PENDIDIKAN MORAL GAGAL, SALAH SIAPA?
( Sebuah Kado Hardiknas 02 Mei 2009 )
Oleh : Mursana, M.Ag
Perhatian sekolah dan orang tua siswa akhir-akhir ini
tertuju pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang baru saja dilaksanakan. Untuk
tingkat SMA/SMK/MA dilakukan dari 20 s/d 24 April 2009, sedangkan tingkat SMP/
MTs berlangsung dari 27 s/d 30 April 2009. Jauh hari mereka sudah mempersiapkan
diri demi melancarkan penyelenggaraan Ujian Nasional dengan harapan agar
anak-anak didiknya lulus dengan hasil yang memuaskan sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP). Di mulai dengan
program pengayaan, bimbingan try out, serta jam tambahan lain yang bersifat
untuk menggembleng mental dan rasa percaya diri siswa dalam
menyelesaikan soal. Kegiatan Istighotsah-pun belakangan ini popular di
Sekolah-sekolah terutama setiap menghadapi Ujian Nasional. Sekolah akan merasa
berhasil manakala peserta didiknya lulus 100% sehingga prestasi dan prestise
akan terdongkrak dalam waktu yang bersamaan. Tidak heran jika Sekolah-sekolah
menjadikan UN sebagai ajang kompetisi untuk mendapatkan popularitas. Bagi Sekolah
unggulan dan favorit tentu hal tersebut adalah hal yang biasa, tetapi untuk
sekolah yang kurang memadai justru terkesan dipaksakan. Coba bayangkan,
bagaimana mungkin Sekolah yang berada di Pedesaan atau mungkin di Daerah-daerah
terpencil yang sarana listrik atau alat komunikasi belum memadai, para siswanya
harus dipaksakan supaya sejajar dengan para siswa yang berada di daerah
perkotaan.
Akibat dari keadaan seperti inilah, semua elemen
penyelenggara pendidikan dari mulai Pemerintah Daerah, Sekolah, Kepala sekolah,
dan Team Sukses bekerja keras untuk mensukseskan kelulusan 100% demi gengsi
daerah dan sekolah, walaupun dilakukan dengan berbagai cara. Kecurangan UN
tidak terelakan lagi, mulai dari kebocoran soal, beredarnya SMS jawaban UN,
team sukses UN siluman yang siap tempur dan lain-lain. Para
siswa beragam dalam menghadapi UN ini. Ada
yang serius dan ada juga yang menghadapinya dengan biasa-biasa saja, sehingga
ada pemeo di kalangan siswa, “buat apa belajar serius, toh pada akhirnya juga
akan dibantu oleh team sukses”. Inilah efek negatif dari pendidikan yang hanya
berbasis / bersandarkan kelulusan dari kecerdasan IQ saja. sedangkan justru yang
lebih utamanya yaitu kecerdasan spiritual (SQ) dikesampingkan. Pendidikan yang
hanya berbasis IQ tanpa diimbangi dengan SQ sejatinya hanya akan melahirkan
manusia-manusia sombong dan amoral.
Rasanya sudah lebih sepuluh
tahun berjalan krisis moneter melanda Bangsa Indonesia, namun sampai dengan
saat ini nampaknya kehidupan Bangsa Indonesia tidak bertambah baik, bahkan
masalah yang dihadapi masyarakat semakin bertambah kompleks. Berawal dari krisis moneter lalu berkembang menjadi krisis
multidimensi yang tidak bisa dielakan lagi. Berkenaan dengan itu kehidupan
masyarakat Indonesia
pun turut berubah, baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, akhlak
maupun sosial budaya. Perubahan yang paling dominan dalam masyarakat Indonesia
adalah perubahan dibidang akhlak dan sosial budaya. Sering kita saksikan di
Televisi berita-berita yang dulu jarang kita saksikan di negeri ini, seperti
penyebaran Narkoba oleh pelajar, maraknya VCD dan gambar porno yang dilakukan
oleh kalangan pelajar, traffiking, pelecehan sexual yang dilakukan antar
pelajar bahkan dengan gurunya sendiri, tawuran antar pelajar dan lain-lain
berita yang sering kita saksikan setiap hari di Televisi. Begitupun yang
terjadi di sekitar tempat tinggal kita, gotong royong, bahasa kromo inggil, budaya ketimuran nampaknya
sudah terjadi pergeseran. Kenapa semua itu bisa terjadi pada saat reformasi
digulirkan? Apakah guru-guru kita kurang berkwalitas tingkat kependidikannya?
Atau apakah mungkin guru-guru kita sangat rendah sekali moralnya, sehingga
sangat kesulitan bagi para pelajar, guru yang mana sebenarnya yang harus
diteladani? Sering kita jumpai Sekolah
yang mempunyai peraturan sangat ketat, tetapi peraturan itu sedikitpun tidak
berdampak positif bagi siswanya. Misalnya Sekolah melarang merokok. Ternyata
ketika di luar Sekolah siswa merokok karena melihat guru panutannya itu
merokok. Atau mungkin Sekolah melarang siswanya tawuran, tetapi ternyata ketika
mereka pulang sekolah melihat tayangan TV para pejabat dan wakil rakyatnya
tawuran, maka mereka-pun ikut tawuran. Inilah pertanyaan dan hal-hal yang
selalu muncul di tengah masyarakat kita. Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
mari bertanya kepada hati nurani kita masing-masing. Sebab yang paling tahu
jawabannya adalah hati nurani. Setiap kali kasih
dan sayang dinodai, kejujuran dilecehkan, tanggung jawab diabaikan, disiplin dipermainkan, kerjasama diacuhkan, keadilan tidak ditegakkan, kepedulian tidak dihiraukan, kedamaian tidak dijunjung tinggi dan kesucian dikotori, maka pasti setiap
hati nurani manusia tidak akan menerima atas perlakuan tersebut. Karena
sifat-sifat tersebut merupakan suara hati manusia yang paling dalam (fitrah),
yang dalam istilah Ary Ginanjar Agustian
disebut God Spot. Sifat-sifat baik
itulah yang kini nampaknya mengalami krisis di kalangan para penyelenggara
pendidikan di negeri ini.
Pada tulisan sederhana ini Penulis berusaha menawarkan
kepada para penyelenggara pendidikan suatu konsep pendidikan akhlak (sebut saja
moral) yang sudah teruji keberhasilannya, agar diterapkan di Sekolah-sekolah
baik negeri maupun swasta.
Diantara konsep pendidikan
akhlak (moral) yang ada, hanya konsep pendidikan akhlak pesantrena yang ditulis
oleh al-Zarnujiy yang masih tetap eksis keberadaannya di Indonesia ini
khususnya di Jawa. Konsep pendidikan al-Zarnujiy yang
dimuat dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim”
diajarkan di Pesantren Salafiyah sejak ratusan tahun yang lalu. Dan ternyata
out put dari konsep pendidikan ini sukses. Para santri yang mempelajari kitab
ini bukan hanya menjadi santri yang berakhlakul karimah terhadap gurunya, orang
tuanya, keluarganya, juga teman-temannya dalam pergaulan, tetapi juga menjadi
santri yang taqwa kepada Allah, berguna bagi keluarganya, nusa, bangsa dan
agamanya. Sehingga tidak jarang para alumni Pesantren Salafiyah yang dulunya
mempelajari konsep pendidikan al-Zarnujiy ini, ilmunya benar-benar bermanfaat
untuk dirinya dan masyarakat sekitarnya, kapan dan dimanapun mereka hidup.
Oleh karena itu atas keberhasilan konsep ini, sampai
saat ini diberbagai Pesantren Salafiyah, kitab “Ta’lim al-Muta’allim” menjadi
kitab wajib yang harus dipelajari oleh santri baru. Karena dengan doktrin-doktrin yang ada dalam kitab
ini, seorang santri menjadi disiplin, taat peraturan, bisa bergaul dan akan
istiqomah dalam beribadah kepada Allah SWT. Namun jangan lupa bahwa seluruh
doktrin yang ada dalam kitab ini sesungguhnya merupakan konsep. Sebuah konsep
biasanya dibuat karena berdasarkan fenomena yang terjadi saat itu. Konsep masa
lalu ada kalanya cocok dipakai sekarang dan ada kalanya tidak cocok dipakai
sekarang. Maka pantas kalau dulu KH.DR.Sayid Aqil Sjiraj, MA (kang Said) pernah
berpendapat bahwa siapapun tidak boleh mengkultuskan kitab Ta’lim
al-Muta’allim.
Kalau kita melihat pada
realitas pendidikan di sekitar kita dewasa ini, apalagi pendidikan akhlak (moral),
sangatlah mengenaskan, kering dari konsep morality ilahy. Sedangkan bidang
materialistis yang diharapkan berhasil dari lulusannya, ternyata hanya sukses
dari segi materi. Sehingga tidak heran kalau di Indonesia ini mengalami krisis
yang sangat menyakitkan ini. Hal ini tidak lain hanya kerena terjadi krisis moral
pada setiap individu kita. Baik dari lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis
umum atau yang berbasis keagamaan.
Kita tidak kesulitan menemukan
lulusan lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan (seperti pesantren atau
sekolah-sekolah yang nota-bene di bawah naungan Depag: UIN, IAIN, atau STAIN)
secara etika sangat memalukan, karena tidak sedikit orang yang bertitel tokoh
agama atau profesor dan doktor dalam bidang keagamaan, bahkan orang yang hidup
di lingkungan pendidikan agama dan keagamaan, tidak punya rasa malu melakukan
korupsi. Begitu juga tidak repot kita dapatkan lulusan lembaga pendidikan yang
berbasis umum (seperti UI, UGM atau yang lain) dengan profesi sebagai dokter,
insinyur, bangkir, bisnisman, atau lainnya yang tidak kalah memalukan, tapi
kerap kali ulah mereka jarang dideteksi karena mereka sudah tidak asing dengan
permainan angka.
Hal ini semua karena
terjadinya krisis akhlak (dekadensi moral), karena krisis akhlak adalah asal
terjadinya segala krisis di Indonesia kita ini. Maka Penulis meyakini, konsep
pendidikan yang berdasarkan akhlak-lah yang bisa menjadi solusi utama untuk
bisa mengikis habis segala krisis tersebut. Dan konsep pendidikan akhlak al-Zarnujiy
ini patut dijadikan alternatif untuk hal tersebut. Karena konsep al-Zarnujiy
sangatlah komprehensif, tidak mengedepankan akhlak yang vertikal (Illahiyah)
atau horizontal (Insaniyah dan Khalqiyah) saja, melainkan memposisikan keduanya
dalam posisi yang sebanding. Karena, kalau krisis yang multi ini hanya
diselesaikan dengan usaha yang vertikaly (Illahiyah),
hanya dengan istighatsah, dzikir, majlis ta’lim, atau renungan-renungan kalbu
saja, hal itu hanya akan membuat impoten dan mandul saja. Begitu pula, kalau hanya
diselesaikan secara horizontaly (insaniy
dan khalqiy) maka yang didapat hanyalah kering dan kosong). Sedangkan solusi
yang paling tepat adalah penggabungan dua arah tersebut, sehingga terjadi
keseimbangan (balance). Dan akhirnya
kita hanya bisa berdo’a Allah SWT sebagai Dzat yang paling berotoritas atas
segalanya yang ada, dimanapun, dan kapanpun, : Allahumma ahsin khuluqiy kama ahsanta khalqiy”.
Demikian mudah-mudahan konsep
ini bisa dijadikan alternatif untuk diterapkan bukan hanya di Pesantren atau
Sekolah-sekolah yang berbasis agama tetapi juga di Sekolah-sekolah yang
berbasis umum. Semoga krisis ini segera berakhir. Amiin
Mursana, M.Ag.: Ketua Pokjaluh
Kandepag Kab. Cirebon ,
Alumni Pesantren Darussalam Ciamis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar