah di Parung, pengrusakan fasilitas milik komunitas Salamullah pimpinan
Lia Aminuddin, pengrusakan milik kelompok Al-Qiyadah Islamiyah dan sebagainya.
Apa yang bisa dilakukan untuk mengembangkan solidaritas
umat beragama dan meredam eksklusivisme agama yang berakibat munculnya
kekerasan atas nama agama? Kita harus mengevaluasi kehidupan keagamaan.
Pertama, setiap agama lahir dalam sebuah lingkup sejarah dan kemudian
menciptakan tradisi. Oleh karena itu, kebesaran agama terletak pada kebesaran
tradisi yang ditinggalkannya. Sedangkan kuat-lemahnya sebuah tradisi agama
ditentukan oleh kualitas dan kuantitas penduduk, di samping itu tentu saja
muatan ajaran atau doktrin. Namun, sesungguhnya doktrin agama akan selalu
berkembang dalam perjalanan historisnya, sehingga apa yang disebut teologi,
misalnya adalah juga bersifat antropologis. Karena sifat antropologisnya, maka
pluralisme agama menjadi sebuah keniscayaan, sebagaimana keniscayaan adanya
pluralitas bahasa dan etnis. Oleh karena itu, membangun teologi inklusif dan
dialogis merupakan satu langkah yang sangat memungkinkan.
Mengapa beragama harus dialogis? Karena, pada dasarnya
kehidupan adalah proses dialog yang terjadi secara terus menerus. Dalam proses
dialog seseorang akan memberi dan menerima. Kesediaan memberi dan menerima pada
akhirnya akan menciptakan rasa damai, saling menghormati, saling mempercayai
serta masing-masing dari kita bersikap bisa dipercaya. Dalam proses ini pula
agama harus ditransendensikan
sedemikian rupa, sehingga ia memiliki kekuatan pembebas konflik, dan bukan
menjadi sumber konflik.
Kedua, agama berhadapan dengan kehidupan politik, sehingga manipulasi
politik atas agama menjadi sulit dihindarkan. Jika agama dan politik sudah
berjalan beriringan, maka gesekan keduanya akan menimbulkan masalah yang complicated. Untuk menghindari
percampuran antara politisasi agama dan pendangkalan agama di pihak lain, maka
pemeluk agama harus mampu menangkap pesan agama. Agama hadir di bumi untuk
manusia, bukan untuk Tuhan. Wallahu ‘alam
bi shawab.
1.
Makalah
disampaikan dalam Orientasi Pembauran Bangsa, pada tanggal 20 Nopember 2007.
2.
Seksi
Penamas Kandepag Kab. Cirebon .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar