Cari Blog Ini

Rabu, 04 Januari 2017

MAMAHAMI KEARIFAN LOKAL :
Upaya Melestarikan Dakwah Wali Songa
Oleh : Mursana, M.Ag

Disamping sebagai Kota Wali, Cirebon dikenal juga sebagai Kota Budaya. Disebut Kota Wali karena Cirebon tidak bisa dilepaskan dari seorang figur seorang waliyullah Syaikh Syarif Hidatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung jati. Beliau orang yang paling berjasa dalam mengislamkan babad tanah Cirebon dan Pasundan. Adapun disebut Kota Budaya, karena Cirebon kaya akan budaya: dari budaya harian sampai budaya tahunan yang diwujudkan dalam bentuk ritual atau slametan tertentu, semuanya ada di Cirebon.
Tidak dipungkiri bahwa keberhasilan dakwah walisongo di Tanah Jawa salah satunya adalah karena para wali memahami dan melestarikan budaya lokal (kearifan lokal). Mereka berprinsip dalam berdakwah ”herang cai-na, beunang lauk-na”. Bagaimana pesan-pesan dakwah bisa diterima umat, tanpa merubah tradisi yang ada. Berikut ini akan diuraikan beberapa tradisi yang biasa dilakukan oleh umat Islam di Cirebon, berdasarkan wawancara dengan para tokoh masyarakat.
Pertama, upacara ngupati. Upacara ngupati dilakukan pada waktu usia kehamilan seorang ibu memasuki bulan keempat. Karena berdasarkan hadits Nabi Saw. bahwa ketika usia kehamilan tersebut si janin sudah menjadi wujud manusia dan disumpah untuk melaksanakan empat perkara ketika hidup di dunia fana.  Berdasarkan hadits ini maka keluarga orang yang sedang hamil mengadakan do’a bersama atau slametan agar kelak bayi yang dikandungnya, setelah melahirkan nanti menjadi anak sholih, bahagia di dunia dan akhirat. Setelah selesai acara slametan, kemudian ramai-ramai jama’ah yang hadir menyantap hidangan yang terbuat dari Kupat dengan bebeceknya. Oleh karenanya upacara ini disebut upacara ngupati.
Kedua, upacara memithu. Upacara memithu dilaksanakan apabila usia kehamilan seseorang berusia tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa, akan tetapi semenjak benih tertanam dalam rahim sang ibu. Selama hamil sang ibu harus sering melakukan hal-hal yang baik dan harus selalu berusaha menghindari hal-hal yang buruk, lebih-lebih yang bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam upacara memitu jama’ah yang diundang membaca ayat suci alQur’an Surat Lukman dan Surat Maryam, setelah itu berdoa bersama mengharapkan keselamatan.
Ketiga, upacara puputan. Upacara puputan diselenggarakan ketika pusar bayi telah puput, artinya sudah kering dan terlepas (normal). Biasanya pada hari ketujuh dari hari kelahiran. Berdasarkan hadits nabi Saw. Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (H.R. Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan). Dalam upacara ini seorang anak yang baru diaqiqahi, diberi nama, dan dicukur rambutnya dibacakan ayat suci alQur’an dan dido’akan oleh jama’ah yang hadir agar menjadi anak yang sholeh, berguna bagi agama, kedua orang tua, nusa, dan bangsanya.
Keempat, upacara mudun lemah. Upacara mudun lemah atau turun tanah dilakukan ketika seorang anak sudah berumur tujuh lapan yaitu 7 x 35 hari. Hal ini dilakukan untuk memperkenalkan anak pertama kali pada bumi/tanah, agar anak tersebut setelah dewasa nanti menjadi anak yang kuat, mandiri dalam menempuh kehidupan yang penuh tantangan, dan harus dihadapinya untuk mencapai apa yang dicita-citakannya. Upacara ini juga dimaksudkan agar seorang anak mengenal asal-usulnya dari tanah. Do’a dan lantunan ayat suci alQur’an dari jama’ah yang hadir senantiasa meramaikan acara ini.
Kelima, upacara munjuk suwunan. Upacara munjuk suwunan adalah sebuah upacara slametan ketika kayu pokok atap rumah akan diangkat ke atas. Dalam upacara ini harus ada beberapa perlengkapan sebagai syarat, diantaranya adalah: kayu salam agar diberi keselamatan dan kesejahteraan, kain merah putih yang membungkus kayu pokok atap supaya penghuni rumah mempunyai jiwa patriotisme terhadap bangsa dan negara, aneka makanan untuk disedekahkan sebagai rasa syukur kepada Allah atas nikmatNya. Sebagai penutup dari upacara ini adalah do’a bersama yang dipimpin oleh seorang ‘Ulama.
Keenam, upacara sedekah laut (nadran) atau sedekah bumi. Upacara sedekah laut (nadran) atau sedekah bumi biasanya dilaksanakan pada akhir tahun menyambut tahun baru. Upacara ini dimaksudkan untuk keselamatan dan tanda terima kasih (syukur) kepada Allah Sang Pencipta alam semesta yang telah menganugerahi limpahan rizki yang amat banyak baik berasal dari laut seperti ikan atau dari hasil bumi seperti padi, sayuran, buah-buahan dan hewan ternak.
Ketujuh, upacara sedekah makam. Upacara sedekah makam diselenggarakan ketika menyambut datangnya bulan ramadhan. Hal ini dimaksudkan untuk mendo’akan arwah para leluhur agar diampuni segala dosanya dan diberi keselamatan oleh Allah Swt. Dalam upacara tersebut setiap keluarga yang leluhurnya dimakamkan ditempat itu harus membawa makanan untuk disedekahkan kepada kaum dhu’afa’.
Kedepalan, upacara syawalan dan rajaban. Upacara syawalan dilakukan di Komplek Pemakaman Sunan Gunungjati, seminggu setelah hari ‘idul fitri, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. karena diberi kekuatan dalam menjalankan ibadah puasa ramadhan dan enam hari di bulan syawal.  Sedangkan upacara rajaban dilakukan untuk menziarahi makam Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan di Plangon Sumber setiap tanggal 27 Rajab yang dihadiri oleh para kerabat kedua Pangeran tersebut.
Kesembilan, upacara muludan. Upacara muludan diselenggarakan setiap tanggal 8-12 maulud/rabi’ul awal di Makam Sunan Gunungjati. Kegiatan yang dilakukan dalam upacara ini adalah mencuci benda-benda pusaka Kraton Kesepuan dan Kanoman yang disebut dengan panjang jimat. Dalam prosesi upacara tersebut diiringi dengan do’a, dzikir, dan  tahlil.
Kesepuluh, upacara ngunjung buyut. Upacara ngunjung buyut adalah upacara menziarahi kuburan para leluhur. Upacara ini biasanya dilaksanakan setiap menjelang musim hujan. Dalam acara ini juga biasanya diadakan arak-arakan, pawai ta’aruf budaya dan kesenian setempat, serta hiburan rakyat.
Demikian beberapa tradisi yang biasa dilakukan oleh sebagian umat Islam di Cirebon. Dengan memahami beberapa tradisi tersebut, semoga menjadi bahan pertimbangan bagi para ‘Ulama dan Penyuluh Agama dalam menyampaikan materi dakwahnya. Dengan methode hikmah inilah, para wali mendakwahkan Islam, sehingga risalahnya bisa diterima masyarakat Cirebon.. semoga



Tidak ada komentar:

Posting Komentar