MENYIKAPI AHMADIYAH
PASCA REKOMENDASI BAKOR PAKEM
Oleh : Mursana, M.Ag
Pada tanggal 17 April 2008 yang lalu, Badan Koordinasi
Pengawas Aliran Keprecayaan Masyarakat (Bakor Pakem) pusat mengadakan
musyawarah di Jakarta tentang keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Dalam
musyawarah tersebut memutuskan bahwa ajaran Ahmadiyah menyimpang dari ajaran
pokok Islam. Tentu saja keputusan ini menimbulkan keresahan dikalangan
pengikutnya. Para pengikut Jama’ah Ahmadiyah
Indonesia (JAI) khawatir dengan aksi anarkis yang bisa mengecam keselamatan
mereka, seperti yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Penolakan terhadap
aliran Ahmadiyah terjadi diberbagai daerah dan itu dilakukan dengan cara-cara
fisik dan kekerasan. Pada tanggal 10-13 September 2002, ratusan warga yang menganut
aliran Ahmadiyah mengungsi akibat diserang oleh kaum muslim di Kota Selong,
Lombok Timur. Beberapa bulan setelahnya, tepatnya tanggal 23 Desember 2002,
Masjid milik warga Ahmadiyah di Desa Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat, juga
diserang massa.dan yang paling mengenaskan terjadi pada tanggal 15 Juli 2005 dan akhir 2007 lalu. Pertemuan tahunan Jama’ah
Ahmadiyah yang diselenggarakan di Kampus Mubarok Parung, Bogor, Jawa Barat
dibubarkan oleh ribuan massa yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam (GUI) dalam
suatu insiden yang menimbulkan kerusakan fasilitas bangunan milik JAI.
Massa yang dipimpin Habib Abdurrahman As Segaf tersebut,
beberapa hari sebelumnya, tanggal 8 Juli 2005 menyampaikan ultimatum agar
pertemuan tahunan tersebut segera dihentikan. Namun ultimatum tersebut tidak
dihiraukan Jama’ah Ahmadiyah. Karena merasa tidak dihiraukan, pada tanggal 15
Juli 2005 Habib Abdurrahman As Segaf membawa ribuan massa GUI dan mengepung
kampus tersebut, sambil meneriakan Allahu Akbar mereka mengamuk dan menghancurkan
gerbang dan kaca-kaca gedung kampus tersebut. Untuk menghindari adanya korban,
akhirnya pihak Ahmadiyah bersedia meninggalkan tempat.
Berbagai peristiwa di atas hanya sedikit dari dampak
ketidaksiapan kita dalam menerima yang lain. JAI adalah satu korban dari
kepicikan cara pandang kelompok-kelompok yang menganggap keberadaan Ahmadiyah
sebagai faham yang berbahaya di masyarakat. Manurut penulis, apa yang mereka
kembangkan adalah virus dalam
kemurnian ajaran Islam. Padahal penghakiman yang dilakukan MUI sebagai lembaga
milik semua umat Islam atau Bakor Pakem,
tanpa melalui proses tabayun yang memberi ruang bagi dialog dan memberi
kesempatan Ahmadiyah untuk menjawab segala tuduhan yang diajukan. Artinya
terhadap JAI adalah apriori yang juga tidak diperkenankan dalam Islam. Menurut
Din Syamsudin proses dialog harus lebih diutamakan dalam masalah ini.
Dalam tulisan sederhana ini paling tidak ada dua masalah
penting untuk dibahas berkaitan dengan persoalan tersebut di atas. Pertama, bagaimana seharusnya kaum
Muslim menyikapi munculnya pandangan-pandangan keislaman “Main Stream” yang
selama ini diyakini, khususnya pandangan keagamaan yang dimunculkan oleh
Ahmadiyah. Kedua, bagaimana
pemerintah merumuskan kebijakannya dalam menyikapi berbagai perbedaan pandangan
keagamaan tersebut. Tulisan ini tidak mungkin memberi jawaban tuntas dan bisa
memuaskan semua pihak terhadap kedua persoalan tersebut. Namun, yang perlu
digaris bawahi adalah sebagai prasyarat untuk mengambil sikap dan kebijakan
yang tepat sudah semestinya terlebih dahulu kita mengenali secara lebih dekat
apa itu Ahmadiyah, dan poin-poin apa yang telah memicu perdebatan selama ini,
sehingga menimbulkan tindak kekerasan.
Apa Ahmadiyah ?
Ahmadiyah adalah salah satu organisasi keagamaan yang
bertaraf internasional yang telah memiliki cabang di 178 negara dengan jumlah
anggota tidak kurang dari 200.000.000 anggota, yang tersebar di Afrika, Amerika
Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia
dan Eropa. Jemaat ini didirikan pada tahun 1889 oleh Mirza Ghulam Ahmad di
sebuh desa kecil bernama Qadiyan, di daerah Punjab India
(sekarang Pakistan ).
Nama pergerakan ini diambil dari salah satu nama Nabi Muhammad, yaitu Ahmad,
bukan diambil nama pendirinya (Mirza Ghulam Ahmad), dengan demikian dalam hal
ini mirip dengan Muhammadiyah.
Pendiri jemaat ini mendirikan pergerakan ini dengan
tujuan, pertama-tama untuk meremajakan kembali moral Islam dan nilai-nilai
spiritual. Ia memandang pada saat itu jiwa manusia sudah hampa dari nilai-nilai
spiritual dan itu berakibat kepada merosotnya nilai-nilai moral. Melihat
realitas semacam ini, Mirza Ghulam Ahmad mengalami kegelisahan, yang
selanjutnya ia salurkan dalam bentuk kegiatan kontemplasi (menyendiri dan
beribadah) dalam rangka memohon petunjuk dalam menyikapi keadaan kehidupan yang
semacam itu. Adapun tujuan kedua pendirian gerakan ini adalah untuk meluruskan
pandangan Barat yang salah terhadap Islam. Negara-negara Eropa memandang Islam
dengan konotasi yang serba jelek, seperti keterbelakang, radikal, kaku, dan
lain-lain. Karena itu, pergerakan ini mempelopori dakwah dengan cara yang
santun. Dialog, debat serta diskusi sering ia lakukan dalam rangka menepis
kesan buruk tersebut.
Tujuan tersebut harus senantiasa diabadikan. Karena itu,
kepemimpinan Mirza Ghulam Ahmad sebagai pimpinan rohani harus dilanggengkan
secara estafet, yang diformat dalam bentuk khilafat.
Hal ini didasari oleh keyakinan di kalangan jemaat Ahmadiyah bahwa seluruh
manusia di dunia ini harus dijadikan satu jemaat yang tunduk kepada kepemimpinan rohani untuk meyakini
kalimat “laa Ilaaha illallah, Muhammad
Rasulullah”.
Sejak wafatnya pendiri jemaat ini pada 1908, jemaat ini
telah dipimpin oleh 5 orang khalifah yaitu :
a.
Khalifatul Masih I, yaitu Hadhrat Maulana Al-Hajj Hakim Nuruddin ra (1908-1914)
b.
Khalifatul Masih II, yaitu Hadhrat Al Hajj Mirza
Bashiruddin Mahmud Ahmad ra (1914-1965); ia adalah putera kedua Mirza Ghulam
Ahmad.
c.
Khalifatul Masih III, yaitu Hadhrat Mirza Nasir Ahmad ra
(1965-1982).
d.
Khalifatul Masih IV, yaitu Hadhrat Mirza Thahir Ahmad ra
(1982-2003); ia adalah cucu Mirza Ghulam Ahmad.
e.
Khalifatul Masih V, yaitu Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
ra; ia memimpin jemaat ini dari tahun 2003 sampai saat ini. (Suryawan, 2005:
1-3)
Ahmadiyah di Indonesia
Proses tersebarnya paham ini di Indonesia
diawali dengan diutusnya 2 (dua) orang pelajar lulusan Sekolah Sumatera Thawalib, yang dipimpin oleh Dr.
Haji Abdul Karim Amarullah (Haji Rasul) di Padang Pajang, yaitu Abu Bakar Ayyub
dan Ahmad Nuruddin asal Parabek. Semula mereka berdua bermaksud melanjutkan
studinya ke Mesir, namun guru mereka di Madrasah Diniyyah yang bernama
Zainuddin El Yunusiah dan seorang ulama Syaikh Ibrahim Musa Parabek menyarankan
agar mereka berdua meneruskan studinya ke Hindustan (India ). Alasannya, pelajar yang
menuntut ilmu di Mesir sudah cukup banyak dan India diyakini memiliki tokoh-tokoh
dan perguruan ilmu pengetahuan agama Islam yang tinggi mutunya.
Pada hari Rabu bulan Desember 1922 dua orang pelajar
asal Minang ini berangkat dari Sumatera melalui Medan
menuju India
dengan tujuan Kota Lucknow. Di kota
ini mereka bertemu dengan satu orang teman dari tanah air bernama Zaini Dahlan.
Setelah tinggal di kota
ini selama 2 bulan, mereka bertiga pun berangkat ke Kota Lahore. Di kota inilah mereka untuk
pertama kali mengenal jemaat Ahmadiyah.
Dari pelajaran yang mereka terima selama di kota ini muncullah rasa
cinta terhadap pendiri jemaat ini (Mirza Ghulam Ahmad). Rasa cinta mendorong
mereka untuk pergi berziarah mengunjungi makamnya di kampung Qadiyan dan
berangkatlah mereka bertiga dengan tujuan tersebut pada tahun 1923.
sesampingnya di sana
mereka diterima oleh seorang tokoh Jemaat Ahmadiyah yaitu Maulana Mir Muhammad
Ishak ra, adik ipar dari pendiri jemaat ini. Sehari setelah tiba di Qadiyan
mereka bertiga mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Imam Jemaat Ahmadiyah,
yang ketika itu dijabat Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad ra, Khalifatul
Masih II. Beliau berkenan memberi izin kepada 3 orang pelajar asal Minang itu
untuk belajar di Madrasah Ahmadiyah.
Setelah beberapa lama mereka belajar di Qadiyan, mereka
rupanya melakukan kontak dengan teman-teman mereka di kampung halamannya.
Akhirnya berdatanganlah teman-teman mereka ke Qadiyan untuk mempelajari Islam
yang diajarkan oleh pendiri jemaat ini. Mereka yang datang kemudian
diantaranya: Mahmud (Padang Panjang), Muhammad
Nur (Lubuk Pasung), Abdul Wahid (Tapaktuan), Samsudin (Rengat),
Samsuddin Rao-rao (Batu Sangkar). Muhammad Jusyaj (Sampur), Moh. Ilyas (Padang Panjang), Hajiuddin (Rengat), Abdul Aziz Shreef (Padang ), Moh,. Idris dan
Abdul Samik (Padang Panjang).
Isu-isu di Seputar
Perpecahan
Satu hari setelah Maulana Nuruddin wafat, yaitu pada 14
Maret 1914, Ahmadiyah terpecah menajdi dua aliran, kendati bibit-bibit
perpecahan di kalangan Ahmadiyah sebenarnya sudah tampak ketika Ahmadiyah masih
berada di bawah kepemimpinan Maulana Nuruddin. Pertama, Ahmadiyah Qadiyan di bawah pimpinan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad,
yang kemudian menjadi Khalifah al-Masih II, menggantikan Maulana Nuruddin.
Kedua, Ahmadiyah Lahore, di bawah
pimpinan Maulana Muhammad Ali.
Masing-masing aliran itu sendiri memiliki pandangan berbeda mengenai
sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan.
Maulana Muhammad Ali, tokoh utama sekaligus pendiri
kelompok Ahmadiyah Lahore menulis sebuah buku berjudul The Split in the Ahmadiyah Movement (1918, 1994) untuk menjelaskan
sebab-sebab mengenai perpecahan tersebut. Menurut kelompok Lahore , perpecahan itu disebabkan kalangan
Ahmadiyah yang tergabung dalam kelompok Qadiyan telah memunculkan doktrin dan
kepercayaan baru yang berbeda dari apa yang selama ini disebarkan oleh Mirza
Ghulam Ahmad sendiri.
Pertama, soal keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dalam
pengertian hakiki. Hal ini berkaitan dengan pemaknaan terhadap ungkapan khatam al-nabiyyin bukan sebagai
“penutup” para nabi, tetapi sebagai “yang termulya” atau “yang tersempurna”
dari para nabi. Finalitas kenabian dipahami sebagai berakhirnya pewahyuan yang
membawa syariah baru, tetapi tidak untuk jenis wahyu tanpa syariah. Wahyu jenis kedua itulah yang diyakini
kalangan Ahmadiyah Qadiyan diterima Mirza Ghulam Ahmad, dan karena itu Mirza
Ghulam Ahmad diyakini sebagai nabi jenis ini, yakni nabi dengan tidak membawa
syariah baru. Berbagai pernyataan Mirza Ghulam Ahmad sendiri memperlihatkan
bahwa ia menggunakan istilah ‘nabi’ dalam pengertian metaforsis, yakni orang
yang diberikan kemampuan oleh Allah untuk memperlihatkan ‘nubuwwah’, yaitu
hal-hal tersembunyi (gaib) menyangkut peristiwa tertentu atau sejumlah makna
metaforsis yang dikandung dalam sejumlah ayat.
Kedua, soal penafsiran terhadap nama “Ahmad” yang muncul di dalam
Al-Qur’an surah al-Shaff/61: 6, yang
berisi ramalan Isa ibn Maryam tentang akan datangnya seorang utusan
sesudahnya bernama “Ahmad”. Menurut Maulana Muhammad Ali, kelompok Qadiyan
berpendapat bahwa Ahmad bukanlah salah satu dari nama Nabi Muhammad. Karena,
itu ramalan Isa ibn Maryam itu bukan mengacu kepada Nabi Muhammad, tetapi
kepada Mirza Ghulam Ahmad. Sementara, kelompok Ahmadiyah Lahore tetap memaknai
kata ‘Ahmad’ yang terdapat di dalam ayat tersebut sebagai mengacu kepada Nabi
Muhammad.
Ketiga, mengenai status seorang Muslim yang tidak meyakini paham yang
dibawa Mirza Ghulam Ahmad, termasuk meyakini statusnya sebagai seorang nabi
dalam pengertian yang telah disebutkan di atas. Kelompok Qadiyan, terutama
melalui pernyataan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, menganggap orang yang tidak
mempercayai Mirza Ghulam Ahmad, termasuk
berkaitan dengan statusnya sebagai nabi (tanpa syariah baru), baik orang
tersebut pernah mendengar atau belum pernah mendengar tentang ajaran tersebut,
adalah “kafir” dan “berada di luar
Islam”. Namun demikian, kalangan Ahmadiyah Qadiyan lain, misalnya di Indonesia ,
memaknai istilah ‘kafir’ itu dengan mendasarkan pada penggunaan umum kata itu,
yaitu dalam arti orang-orang yang ingkar
atau tidak menunaikan kewajiban agama, kendati ia seorang Muslim. Dalam
pengertian itulah mereka menggunakan istilah ‘kafir’, yang kemudian digunakan
terhadap orang-orang yang ‘mengingkari’ kenabian Mirza Ghulam Ahmad, yang
dipercaya kalangan Ahmadiyah Qadiyan sebagai nabi ummati, bukan nabi tasyri
(pembawa syariah).
Dalam rangka menanggapi buku yang telah ditulis Maulana
Muhammad Ali tersebut Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (1889-1965), wakil dari
kelompok Ahmadiyah Qadiyan yang juga adalah Khalifah al-Masih II, menulis
sebuah buku dalam bahasa Urdu berjudul A’inah-i
Sadaqat pada Desember 1921, yang diterjemahkan dalam bahawa Inggris dengan
judul The True about the Split dan
diterbitkan pada 1924. di dalam buku terebut Mirza Mahmud Ahmad sesungguhnya
tidak membantah menyangkut pandangan-pandangannya dalam tiga perkara di atas,
yakni bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dalam pengertian hakiki; bahwa kata
“Ahmad” yang muncul dalam surah al-Shaff/61:6 mengacu pada Mirza Ghulam Ahmad,
bukan kepada Nabi Muhammad; dan bahwa orang yang tidak meyakini kenabian dan
juga ajaran-ajaran Mirza Ghulam Ahmad, baik orang itu pernah mendengar atau
belum pernah mendengar beliau dan ajaran-ajarannya, dipandang “kafir” dan
“berada di luar Islam”. Yang dibantahnya adalah segi “kebaruan” dari
keyakinan-keyakinannya terebut, sebagaimana dituduhkan Maulana Muhammad Ali.
Menurutnya, kecuali dalam perkara kedua, keyakinan menyangkut perkara pertama
dan ketiga telah dianutnya bahkan ketika Mirza Ghulam Ahmad masih hidup.
Sedangkan keyakinannya menyangkut perkara kedua berkembang tidak lama setelah
wafatnya Mirza Ghulam Ahmad, sebagai hasil dari ajaran-ajaran yang diterimanya
dari Maulana Nuruddin, Khalifah al-Masih I dalam struktur organisasi kelompok
Ahmadiyah Qadiyan.
Selain masalah-masalah di atas, hal-hal lain yang juga
telah memicu perpecahan antara kalangan Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadiyan,
dan bahkan juga terciptanya jurang yang semakin lebar antara Ahmadiyah Qadiyan
dan kelompok Muslim lainnya adalah pernyataan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad
bahwa :
Karena al-Masih al-Maw’ud (Mirza Ghulam Ahmad) adalah
utusan Allah dan pengingkaran terhadap Utusan Allah adalah kedurhakaan yang
berbahaya dan dapat mencabut iman, maka sesuai dengan al-Qur’an, hadits Nabi
Muhammad, dan perkataan-perkataan al-Masih al-Maw’ud, adalah kewajiban setiap
orang Ahmadi untuk melakukan shalat dengan bermakmum pada Imam orang Ahmadi.
Namun, di tempat-tempat yang tidak terdapat Imam seorang Ahmadi, maka hendaknya
ia melaksanakan shalat sendiri sambil berdoa kepada Allah agar Ia memberinya
jamaah. Karena seorang mu’min sejati tidak akan pernah sendirian. Demikian
pula, dilarang bagi kaum Ahmadi untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka
dengan orang non-Ahmadi, karena istri pada umumnya dipengaruhi oleh suami, dan
hal itu akan membuat seorang menjadi mungkar. Demikian pula, kaum Ahmadi
hendaknya tidak menghadiri penguburan orang non-Ahmadi, karena hal itu akan
berarti berupaya meminta syafaat kepada Allah bagi orang yang telah terbukti
menjadi musuh dengan mengingkari dan menentang al-Masih al-Maw’ud.
Penutup
Dari paparan di atas tampak bawah persoalan Ahmadiyah
merupakan suatu masalah yang kompleks, yang di dalamnya melibatkan perdebatan
menyangkut isu-isu teologis maupun politis. Perbedaan pemahaman menyangkut
isu-isu teologis, seperti definisi tentang wahyu, nabi dan penggunaan
penyebutan bernuansa keagamaan, seperti istilah ‘kafir’, telah melahirkan
kontroversi, bukan hanya antar kelompok Ahmadiyah dan kelompok-kelompok Muslim
lainnya, tetapi juga telah menimbulkan perpecahan di kalangan Ahmadiyah
sendiri, yakni Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore.
Namun demikian, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa
betapapun sengitnya perdebatan antara kelompok Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah
Lahore, namun berbagai perbedaan itu tidak disikapi dengan penggunaan
kekerasan. Sebaliknya, perbedaan itu diletakkan dalam kerangka diskusi, debat
dan adu argumentasi. Itulah sebabnya kita dapat menemukan berjilid-jilid buku
dan ratusan artikel yang telah ditulis oleh kedua pihak, yang mencoba
menjelaskan posisi pandangan masing-masing, terutama dalam memaknai
ajaran-ajaran Mirza Ghulam Ahmad, yang merupakan pendiri kelompok ini. Hal
inilah yang mungkin dapat dijadikan pelajaran berharga bagi kelompok-kelompok
Muslim lainnya, yang tidak setuju dengan pandangan Ahmadiyah Qadiyan, misalnya.
Persoalan Ahmadiyah juga berimplikasi pada persoalan
politik, khususnya menyangkut hubungan antara negara dan agama. Apakah negara
berhak campur tangan dalam berbagai perbedaan yang menyangkut perkara-perkara
teologis? Apakah negara berhak menyatakan suatu aliran keagamaan tertentu
sebagai ‘sesat’, atau melarang suatu pemahaman atau keyakinan keagamaan
tertentu? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menjadi persoalan yang belum
diputuskan jawabannya secara tuntas di Indonesia .
Ditambah lagi, kasus Ahmadiyah ini juga melebar memasuki
wilayah hak asasi manusia. Apabila negara Indonesia berkomitmen pada
perlindungan hak asasi warganya, sementara keyakinan agama, termasuk corak
pemahaman keagamaan tertentu di dalamnya, termasuk di antara hak asasi warga
yang harus dilindungi negara, maka apakah negara dapat membiarkan terjadinya
tindakan kekerasan dari sekelompok warga terhadap kelompok warga lainnya yang
menganut paham keagamaan yang berbeda?
Ada beberapa hal penting yang perlu dikemukakan terkait
dengan dua poin masalah yang dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, yaitu
bagaimana seharusnya kaum Muslim menyikapi munculnya pandangan-pandangan
keislaman yang berbeda dari pandangan keislaman “mainstream” yang selama ini diyakini, khususnya pandangan keagamaan
yang dimunculkan oleh Ahmadiyah? Dan bagaimana negara dan pemerintah merumuskan
kebijakannya dalam menyikapi berbagai perbedaan pandangan keagaaman yersebut.
Pertama, langkah terbaik untuk menyikapi munculnya pandangan keagamaan yang
berbeda, termasuk perkembangan dalam pemikiran keislaman, adalah bukan dengan
ditempuhnya tindak kekerasan, tetapi dengan mengemukakan berbagai argumentasi
tandingan yang “lebih baik”. Jikapun tidak dapat dicapai titik temu, hendaknya
masing-masing pihak berpegang pada keyakinannya sendiri, sambil menghormati hak
orang lain untuk berpegang pula pada pandangan dan keyakinannya sendiri. Dalam
jangka panjang, hal ini akan menumbuhkan sikap toleran dan kedewasaan di
kalangan umat beragama, khususnya dalam menghadapi perbedaan pemahaman
keagamaan yang ada. Mengutip pandangan Amien Rais, salah seorang tokoh Muslim
Indonesia, “Jika orang tidak suka dengan ajaran Ahmadiyah, jangan ikuti. Sikap
terbaik dalam menghadapi Ahmadiyah adalah dengan menegakkan toleransi, bukan
dengan cara-cara kekerasan.”
Kedua, perlu dilakukan upaya dialog terus menerus, khususnya dengan pihak
Ahmadiyah dalam rangka melakukan klarifikasi terhadap berbagai isu teologis
yang berkembang. Dengan upaya-upaya dialog ini diharapkan kaum Muslim Indonesia
pada umumnya lebih mengetahui pemahaman keislaman yang ditawarkan Ahmadiyah dan
apa yang sebenarnya menjadi poin-poin kontroversi antara Ahmadiyah dan
kelompok-kelompok Islam lainnya.
Ketiga, berbagai perbedaan pandangan dalam pemahaman keagamaan hendaknya
tidak mendorong kita untuk secara tergesa-gesa mencap kelompok lain sebagai
“sesat”, “kafir” ataupun “keluar dari Islam”. Hal ini berlaku baik bagi
kelompok Ahmadiyah sendiri, maupun kelompok-kelompok Islam lainnya. Berkaitan
dengan hal ini, penting dicatat bahwa Nahdlatul Ulama, dalam Rapat Pleno mereka
di Bogor misalnya, mencoba untuk mencari kata lain dari kata “sesat” untuk
mengekspresikan sikapnya terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia, karena kata
“sesat” itu dinilai terlalu “kasar”. Penggunaan label “sesat”, “kafir” dan
semacamnya malah akan memperkeruh suasana dan mendorong lahirnya tindak
kekerasan lebih lanjut. Di samping itu, bukankah hanya Tuhan yang berhak untuk
menilai apakah seseorang itu berada dalam jalan yang “lurus” ataukah berada di
jalan yang “sesat”?
Keempat, pemerintah harus merumuskan kebijakan-kebijakan yang lebih
komprehensif menyangkut upaya mengatasi sebagai pandangan keagamaan, baik
intern suatu umat beragama maupun antar umat beragama. Namun, satu hal yang mungkin perlu
dipertimbangkan adalah pandangan Abdul Kader Tayob, seorang profesor Studi
Islam di University of Nijmegen’s International Institute for the Study of
Islam di Belanda bahwa “Negara harus menjaga jarak dari perdebatan menyangkut
isu-isu keagamaan. [karena] negara tidak bisa memutuskan apa yang benar atau
tidak benar dalam [agama] Islam. Meskipun demikian, negara dapat menetapkan
batas-batas, seperti misalnya jika seseorang tidak suka dengan pandangan
tertentu, namun orang itu tidak boleh melakukan tindak kekerasan untuk
mengekspresikan ketidaksukaan atau ketidaksetujuannya itu.
Kelima, meskipun pemerintah harus mengkaji kembali menyangkut kebijakan
mana yang terbaik guna mengatasi masalah perbedaan di seputar pemahaman atau
aliran keagamaan ini, satu hal yang sudah jelas dan harus dilaksanakan secara
tegas oleh pemerintah adalah tindakan untuk tidak membiarkan penggunaan
kekerasan oleh sekelompok warga terhadap kelompok warga lainnya, atas dalil
apapun. Sebab, jika hal ini dibiarkan berlanjut, maka bukan saja pemerintah
telah melakukan pelanggaran atas hak asasi warganya dengan melakukan pembiaran,
tetapi kewibawaaan negara dan aparat penegak hukumnya akan semakin merosot. (dari
berbagai sumber). Semoga.
Penulis : Jupen Agama Islam
Kecamatan Plumbon, EKS JAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar