AKTUALISASI IBADAH HAJI
Oleh : Mursana, M.Ag.
Awal Bulan Februari 2008 yang lalu telah diadakan
Syukuran Ibadah Haji bertempat di Masjid Agung Sumber Kabupaten Cirebon . Acara ini
diselenggarakan oleh Seksi Penyelenggara Ibadah Haji bekerjasama dengan Ikatan
Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kabupaten Cirebon dalam rangka syukuran para
jema’ah, karena telah selesai melaksanakan Manasik Ibadah Haji dengan sempurna
dan kembali ke Tanah Air dalam keadaan selamat. Hadir dalam acara tersebut
Bapak Bupati Cirebon, Kepala Kantor Departemen Agama dan Ketua IPHI Kabupaten
Cirebon. Acara syukuran ini sekaligus merupakan pembinaan kepada para Hujaj
agar mereka mengetahui dan memahami apa yang harus dilakukan pasca ibadah haji.
Jangan sampai beranggapan bahwa ibadah haji ini hanya sekedar ritual belaka,
setelah dilaksanakan selesai begitu saja tanpa membawa dampak apa-apa (positif)
baik kepada pribadi Hujaj maupun kepada masyarakat (social efect).
Menurut Sayid Sabiq (1983) Ibadah Haji ialah menyengaja
pergi ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Thawaf, Sa’i, Wuquf di Arafah, dan
seluruh rangkaian manasik karena memenuhi perintah dan mencari ridho Allah.
Ibadah haji ini diwajibkan pada tahun ke enam setelah hijriyah, demikian
menurut Jumhur Ulama. Sedangkan menurut Ibnul Qoyim difardhukan pada tahun
sembilan setelah hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah. Haji merupakan
satu-satunya ibadah ritual yang mempunyai perbedaan dengan ibadah ritual
lainnya, seperti Shalat, Zakat dan Puasa. Karena ibadah haji merupakan ibadah
ritual yang mempunyai dua dimensi yaitu ibadah material (maaliyah) dan non
material (badaniyah). Oleh karena itu dalam menunaikan ibadah haji ini
dibutuhkan adanya kesiapan secara meteri dan non materi. Maksudnya adalah
kebulatan dan kemantapan niat untuk melaksanakannya, dan kesiapan secara
jasmani dan kesiapan materi. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah SWT, yaitu bagi orang yang sanggup (isthitha’ah) mengadakan
perjalanan ke Baitullah” (Q.S. 3:97). Imam Sayid Sabiq (1983) mensyaratkan
“Sanggup” (isthitha’ah) dengan: 1) Sehat badan, 2) Aman dalam perjalanan bagi
dirinya dan hartanya, 3) Mempunyai bekal yang cukup. Sedangkan menurut ulama
lain, kata ini ditafsirkan mampu secara perbekalan, transportasi, akomodasi,
juga mampu mencukupi nafkah keluarga yang ditinggal selama menunaikan Ibadah
Haji.
Betapa beratnya Ibadah Haji ini, sehingga Rasulullah Saw.
menggolongkan ibadah ini mempunyai nilai jihad. Dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah sewaktu dia mengadu kepada Nabi Saw.,
“apakah ada jihad bagi kaum perempuan?”
Beliau menjawab: “Ya ada jihad tapi bukan
perang”. “Lalu apa?”. “Haji dan Umrah” jawab Beliau. Di dalam
riwayat lain Nabi Saw. bersabda: “Jihad
yang paling utama ialah haji yang mabrur” (lihat Asshon’any dalam
Subulussalam, II:178). Dalam hadits lain diceritakan bahwa “tidak ada balasan yang pantas bagi haji
mabrur kecuali sorga”. HR. Bukhori dan Muslim. Demikian beberapa dalil yang
menunjukkan tentang keistimewaan haji yang mabrur. Pertanyaannya adalah: Apakah
haji mabrur? Imam Nawawi berpendapat bahwa haji mabrur ialah haji yang tidak
dicampuri dengan dosa-dosa. Menurut Asshon’any, haji mabrur ialah haji yang
menjadikan pelakunya melahirkan dan meningkatkan kebaikan dan kebajikan yang
berkesinambungan setelah menunaikan ibadah haji. Dengan kata lain (menurut
penulis) bahwa seseorang yang mendapat gelar haji mabrur adalah seseorang yang
bisa dan mampu mengaktualisasikan nilai-nilai manasik haji pasca menunaikan
ibadah haji.
Bagaimana
Mengaktualisasikan Nilai Ibadah Haji?
Sudah lebih dari
sepuluh tahun krisis multidimensi, termasuk krisis moneter berlangsung di
negeri ini. Namun walaupun demikian nampaknya jama’ah haji kita setiap tahun
kwantitasnya semakin bertambah. Bahkan selama dekade tersebut ada juga yang
berangkat haji berulang-ulang lebih dari tiga kali. Demikian halnya di
Kabupaten Cirebon .
Idealnya “Semakin banyak orang yang berangkat pergi haji, berarti semakin
sedikit angka kriminalitas di negeri ini”. Namun realitasnya jauh dari harapan,
ternyata semakin banyak orang yang melakukan ibadah haji, semakin banyak juga
angka kriminalitas di negeri ini. Demikian diungkapkan oleh Kepala Seksi
Penyelenggara Haji dan Umroh Kandepag Kabupaten Cirebon HM. Romli AR. Kalau
begitu ada apa dengan haji kita? Kenapa kwantitas jemaah kita naik, tetapi
kwalitasnya turun?
Menurut HM. Jamal, seorang pemerhati sosial keagamaan,
ada tiga faktor kenapa banyak orang Islam yang melakukan ibadah haji
berkali-kali? Pertama, bisa jadi
karena riya. Supaya semua orang tahu
kalau dia itu orang kaya. Kedua,
karena tidak mengetahui maksud dan tujuan ibadah haji itu sendiri. Tujuan haji
itu untuk mendapatkan haji mabrur. Untuk meraihnya tidak harus dilakukan
berkali-kali. Yang penting bagaimana prilakunya setelah menunaikan ibadah haji,
lebih baik dan lebih sempurna. Jika seseorang sebelum haji Shalat bolong, maka
jika dia mendapat haji mabrur shalatnya tambah rajin. Atau sebelum haji
terbiasa dengan korupsi, bisnis kotor, setelah haji dia meninggalkan perbuatan
dosa itu. Ketiga, bisa terjadi karena
memang dia rindu ke Baitullah. Untuk itu yang paling penting adalah nawaitunya, niat seseorang dalam berhaji
akan sangat menentukan kwalitas haji seseorang. Kwantitas naik haji tidak
menjamin kwalitas haji seseorang.
Oleh karena itu pembinaan dan bimbingan kepada calon
jemaah haji harus betul-betul serius, tidak terkesan asal-asalan. Kepada para
tutor atau instruktur bimbingan haji diharapkan tugasnya bukan hanya mengajar
atau menyampaikan materi saja. Selesai mengajar selesai juga tugasnya, tetapi
yang lebih penting lagi adalah mendidik. Niat seorang pendidik dan
suritauladannya (uswatun hasanah), akan menentukan hasil pembinaan tersebut
kepada jema’ah ketika menunaikan ibadah haji dan pasca haji. Yang tidak kalah
penting lagi adalah organisasi IPHI yang ada di kecamatan-kecamatan agar
difungsikan keberadaannya membina alumni-alumni haji supaya mereka tidak
seperti Si buta kehilangan tongkatnya.
Tidak tahu sama sekali apa yang harus dilakukan pasca haji. Sebab kehidupan
pasca haji jauh lebih penting daripada hajinya itu sendiri.
Ibadah haji adalah ibadah yang sarat dengan
simbol-simbol yang harus bisa diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari
pasca haji. Ada
beberapa simbol (nilai) ibadah haji yang harus diaktualisasikan oleh para Hujaj
setibanya di Tanah Air, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, haji merupakan panggilan Allah SWT. yang harus segera disambut dan
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Ini merupakan simbol bahwa siapapun orangnya, apapun statusnya, apabila ada
panggilan untuk menjalankan suatu perintah (Amar) dari yang lebih tinggi,
apakah dari Allah seperti perintah shalat, zakat, puasa atau dari Rosul Saw.
seperti sholat dan puasa sunnah atau mungkin dari manusia yang lebih tinggi
kedudukannya, maka perintah tersebut harus segera dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab.
Kedua, pelaksanaan Ihram. Ihram
ialah niat melaksanakan haji atau umrah (Sayid Sabiq : 1983). Sebagaimana
ibadah lainnya, ibadah haji juga harus disertai niat. Niat itu menjadi
barometernya setiap amal. Apabila niatnya baik, baik pula amalnya. Sebaliknya
niatnya jelek, jelek pulalah hasil amalnya. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya amal itu harus disertai niat”
HR.Bukhori dan Muslim. Niat utama haji adalah hanya menuju pada orbit Allah
SWT. Sedangkan pengenaan pakaian ihram merupakan simbol dari fitrah manusia
yang “Zero”. Ihrom juga melambangkan kemerdekaan dan pembebasan dari
belenggu-belenggu, seperti: prasangka negatif, prinsip hidup selain dari Allah,
bentukan pengalaman lampau, kepentingan, sudut pandang yang subyektif yang
mempengaruhi pemikiran. Yang semuanya adalah topeng-topeng yang menutup hati.
Dengan pakaian ihrom maka suara hati untuk bersikap adil, bijaksana, pengasih,
jujur, amanat, peduli dan lain-lain yang ada dalam Asmaul husna bisa terbuka
dari belenggu yang selama ini mengikat fitrah diri. Demikian diungkapkan oleh
Ary Gynanjar Agustian (2005). Orang yang ihrom dengan ikhlas karena Allah, maka
akan melahirkan manusia yang adil, bijaksana, kreatif, penolong, visioner dan
sifat mulia lainnya setelah berada di tanah air. Berarti orang yang zalim,
diskriminatif, galak, pembohong, khianat, tidak peduli, korup disebabkan karena
ihromnya main-main.
Ketiga, Wuquf di Arofah. Menurut
bahasa Wuquf artinya berhenti secara fisik, namun bergerak secara fikiran.
Untuk apa fikiran itu bergerak? Fikiran itu bergerak untuk mengenali diri
sendiri, evaluasi dan solusi. Jadi orang yang selalu Wuquf berarti orang yang
mengetahui siapa dirinya. Sehingga hidup dimanapun serta dalam posisi apapun,
aman-aman saja. No problem. Orang yang selalu Wuquf juga berarti orang yang
suka mengevaluasi apa-apa yang telah dilakukan masa lampau. Setelah
mengevaluasi diri, lalu dia mengambil solusi terhadap pemecahan masalah
tersebut, kira-kira langkah-langkah apa yang harus dilakukan ke depan untuk
penyelesaian masalah tersebut.
Keempat, pelaksanaan Thawaf.
Menurut Ary Gynanjar Agustian “Thawaf merupakan suatu langkah fisik untuk
mengelilingi Ka’bah”. Mengelilingi Ka’bah melambangkan kegiatan manusia tiada
henti. Berpusat pada Ka’bah, melambangkan bahwa segala kegiatan apapun yang
dilakukan oleh manusia hanya berprinsip kepada Allah SWT. semata-mata inilai
pusat prinsip manusia : Laa Ilaaha
Illallah.
Kelima, pelaksanaan Sa’i.
menurut Figh Islam Sa’i adalah lari-lari kecil dari Bukit Shafa ke Marwa.
Sejarahnya ketika zaman Nabi Ibrahim
AS. masih hidup. Siti Hajar
istrinya berlari-lari, bolak-balik antara Bukit Shofa ke Marwa mencari air
untuk anaknya. Ternyata air itu baru bisa ditemukan setelah melakukan pencarian
yang panjang. Sa’i melambangkan pengasahan kekuatan jiwa. Orang hidup harus
berjuang untuk menggapai cita-cita. Kalau gagal sekali, coba lagi. Gagal lagi,
coba lagi dan seterusnya. Dalam hidup juga harus optimis, tidak boleh psimis.
Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Begitu kata ahli hikmah.
Keenam, melontar Jumrah. Pada
zaman dulu, ketika Nabi Ibrahim akan menyembelih putra Ismail AS, tiba-tiba
Ismail AS melihat syetan yang akan menghalangi niat baik Nabi Ibrahim AS yang
akan menyembelih putranya. Lalu Ismail AS melempar syetan tersebut dengan
jumroh. Melontar jumroh sebagai lambang bahwa setiap orang yang menginginkan
hidup secara benar selalu saja ada penghalang. Tidak sedikit orang yang gagal
dalam hidupnya karena tidak mampu melempar penghalang tersebut. Adapun
penghalang syetan pada masa lalu, sekarang diwujudkan dalam bentuk: Nafsu lahiriyah, seperti ingin selingkuh
dengan wanita lain yang lebih cantik, Nafsu
ingin menjadi penguasa, padahal dia tidak punya potensial untuk itu, Nafsu ingin cepat kaya dengan jalan yang
tidak halal, serta Nafsu pengabdian kepada
selain Allah seperti memuja professi, harta benda, jabatan, kehormatan dan
lain-lain sehingga melupakan Allah SWT. Penghalang-penghalang tersebut harus
dibersihkan di dalam hati kita. Kalau tidak dibersihkan menyebabkan hati
tertutup, hati tidak mau melihat dan mendengar kebenaran dari Allah SWT.
Ketujuh, ibadah haji melahirkan kedisiplinan.
Coba perhatikan! Semua yang dilakukan dalam manasik haji sesuai dengan jam,
hari dan tempat, serta pakaian ibadah yang telah ditentukan. Hal ini
melambangkan sikap kedisiplinan waktu, belajar, bekerja, makan, dan istirahat.
Kalau yang satu Wukuf, maka Wukuf semua. Begitu juga kalau yang satu pakai baju
ihram, yang lain juga pakai. Inilah makna kedisiplinan yang harus dikembangkan
pasca haji, walau tanpa pengawasan.
Kedelapan, selalu berkata yang benar
dan banyak shadaqoh. Dalam
pelaksanaan ibadah haji, seseorang tidak boleh mengucapkan kata yang
menyakitkan orang lain dan dianjurkan untuk banyak shadaqoh. Rasul Saw pernah
ditanya tentang indikator haji mabrur, maka beliau menjawab: “Suka memberi makan (kepada fakir miskin) dan
tutur kata yang damai” HR. Ahmad. Berkata yang benar adalah lambang
akhlakul karimah, sedangkan memberi makan adalah lambang solidaritas,
kepedulian kepada sesama.
Demikian beberapa hal yang perlu disampaikan dalam
tulisan ini dengan harapan para Hujaj tahun ini lebih baik kwalitas ibadah
hajinya, sehingga nilai-nilai spiritual yang ada dalam ibadah ini bisa
diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari pasca haji. Amin.
* Penyuluh Agama
Islam
Kantor Depag
Kabupaten Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar