Cari Blog Ini

Rabu, 04 Januari 2017

AKTUALISASI IBADAH HAJI

AKTUALISASI IBADAH HAJI
Oleh : Mursana, M.Ag.


Awal Bulan Februari 2008 yang lalu telah diadakan Syukuran Ibadah Haji bertempat di Masjid Agung Sumber Kabupaten Cirebon. Acara ini diselenggarakan oleh Seksi Penyelenggara Ibadah Haji bekerjasama dengan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kabupaten Cirebon dalam rangka syukuran para jema’ah, karena telah selesai melaksanakan Manasik Ibadah Haji dengan sempurna dan kembali ke Tanah Air dalam keadaan selamat. Hadir dalam acara tersebut Bapak Bupati Cirebon, Kepala Kantor Departemen Agama dan Ketua IPHI Kabupaten Cirebon. Acara syukuran ini sekaligus merupakan pembinaan kepada para Hujaj agar mereka mengetahui dan memahami apa yang harus dilakukan pasca ibadah haji. Jangan sampai beranggapan bahwa ibadah haji ini hanya sekedar ritual belaka, setelah dilaksanakan selesai begitu saja tanpa membawa dampak apa-apa (positif) baik kepada pribadi Hujaj maupun kepada masyarakat (social efect).
Menurut Sayid Sabiq (1983) Ibadah Haji ialah menyengaja pergi ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Thawaf, Sa’i, Wuquf di Arafah, dan seluruh rangkaian manasik karena memenuhi perintah dan mencari ridho Allah. Ibadah haji ini diwajibkan pada tahun ke enam setelah hijriyah, demikian menurut Jumhur Ulama. Sedangkan menurut Ibnul Qoyim difardhukan pada tahun sembilan setelah hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah. Haji merupakan satu-satunya ibadah ritual yang mempunyai perbedaan dengan ibadah ritual lainnya, seperti Shalat, Zakat dan Puasa. Karena ibadah haji merupakan ibadah ritual yang mempunyai dua dimensi yaitu ibadah material (maaliyah) dan non material (badaniyah). Oleh karena itu dalam menunaikan ibadah haji ini dibutuhkan adanya kesiapan secara meteri dan non materi. Maksudnya adalah kebulatan dan kemantapan niat untuk melaksanakannya, dan kesiapan secara jasmani dan kesiapan materi. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah SWT, yaitu bagi orang yang sanggup (isthitha’ah) mengadakan perjalanan ke Baitullah” (Q.S. 3:97). Imam Sayid Sabiq (1983) mensyaratkan “Sanggup” (isthitha’ah) dengan: 1) Sehat badan, 2) Aman dalam perjalanan bagi dirinya dan hartanya, 3) Mempunyai bekal yang cukup. Sedangkan menurut ulama lain, kata ini ditafsirkan mampu secara perbekalan, transportasi, akomodasi, juga mampu mencukupi nafkah keluarga yang ditinggal selama menunaikan Ibadah Haji.
Betapa beratnya Ibadah Haji ini, sehingga Rasulullah Saw. menggolongkan ibadah ini mempunyai nilai jihad. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah sewaktu dia mengadu kepada Nabi Saw., “apakah ada jihad bagi kaum perempuan?” Beliau menjawab: “Ya ada jihad tapi bukan perang”. “Lalu apa?”. “Haji dan Umrah” jawab Beliau. Di dalam riwayat lain Nabi Saw. bersabda: “Jihad yang paling utama ialah haji yang mabrur” (lihat Asshon’any dalam Subulussalam, II:178). Dalam hadits lain diceritakan bahwa “tidak ada balasan yang pantas bagi haji mabrur kecuali sorga”. HR. Bukhori dan Muslim. Demikian beberapa dalil yang menunjukkan tentang keistimewaan haji yang mabrur. Pertanyaannya adalah: Apakah haji mabrur? Imam Nawawi berpendapat bahwa haji mabrur ialah haji yang tidak dicampuri dengan dosa-dosa. Menurut Asshon’any, haji mabrur ialah haji yang menjadikan pelakunya melahirkan dan meningkatkan kebaikan dan kebajikan yang berkesinambungan setelah menunaikan ibadah haji. Dengan kata lain (menurut penulis) bahwa seseorang yang mendapat gelar haji mabrur adalah seseorang yang bisa dan mampu mengaktualisasikan nilai-nilai manasik haji pasca menunaikan ibadah haji.

Bagaimana Mengaktualisasikan Nilai Ibadah Haji?
  Sudah lebih dari sepuluh tahun krisis multidimensi, termasuk krisis moneter berlangsung di negeri ini. Namun walaupun demikian nampaknya jama’ah haji kita setiap tahun kwantitasnya semakin bertambah. Bahkan selama dekade tersebut ada juga yang berangkat haji berulang-ulang lebih dari tiga kali. Demikian halnya di Kabupaten Cirebon. Idealnya “Semakin banyak orang yang berangkat pergi haji, berarti semakin sedikit angka kriminalitas di negeri ini”. Namun realitasnya jauh dari harapan, ternyata semakin banyak orang yang melakukan ibadah haji, semakin banyak juga angka kriminalitas di negeri ini. Demikian diungkapkan oleh Kepala Seksi Penyelenggara Haji dan Umroh Kandepag Kabupaten Cirebon HM. Romli AR. Kalau begitu ada apa dengan haji kita? Kenapa kwantitas jemaah kita naik, tetapi kwalitasnya turun?
Menurut HM. Jamal, seorang pemerhati sosial keagamaan, ada tiga faktor kenapa banyak orang Islam yang melakukan ibadah haji berkali-kali? Pertama, bisa jadi karena riya. Supaya semua orang tahu kalau dia itu orang kaya. Kedua, karena tidak mengetahui maksud dan tujuan ibadah haji itu sendiri. Tujuan haji itu untuk mendapatkan haji mabrur. Untuk meraihnya tidak harus dilakukan berkali-kali. Yang penting bagaimana prilakunya setelah menunaikan ibadah haji, lebih baik dan lebih sempurna. Jika seseorang sebelum haji Shalat bolong, maka jika dia mendapat haji mabrur shalatnya tambah rajin. Atau sebelum haji terbiasa dengan korupsi, bisnis kotor, setelah haji dia meninggalkan perbuatan dosa itu. Ketiga, bisa terjadi karena memang dia rindu ke Baitullah. Untuk itu yang paling penting adalah nawaitunya, niat seseorang dalam berhaji akan sangat menentukan kwalitas haji seseorang. Kwantitas naik haji tidak menjamin kwalitas haji seseorang.
Oleh karena itu pembinaan dan bimbingan kepada calon jemaah haji harus betul-betul serius, tidak terkesan asal-asalan. Kepada para tutor atau instruktur bimbingan haji diharapkan tugasnya bukan hanya mengajar atau menyampaikan materi saja. Selesai mengajar selesai juga tugasnya, tetapi yang lebih penting lagi adalah mendidik. Niat seorang pendidik dan suritauladannya (uswatun hasanah), akan menentukan hasil pembinaan tersebut kepada jema’ah ketika menunaikan ibadah haji dan pasca haji. Yang tidak kalah penting lagi adalah organisasi IPHI yang ada di kecamatan-kecamatan agar difungsikan keberadaannya membina alumni-alumni haji supaya mereka tidak seperti Si buta kehilangan tongkatnya. Tidak tahu sama sekali apa yang harus dilakukan pasca haji. Sebab kehidupan pasca haji jauh lebih penting daripada hajinya itu sendiri.
Ibadah haji adalah ibadah yang sarat dengan simbol-simbol yang harus bisa diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari pasca haji. Ada beberapa simbol (nilai) ibadah haji yang harus diaktualisasikan oleh para Hujaj setibanya di Tanah Air, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, haji merupakan panggilan Allah SWT. yang harus segera disambut dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Ini merupakan simbol bahwa siapapun orangnya, apapun statusnya, apabila ada panggilan untuk menjalankan suatu perintah (Amar) dari yang lebih tinggi, apakah dari Allah seperti perintah shalat, zakat, puasa atau dari Rosul Saw. seperti sholat dan puasa sunnah atau mungkin dari manusia yang lebih tinggi kedudukannya, maka perintah tersebut harus segera dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Kedua, pelaksanaan Ihram. Ihram ialah niat melaksanakan haji atau umrah (Sayid Sabiq : 1983). Sebagaimana ibadah lainnya, ibadah haji juga harus disertai niat. Niat itu menjadi barometernya setiap amal. Apabila niatnya baik, baik pula amalnya. Sebaliknya niatnya jelek, jelek pulalah hasil amalnya. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya amal itu harus disertai niat” HR.Bukhori dan Muslim. Niat utama haji adalah hanya menuju pada orbit Allah SWT. Sedangkan pengenaan pakaian ihram merupakan simbol dari fitrah manusia yang “Zero”. Ihrom juga melambangkan kemerdekaan dan pembebasan dari belenggu-belenggu, seperti: prasangka negatif, prinsip hidup selain dari Allah, bentukan pengalaman lampau, kepentingan, sudut pandang yang subyektif yang mempengaruhi pemikiran. Yang semuanya adalah topeng-topeng yang menutup hati. Dengan pakaian ihrom maka suara hati untuk bersikap adil, bijaksana, pengasih, jujur, amanat, peduli dan lain-lain yang ada dalam Asmaul husna bisa terbuka dari belenggu yang selama ini mengikat fitrah diri. Demikian diungkapkan oleh Ary Gynanjar Agustian (2005). Orang yang ihrom dengan ikhlas karena Allah, maka akan melahirkan manusia yang adil, bijaksana, kreatif, penolong, visioner dan sifat mulia lainnya setelah berada di tanah air. Berarti orang yang zalim, diskriminatif, galak, pembohong, khianat, tidak peduli, korup disebabkan karena ihromnya main-main.
Ketiga, Wuquf di Arofah. Menurut bahasa Wuquf artinya berhenti secara fisik, namun bergerak secara fikiran. Untuk apa fikiran itu bergerak? Fikiran itu bergerak untuk mengenali diri sendiri, evaluasi dan solusi. Jadi orang yang selalu Wuquf berarti orang yang mengetahui siapa dirinya. Sehingga hidup dimanapun serta dalam posisi apapun, aman-aman saja. No problem. Orang yang selalu Wuquf juga berarti orang yang suka mengevaluasi apa-apa yang telah dilakukan masa lampau. Setelah mengevaluasi diri, lalu dia mengambil solusi terhadap pemecahan masalah tersebut, kira-kira langkah-langkah apa yang harus dilakukan ke depan untuk penyelesaian masalah tersebut.
Keempat, pelaksanaan Thawaf. Menurut Ary Gynanjar Agustian “Thawaf merupakan suatu langkah fisik untuk mengelilingi Ka’bah”. Mengelilingi Ka’bah melambangkan kegiatan manusia tiada henti. Berpusat pada Ka’bah, melambangkan bahwa segala kegiatan apapun yang dilakukan oleh manusia hanya berprinsip kepada Allah SWT. semata-mata inilai pusat prinsip manusia : Laa Ilaaha Illallah.
Kelima, pelaksanaan Sa’i. menurut Figh Islam Sa’i adalah lari-lari kecil dari Bukit Shafa ke Marwa. Sejarahnya ketika zaman Nabi Ibrahim AS. masih hidup. Siti Hajar istrinya berlari-lari, bolak-balik antara Bukit Shofa ke Marwa mencari air untuk anaknya. Ternyata air itu baru bisa ditemukan setelah melakukan pencarian yang panjang. Sa’i melambangkan pengasahan kekuatan jiwa. Orang hidup harus berjuang untuk menggapai cita-cita. Kalau gagal sekali, coba lagi. Gagal lagi, coba lagi dan seterusnya. Dalam hidup juga harus optimis, tidak boleh psimis. Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Begitu kata ahli hikmah.
Keenam, melontar Jumrah. Pada zaman dulu, ketika Nabi Ibrahim akan menyembelih putra Ismail AS, tiba-tiba Ismail AS melihat syetan yang akan menghalangi niat baik Nabi Ibrahim AS yang akan menyembelih putranya. Lalu Ismail AS melempar syetan tersebut dengan jumroh. Melontar jumroh sebagai lambang bahwa setiap orang yang menginginkan hidup secara benar selalu saja ada penghalang. Tidak sedikit orang yang gagal dalam hidupnya karena tidak mampu melempar penghalang tersebut. Adapun penghalang syetan pada masa lalu, sekarang diwujudkan dalam bentuk: Nafsu lahiriyah, seperti ingin selingkuh dengan wanita lain yang lebih cantik, Nafsu ingin menjadi penguasa, padahal dia tidak punya potensial untuk itu, Nafsu ingin cepat kaya dengan jalan yang tidak halal, serta Nafsu pengabdian kepada selain Allah seperti memuja professi, harta benda, jabatan, kehormatan dan lain-lain sehingga melupakan Allah SWT. Penghalang-penghalang tersebut harus dibersihkan di dalam hati kita. Kalau tidak dibersihkan menyebabkan hati tertutup, hati tidak mau melihat dan mendengar kebenaran dari Allah SWT.
Ketujuh, ibadah haji melahirkan kedisiplinan. Coba perhatikan! Semua yang dilakukan dalam manasik haji sesuai dengan jam, hari dan tempat, serta pakaian ibadah yang telah ditentukan. Hal ini melambangkan sikap kedisiplinan waktu, belajar, bekerja, makan, dan istirahat. Kalau yang satu Wukuf, maka Wukuf semua. Begitu juga kalau yang satu pakai baju ihram, yang lain juga pakai. Inilah makna kedisiplinan yang harus dikembangkan pasca haji, walau tanpa pengawasan.
Kedelapan, selalu berkata yang benar dan banyak shadaqoh. Dalam pelaksanaan ibadah haji, seseorang tidak boleh mengucapkan kata yang menyakitkan orang lain dan dianjurkan untuk banyak shadaqoh. Rasul Saw pernah ditanya tentang indikator haji mabrur, maka beliau menjawab: “Suka memberi makan (kepada fakir miskin) dan tutur kata yang damai” HR. Ahmad. Berkata yang benar adalah lambang akhlakul karimah, sedangkan memberi makan adalah lambang solidaritas, kepedulian kepada sesama.
Demikian beberapa hal yang perlu disampaikan dalam tulisan ini dengan harapan para Hujaj tahun ini lebih baik kwalitas ibadah hajinya, sehingga nilai-nilai spiritual yang ada dalam ibadah ini bisa diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari pasca haji. Amin.


* Penyuluh Agama Islam
Kantor Depag Kabupaten Cirebon


Tidak ada komentar:

Posting Komentar