BANGKITLAH DARI CENGKERAMAN
KEJUMUDAN
(
Sebuah Renungan Tahun Baru 1430 Hijriyah )
Oleh
: Mursana, M.Ag.
(Penyuluh
Agama Fungsional Kab.
Cirebon, Alumni Pesantren Darussalam Ciamis)
Pada tanggal 21-24 November 2007 yang lalu telah terjadi
perhelatan Annual Confrence on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII yang
dilaksanakan di Pekanbaru. Konfrensi tahunan ini dimaksudkan untuk menggali
sejauh mana kontribusi ilmu-ilmu keislaman dalam menyelesaikan masalah-masalah
kemanusiaan pada millenium ketiga. Karena sampai dengan saat ini umat Islam
sangat jauh ketinggalan dibanding umat lainnya dalam menyelesaikan berbagai
masalah keumatan. Itu semua terjadi karena umat Islam masih banyak yang tidak
mengerti pesan-pesan yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an. Di samping
itu, umat Islam masih banyak yang ketakutan memahami Islam secara kontekstual. Juga karena umat Islam masih banyak yang
larut dan terbuai dengan kejayaan masa lalu.
Penulis teringat dalam diskusi
rutin, perkuliahan Pasca Sarjana, salah seorang mahasiswa bertanya kepada dosen
yang menjelaskan tentang kehebatan Al-Qur’an dibanding dengan kitab lainnya. Pertanyaannya
adalah “Jika Al-Qur’an itu hebat, kenapa mayoritas umat Islam yang berpedoman
kepadanya berada dalam keterbelakangan? Selalu kalah dalam segala bidang. Kalau
begitu di mana letak kemu’jizatan Al-Qur’an tersebut? Sering kali jawaban
tradisional yang selalu dijadikan hujjah oleh kebanyakan kita adalah bahwa
Islam dengan ummat Islam hendaknya dibedakan. Bila ummat Islam kini masih
terbelakang itu harus diakui. Kenyataannya memang demikian. Kemunduran ummat
Islam bukan berarti kesalahan Islam. Bisa jadi hal itu merupakan kesalahan
ummatnya dalam memahami pesan-pesan Islam.
Jawaban ini benar walaupun
terkesan pembelaan diri. Andai saja jawaban ini bukan pembelaan diri semestinya
sudah sejak lama ada gerakan untuk kebangkitan ummat Islam. Semestinya sudah
ada upaya-upaya dari pimpinan ummat, utamanya para pemikirnya untuk merumuskan
faktor-faktor penghambat kemajuan ummat Islam.
Tidak ada keraguan sedikitpun
bahwa Al-Qur’an mengajak ummatnya untuk maju. Salah satu ayat yang sering
diulang-ulang para khatib dan mubaligh adalah:
“Dan hendaklah kalian memperhatikan masa lalu untuk
masa depan, dan bertaqwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hasyr:18)
Al-Qur’an mengajak ummatnya untuk berwawasan jauh ke
depan. Al-Qur’an mendorong ummatnya untuk maju, memimpin dunia dengan
nilai-nilai keagungan Islam. Inilah salah satu aplikasi taqwa yang nyata.
Selama ini taqwa baru dijadikan slogan, sekedar pemanis
pidato atau ceramah. Arti taqwa sendiri belum dipahami, apalagi pada tataran
aplikasi. Padahal Allah SWT menjelaskan arti taqwa lebih ke arah aplikasinya.
Ayat di atas secara gamblang menjelaskan arti taqwa dalam dunia nyata, yaitu
berwawasan maju ke depan. Dengan
taqwa berarti kita tidak saja siap menjadi generasi sekarang, tapi generasi
masa depan. Inilah lompatan Al-Qur’an.
Sayang, rangsangan Al-Qur’an
untuk maju itu tidak ditangkap oleh ummatnya dengan baik. Justru sebaliknya
ummat Islam lebih suka menengok ke belakang, bukan untuk mengejar
ketertinggalannya, tapi untuk menghibur diri, bahwa generasi Islam terdahulu
pernah berjaya dan maju, memimpin dunia berabad-abad lamanya.
Bangga terhadap sejarah masa
lalu itu boleh bahkan harus. Tapi kebanggaan itu seharusnya bukan sekedar
pelipur lara pada saat nasib terlunta. Semestinya kebanggaan sejarah itu dapat
lebih menyemangati etos kerja untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah.
Ketika kita membaca buku sejarah, maka pikiran kita
diarahkan untuk mencari titik-titik rahasia yang menghubungkan kesuksesan dan
kegagalan generasi sebelumnya. Kenapa mereka sukses dan bagaimana cara mereka
meraihnya? Kenapa mereka gagal, dan bagaimana jalannya kegagalan itu?
Kisah sukses dan gagalnya sebuah generasi banyak
diungkap dalam Al-Qur’an. Dalam kitab suci ini tidak saja tokoh sukses yang
ditampilkan, tapi juga mereka yang gagal, hancur, bahkan yang mengalami
kebinasaan. Semuanya tentu saja untuk bahan pelajaran. Allah berfirman:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang berakal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.” (QS. Yusuf : 111).
Lihatlah penggalan kalimat
pertama ayat itu, sungguh sangat keras. Kisah-kisah Al-Qur’an disuguhkan hanya
untuk mereka yang berakal. Bagi orang yang tidak menggunakan akalnya,
kisah-kisah Al-Qur’an tidak memberi nilai apa-apa kecuali hanya sekedar dongeng
saja. Kisah-kisah sejarah baru punya makna jika dikupas secara kritis dengan
pemikiran yang objektif. Dengan begitu sejarah itu menjadi hidup, dan juga
menghidupkan hati dan pikiran yang membacanya.
Berbeda halnya jika kita
berhenti pada kekaguman atau caci maki terhadap pelaku sejarah sebelum kita.
Hasilnya kita terbelenggu dalam kotak sejarah.
Kita tidak boleh menjadikan
sejarah sebagai penjara. Kita tidak boleh terbelenggu oleh sejarah masa lampau.
Apa yang telah dihasilkan oleh generasi terdahulu adalah milik mereka. Sedang
milik kita adalah apa yang kita kerjakan sekarang.
Firman Allah: “Bagi
mereka apa yang mereka usahakan, dan bagimu apa yang kamu kerjakan.”
Imam Hanafi, Maliki, Imam
Syafi’i, dan Imam Hambali telah berjasa kepada Islam. Mereka
telah berhasil merumuskan banyak hal yang lebih memudahkan Islam untuk memahami
ajarannya. Kita pantas dan harus berterima kasih kepada mereka. Akan tetapi
satu hal yang harus diperhatikan, bahwa kebesaran nama mereka hendaknya tidak
menghalangi kita untuk melangkah jauh dalam memahami pesan-pesan agama.
Boleh saja kita merujuk kepada pendapat mereka, tetapi
jangan sampai mereka kita jadikan sebagai pagar pembatas dalam memahami agama.
Kita boleh keluar dari tradisi pemikiran mereka. Inilah yang dimaksud dengan
melepas belenggu sejarah.
Kita melihat dan menyaksikan sendiri betapa sesungguhnya
sebagian besar kita telah terpasang pada salah satu madzab pemikiran yang telah
kita lakukan sendiri. Apa otoritas kita dalam membakukan suatu madzab pemikiran
tertentu? Lebih lanjut apa gunanya kita melakukan hal itu?
Muhammad Abduh adalah pelopor pembaharuan pada zamannya.
Ia banyak melakukan koreksi terhadap pemikiran yang ada sebelumnya. Ia berhasil
mendobrak kejumudan ummatnya. Tetapi sayang, penganut Abduh sekarang telah
membakukan madzab pemikirannya, sehingga sedikit-demi sedikit mereka
tercengkeram juga dalam kejumudan. Perangkap sejarah memang bukan main
hebatnya.
Orang-orang yang dahulu membawa pengaruh pemikiran Abduh
yang sering kali disebut kaum pembaharu, tentu saja sekarang ini bukan
pembaharu lagi, sebab dunia telah berkembang. Bila pembakuan terhadap pemikiran
itu dilakukan sekarang, maka menjadi tidak peka lagi terhadap perkembangan yang
terus terjadi. Pembakuan berarti kebekuan, yang berarti kejumudan dan Stagnan.
Kita harus sepakat bahwa hanya Al-Qur’an yang standar,
sedang penafsirannya selalu berkembang. Sebagaimana keterabatasan jangkauan pikiran manusia, maka sebatas itu juga
kemampuan tafsirnya. Tafsir yang sudah diterbitkan sekian abad lampau tentu
saja tidak bisa dipaksakan untuk diterima seratus persen sekarang. Jika sebatas dijadikan referensi, boleh.
Tapi jika sampai dibakukan jangan. Tidak ada tafsir yang standar. Yang standar
hanya Al-Qur’an.
Kitab tafsir yang ditulis oleh
siapapun juga adalah hasil interprestasi penulisnya. Siapapun penulisnya ia
adalah manusia, yang jangkauan pemikirannya sangat terbatas. Ia dibatasi oleh
dirinya sendiri, juga oleh lingkungan. Lebih jauh lagi ia dilingkupi oleh
zaman.
Kondisi sekarang juga sudah
berbeda dengan keadaan Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Kita
yakin bahwa beliau-beliau sebagai mujtahid, belum pernah dan memang tidak
pernah berangan-angan tentang zaman sekarang. Ketika mereka merumuskan suatu
persoalan, maka kondisi saat itulah yang paling besar memberikan pengaruhnya
dan andil dalam perumusan suatu persoalan. Mereka tidak berfikir dan tidak memprediksikan zaman
akan berubah secepat sekarang.
Kita perhatikan Imam Syafi’i
ternyata ia sendiri punya dua pendapat (qaul), yaitu Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
atau pendapat lama dan pendapat baru. Jika pada suatu jaman saja sudah ada dua
qaul, bagaimana dengan bentangan zaman yang sekian panjang?
Kita telah mewarisi hasil
pemikirannya, tetapi terus terang saja tidak boleh mewarisi tradisi fikirnya.
Yang kita ambil sekedar hasil matangnya, sementara semangatnya kita tinggalkan.
Kondisi ini sangat tidak sehat, apalagi dalam menghadapi perubahan dunia yang
semakin cepat.
Demikian tulisan yang sangat
sederhana ini semoga bisa menggugah pikiran kita untuk segera bangkit dari
cengkeraman kejumudan, sehingga bisa menerjemahkan pesan-pesan Islam sesuai
dengan keadaan zaman. Innal Islama sholihun likulliz zaman wal makan wal ‘awa-id. Semoga.
DAFTAR BACAAN
M. Akroun, Membedah
Pemikiran Islam, Pustaka, Bandung, 2000
Fazlur rahman, Islam,
Pustaka, Bandung, 2000
Harun Nasution, Perkembangan Modern dalam Islam. Yayasan
Obor Indonesia , Jakarta , 1985.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar