MELESTARIKAN TRADISI HALAL BI HALAL
Oleh : Mursana, M.Ag.
Sudah menjadi tradisi umat Islam Indonesia , apabila selesai
melaksanakan ibadah puasa Ramadhan disempurnakan dengan zakat fitrah dan
ditutup tanggal 1 Syawal dengan
sholat ‘Idul Fitri dilanjutkan dengan acara halal bi halal. Acara ini dilaksanakan oleh sebagian besar
umat Islam di Indonesia. Mulai dari kalangan pejabat, birokrat tingkat atas
sampai tingkat bawah, masyarakat umum. Biasaya acara ini berlangsung sampai
dengan akhir bulan Syawal. Modelnya bermacam-macam; ada yang mengundang
muballigh, ada yang mengundang artis, bahkan ada yang kumpul-kumpul biasa
sambil ngobrol ngalor ngidul dan
makan bersama antar keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar, lalu ditutup
dengan salam-salaman; saling maaf memaafkan antar peserta halal bi halal. Yang
pasti dalam acara tersebut terlihat suasana kekeluargaan, persaudaraan dan
keakraban. Seolah-olah antar peserta tidak punya beban masalah apapun.
Kalau kita perhatikan, Halal bi halal adalah kata majemuk yang
terdiri atas pengulangan kata halal,
diapit oleh satu huruf (kata penghubung) ba’ yang dibaca bi. Kalau kata majemuk
tersebut diartikan seperti yang ditemukan dalam kamus besar bahasa Indonesia,
yakni “acara ma’af memaafkan pada hari lebaran,” maka dalam halal bi halal
terdapat unsur silaturrahim. Istilah kata tersebut berasal dari bahasa Arab,
namun dalam masyarakat Arab Timur Tengah sebenarnya istilah itu tidak dikenal.
Yang ada adalah istilah silaturrahim. Halal bi halal adalah hasil kreasi umat Islam
Indonesia sendiri dan telah menjadi perbendaharaan kata keagamaan serta telah
melembaga di kalangan umat Islam Indonesia. Namun istilah itu tidak ada yang
tahu, sejak kapan, dimana asal usulnya, dan apa latar belakang istilah
tersebut.
Menurut Quraish Shihab, tidak
ditemukan dalam Al Qur’an atau hadits suatu penjelesan tentang arti halal bi
halal. Istilah tersebut memang khas Indonesia, bahkan boleh jadi pengertiannya
akan kabur di kalangan bukan bangsa Indonesia walaupun yang bersangkutan paham
ajaran Islam dan bahasa Arab.
Tradisi halal bi halal di
Indonesia merupakan altenatif pemecahan praktis dari kunjungan silaturrahim
yang biasanya membutuhkan waktu berhari-hari. Dengan menghadiri acara tersebut
yang diselenggarakan di suatu tempat, seseorang sudah dapat bersilaturrahim
dengan banyak orang. Halal bi halal bersumber dari ajaran Islam tentang
hubungan manusia dengan Allah (hablum minallah) dan hubungan manusia dengan
manusia (hablum minan naas). Orang yang beriman harus dapat menempatkan dirinya
sebagai orang yang bermanfaat bagi masyarakat dimanapun dia berada atau dengan kata lain orang yang
beriman hablum minan Naas nya harus
baik. Manusia yang terbaik menurut ajaran Islam adalah yang hablum minallah nya baik dan hablum minan Naas nya juga baik, ketaatannya
kepada Allah dan Rasul-Nya baik dan hubungannya kepada sesama manusia juga
baik. Orang yang beriman harus mampu menjalin hubungan secara baik, karena
manusia tergantung dari kedua hal tersebut.
Dalam Al Qur’an, dengan indah
sekali diungkapkan tentang keharusan melaksanakan hubungan baik dengan Allah
SWT dan menjalin hubungan baik dengan sesama manusia, dan apabila kita tidak
bisa melaksanakan hubungan keduanya, maka kita akan ditimpa musibah atau hinaan
dimanapun kita berada. Sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an: “Mereka ditimpa kehinaan dimana saja mereka
berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali agama Allah dan tali
perjanjian dengan manusia”. (Q.S. Ali ‘Imran:112). Jadi apabila seseorang
itu hanya semata-mata hubungannya baik terhadap Allah SWT., tetapi putus
hubungannya dengan sesama manusia, maka dia tidak akan terlepas dari derita
(dzillah). Bila terjadi suatu ketegangan atau perselisihan antara sesama manusia
karena adanya suatu hal yang kurang baik, maka sedikit banyak hal tersebut akan
berpengaruh pada jiwa dan perasaan hatinya. Demikian pula sebaliknya, apabila
seseorang sudah mampu menjalin hubungan baik dengan sesama manusia, tetapi
putus hubungan baik dengan Allah SWT., maka dia tidak akan dapat melepaskan
diri dari derita (dzillah), karena cepat atau lambat orang tersebut akan merasa
dirinya atau dengan kata lain hidupnya akan menderita karena tidak memperoleh
ketenangan hati. Sedangkan ketenangan hati merupakan bagian yang terpenting
dari kebahagiaan hidup.
Kenapa perlu Halal bi Halal ?
Manusia adalah makhluk yang
sering salah dan lupa, seperti dikatakan dalam pepatah Arab, “Al-Insaanu Mahalul Khatha’ wan Nisyaan”.
Karena manusia tempatnya salah
dan lupa, maka kadang-kadang ia menyakiti perasaan orang lain. Orang yang
disakiti boleh jadi ia akan marah, dan bila marah telah menyelinap dalam hati
seseorang, maka dengan demikian orang yang telah menyebabkan orang lain itu
menjadi marah, laksana telah memutuskan hubungan persaudaraan dan hubungan
kasih sayang sesama manusia atau dengan perkataan lain telah memutuskan
silaturrahim yang tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Sebagaimana Rasulullah
SAW. pernah mengancam orang-orang yang memutuskan silaturrahim, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan
kekeluargaan (memutuskan silaturrahim)”. (HR. Bukhori dan Muslim).
Oleh karena itu tradisi halal
bi halal perlu dilestarikan di negeri ini dengan alasan sebagai berikut :
Pertama : Halal bi halal sebagai wadah
silaturrahim. Menurut Quraish Shihab, silaturrahim adalah kata majemuk yang diambil
dari kata bahasa Arab; Shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari kata washl
yang berarti “menyambung” dan “menghimpun”. Ini berarti hanya yang terputus dan yang terserak yang dituju oleh shilat
itu. Sedangkan kata Rahim pada
mulanya berarti “kasih sayang”, kemudian berkembang sehingga berarti pula
“peranakan” (kandungan), karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan
kasih sayang. Jadi silaturrahim adalah suatu aktifitas untuk saling
menghubungkan atau menyambungkan tali persaudaraan/ kekeluargaan, sehingga
menimbulkan kasih sayang seperti menyayangi anak kandung.
Banyak sekali hadits
Rasulullah SAW. yang menganjurkan umat Islam agar gemar bersilaturrahim,
diantaranya adalah Rasulullah SAW. bersabda :
“Barang
siapa yang menginginkan dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka
bersilaturrahimlah”. (HR. Bukhori). Hadits ini mengisyaratkan bahwa : a). Sesulit apapun rizki kita, asal
mau bersilaturrahim, Allah pasti akan membukaan jalan keluarnya. Allah SWT akan
memberi rizki orang tersebut dengan tidak disangka-sangka. Rizki itu bisa
melalui orang yang disilaturrahimi atau mungkin dari tetangga masyarakat
sekitar dan dari tetangga jauh. Yang namanya rizki bukan hanya uang, bisa juga
berbentuk materi yang lain seperti pakaian, kendaraan, perhiasan atau mungkin
makanan. Atau bisa juga rizki itu berbentuk kesehatan jiwa dan raga. Semua
anugrah Tuhan untuk manusia itu disebut rizki. b). Orang yang bersilaturrahim
akan dipanjangkan umurnya. Maksudnya orang yang sedang
dililit masalah kehidupan yang sangat berat, sehinga dia psimis dan putus asa
dalam menghadapi kenyataan hidup, setelah bersilaturrahim ada yang memberi
spirit/nasehat, sehingga dia kembali semangat dalam hidup, seolah-olah dia
hidup kembali. Di dalam hadits lain Rasulullah SAW. mengancam orang yang
sengaja memutuskan silaturrahim, seperti dalam sabdanya, “Sesungguhnya rahmat Allah SWT. tidak akan diturunkan kepada suatu kaum
yang di dalamnya ada yang memutuskan silaturrahim” ini berarti rahmat Allah
SWT. sangat tergantung kepada silaturrahim.
Kedua : Halal bi halal sebagai wadah untuk
saling memaafkan antar sesama. Saling memaafkan antar sesama merupakan sikap
yang dianjurkan oleh Allah SWT. sebab dengan sikap tersebut, sikap dendam dan
rasa marah dapat dihilangkan. Sifat dendam dan marah itulah sesungguhnya yang
sering menyebabkan terjadinya berbagai tindak kekerasan dan kekejaman. Oleh
karena itu dengan mengedepankan sikap saling memaafkan (meminta dan memberi
maaf), perbuatan tidak terpuji itu bisa dihindari. Memang diakui bahwa tidak
semua dendam dan marah itu timbul akibat seseorang enggan meminta dan memberi
maaf, tetapi yang jelas sikap enggan meminta dan memberi maaf dapat menimbulkan
dendam dan marah seseorang. Selain itu, sikap saling memaafkan merupakan ciri
orang yang taqwa. Oleh karenanya, orang yang suka memaafkan kesalahan orang
lain, nilai kepribadian dan ketaqwaannya sangat luhur. Itulah sebabnya sifat
seperti itu senantiasa dimiliki oleh para Nabi dan Rasul Allah, para sahabat
utama Nabi Muhammad SAW, para ahli sufi dan orang-orang sholeh. Sikap tersebut
juga ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW yang memberi maaf kepada penduduk Mekkah yang dulu memusuhi dakwahnya,
menyiksa dan mengusirnya. Dengan sikap
inilai satu persatu penduduk Mekkah masuk ke dalam Islam, hingga akhirnya
seluruh penduduk Mekkah masuk Islam dengan berbondong. Demikian pula beliau
senantiasa meminta maaf kepada para sahabatnya dan umatnya, walaupun mereka
mengakui bahwa beliau tidak pernah berbuat salah terhadap mereka. Menjelang
akhir hayatnya, beliau mengumumkan dihadapan para sahabatnya bahwa beliau
meminta maaf kepada mereka dan menyampaikan kepada mereka bahwa siapa-siapa
yang merasa disakiti atau tersinggung selama dalam kepemimpinannya agar mereka mengemukakannya
dan mempersilahkan untuk menuntut balas kepada beliau. Maka pada akhir hayatnya
beliau tidak meninggalkan kesalahan sama sekali bahkan beliau meninggal dengan
penuh keharuman dan ditengah-tengah kecintaan umat yang amat dalam. Sikap
pemaaf Rasulullah SAW. Juga diteladani oleh para sahabatnya dan orang-orang
sholeh. Dalam hal sikap saling memaafkan, Allah SWT berfirman : “………… dan orang-orang yang menahan amarahnya
dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan”. (Q.S. Ali ‘Imran:134). Ayat ini menjelaskan tentang ciri-ciri
orang yang bertaqwa, yang berarti sikap suka memberi dan meminta maaf/saling
memaafkan adalah termasuk sikap orang yang bertaqwa. Namun yang masih kita
prihatinkan hingga sekarang ini adalah ternyata masih banyak orang yang enggan
memberi maaf atas kesalahan yang diperbuat oleh orang lain, walaupun orang
tersebut sudah bertaubat dan meminta maaf. Juga masih banyak orang yang tidak
mau meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya kepada orang lain. Padahal
jelas-jelas bahwa kesalahannya itu dilakukan olehnya. Akibat sikap enggan
memberi dan meminta maaf itu, maka sifat-sifat dendam, marah, dan benci ada di
masyarakat kita itu timbul akibat keengganan tersebut sulit dihilangkan.
Akhirnya sifat-sifat tersebut merusak tali persaudaraan. Oleh karena itu
melalui halal bi halal, mari buka dan lapangkan dada kita untuk saling
memaafkan, hilangkang egoisme yang lainnya. Sesungguhnya sifat-sifat egoisme
itu akan merendahkan dirinya, bukan sebaliknya. Sebaik-baiknya orang adalah
oarng yang selalu merasa dirinya banyak salah, walaupun dia tidak melakukan
perbuatan tersebut. Memang kalau menuruti dorongan nafsu bahwa meminta maaf itu
berat, bahkan memberi maaf lebih berat lagi. Tetapi karena dorongan nurani,
dorongan yang dipancarkan oleh Illahi, maka mau tidak mau, bisa tidak bisa,
kita harus bisa membiasakan suatu sikap saling memaafkan antar sesama.
Dengan demikian tradisi halal
bi halal yang baik harus dilestarikan. Kesan bahwa halal bi halal itu pamer
kemewahan, huru-hara, bahkan sambil mabuk-mabukan, harus dihilangkan. Halal bi
halal merupakan tradisi yang suci yang lahir dari masyarakat muslim Indonesia,
yang didalamnya ada silaturrahim dan sikap saling memaafkan. Kedua sikap
tersebut merupakan ajaram Islam yang wajib dijunjung tinggi umat Islam
Indonesia keberadaaannya. Semoga.
Mursana, M.Ag. : Penyuluh
Agama Islam Kec.Plumbon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar