MAMAHAMI KEARIFAN LOKAL :
Upaya Melestarikan Dakwah Wali
Songa
Oleh : Mursana, M.Ag
Disamping sebagai Kota Wali, Cirebon dikenal juga sebagai Kota Budaya.
Disebut Kota Wali karena Cirebon tidak bisa dilepaskan dari seorang figur
seorang waliyullah Syaikh Syarif Hidatullah atau lebih dikenal dengan Sunan
Gunung jati. Beliau orang yang paling berjasa dalam mengislamkan babad tanah
Cirebon dan Pasundan. Adapun disebut Kota Budaya, karena Cirebon kaya akan
budaya: dari budaya harian sampai budaya tahunan yang diwujudkan dalam bentuk
ritual atau slametan tertentu, semuanya ada di Cirebon.
Tidak dipungkiri bahwa keberhasilan dakwah walisongo di Tanah Jawa salah
satunya adalah karena para wali memahami dan melestarikan budaya lokal
(kearifan lokal). Mereka berprinsip dalam berdakwah ”herang cai-na, beunang
lauk-na”. Bagaimana pesan-pesan dakwah bisa diterima umat, tanpa merubah
tradisi yang ada. Berikut ini akan diuraikan beberapa tradisi yang biasa dilakukan
oleh umat Islam di Cirebon, berdasarkan wawancara dengan para tokoh masyarakat.
Pertama, upacara ngupati. Upacara ngupati dilakukan pada waktu usia
kehamilan seorang ibu memasuki bulan keempat. Karena berdasarkan hadits Nabi
Saw. bahwa ketika usia kehamilan tersebut si janin sudah menjadi wujud manusia
dan disumpah untuk melaksanakan empat perkara ketika hidup di dunia fana. Berdasarkan hadits ini maka keluarga orang
yang sedang hamil mengadakan do’a bersama atau slametan agar kelak bayi yang
dikandungnya, setelah melahirkan nanti menjadi anak sholih, bahagia di dunia
dan akhirat. Setelah selesai acara slametan, kemudian ramai-ramai jama’ah yang
hadir menyantap hidangan yang terbuat dari Kupat dengan bebeceknya. Oleh
karenanya upacara ini disebut upacara ngupati.
Kedua, upacara memithu. Upacara memithu dilaksanakan apabila usia
kehamilan seseorang berusia tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali.
Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa, akan tetapi
semenjak benih tertanam dalam rahim sang ibu. Selama hamil sang ibu harus
sering melakukan hal-hal yang baik dan harus selalu berusaha menghindari
hal-hal yang buruk, lebih-lebih yang bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam
upacara memitu jama’ah yang diundang membaca ayat suci alQur’an Surat Lukman
dan Surat Maryam, setelah itu berdoa bersama mengharapkan keselamatan.
Ketiga, upacara puputan. Upacara puputan diselenggarakan ketika
pusar bayi telah puput, artinya sudah kering dan terlepas (normal). Biasanya
pada hari ketujuh dari hari kelahiran. Berdasarkan hadits nabi Saw. ” Setiap
anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke
tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (H.R. Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan).
Dalam upacara ini seorang anak yang baru diaqiqahi, diberi nama, dan dicukur
rambutnya dibacakan ayat suci alQur’an dan dido’akan oleh jama’ah yang hadir
agar menjadi anak yang sholeh, berguna bagi agama, kedua orang tua, nusa, dan
bangsanya.
Keempat, upacara mudun lemah. Upacara mudun lemah atau turun tanah
dilakukan ketika seorang anak sudah berumur tujuh lapan yaitu 7 x 35
hari. Hal ini dilakukan untuk memperkenalkan anak pertama kali pada bumi/tanah,
agar anak tersebut setelah dewasa nanti menjadi anak yang kuat, mandiri dalam
menempuh kehidupan yang penuh tantangan, dan harus dihadapinya untuk mencapai
apa yang dicita-citakannya. Upacara ini juga dimaksudkan agar seorang anak
mengenal asal-usulnya dari tanah. Do’a dan lantunan ayat suci alQur’an dari
jama’ah yang hadir senantiasa meramaikan acara ini.
Kelima, upacara munjuk suwunan. Upacara munjuk suwunan adalah sebuah
upacara slametan ketika kayu pokok atap rumah akan diangkat ke atas. Dalam
upacara ini harus ada beberapa perlengkapan sebagai syarat, diantaranya adalah:
kayu salam agar diberi keselamatan dan kesejahteraan, kain merah putih
yang membungkus kayu pokok atap supaya penghuni rumah mempunyai jiwa
patriotisme terhadap bangsa dan negara, aneka makanan untuk disedekahkan
sebagai rasa syukur kepada Allah atas nikmatNya. Sebagai penutup dari upacara
ini adalah do’a bersama yang dipimpin oleh seorang ‘Ulama.
Keenam, upacara sedekah laut (nadran) atau sedekah bumi. Upacara
sedekah laut (nadran) atau sedekah bumi biasanya dilaksanakan pada akhir tahun
menyambut tahun baru. Upacara ini dimaksudkan untuk keselamatan dan tanda
terima kasih (syukur) kepada Allah Sang Pencipta alam semesta yang telah
menganugerahi limpahan rizki yang amat banyak baik berasal dari laut seperti
ikan atau dari hasil bumi seperti padi, sayuran, buah-buahan dan hewan ternak.
Ketujuh, upacara sedekah makam. Upacara sedekah makam diselenggarakan
ketika menyambut datangnya bulan ramadhan. Hal ini dimaksudkan untuk mendo’akan
arwah para leluhur agar diampuni segala dosanya dan diberi keselamatan oleh
Allah Swt. Dalam upacara tersebut setiap keluarga yang leluhurnya dimakamkan
ditempat itu harus membawa makanan untuk disedekahkan kepada kaum dhu’afa’.
Kedepalan, upacara syawalan dan rajaban. Upacara syawalan
dilakukan di Komplek Pemakaman Sunan Gunungjati, seminggu setelah hari ‘idul
fitri, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. karena diberi kekuatan
dalam menjalankan ibadah puasa ramadhan dan enam hari di bulan syawal. Sedangkan upacara rajaban dilakukan untuk
menziarahi makam Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan di Plangon Sumber
setiap tanggal 27 Rajab yang dihadiri oleh para kerabat kedua Pangeran
tersebut.
Kesembilan, upacara muludan. Upacara muludan diselenggarakan setiap
tanggal 8-12 maulud/rabi’ul awal di Makam Sunan Gunungjati. Kegiatan yang
dilakukan dalam upacara ini adalah mencuci benda-benda pusaka Kraton Kesepuan
dan Kanoman yang disebut dengan panjang jimat. Dalam prosesi upacara tersebut
diiringi dengan do’a, dzikir, dan
tahlil.
Kesepuluh, upacara ngunjung buyut. Upacara ngunjung buyut adalah
upacara menziarahi kuburan para leluhur. Upacara ini biasanya dilaksanakan setiap
menjelang musim hujan. Dalam acara ini juga biasanya diadakan arak-arakan,
pawai ta’aruf budaya dan kesenian setempat, serta hiburan rakyat.
Demikian beberapa tradisi yang biasa dilakukan oleh sebagian umat Islam di
Cirebon. Dengan memahami beberapa tradisi tersebut, semoga menjadi bahan
pertimbangan bagi para ‘Ulama dan Penyuluh Agama dalam menyampaikan materi
dakwahnya. Dengan methode hikmah inilah, para wali mendakwahkan Islam, sehingga
risalahnya bisa diterima masyarakat Cirebon.. semoga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar