Cari Blog Ini

Rabu, 04 Januari 2017

BANGKITLAH DARI CENGKERAMAN KEJUMUDAN

BANGKITLAH DARI CENGKERAMAN KEJUMUDAN
( Sebuah Renungan Tahun Baru 1430 Hijriyah )
Oleh : Mursana, M.Ag.
(Penyuluh Agama Fungsional Kab. Cirebon, Alumni Pesantren Darussalam Ciamis)

Pada tanggal 21-24 November 2007 yang lalu telah terjadi perhelatan Annual Confrence on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII yang dilaksanakan di Pekanbaru. Konfrensi tahunan ini dimaksudkan untuk menggali sejauh mana kontribusi ilmu-ilmu keislaman dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan pada millenium ketiga. Karena sampai dengan saat ini umat Islam sangat jauh ketinggalan dibanding umat lainnya dalam menyelesaikan berbagai masalah keumatan. Itu semua terjadi karena umat Islam masih banyak yang tidak mengerti pesan-pesan yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an. Di samping itu, umat Islam masih banyak yang ketakutan memahami Islam secara kontekstual. Juga karena umat Islam masih banyak yang larut dan terbuai dengan kejayaan masa lalu.
Penulis teringat dalam diskusi rutin, perkuliahan Pasca Sarjana, salah seorang mahasiswa bertanya kepada dosen yang menjelaskan tentang kehebatan Al-Qur’an dibanding dengan kitab lainnya. Pertanyaannya adalah “Jika Al-Qur’an itu hebat, kenapa mayoritas umat Islam yang berpedoman kepadanya berada dalam keterbelakangan? Selalu kalah dalam segala bidang. Kalau begitu di mana letak kemu’jizatan Al-Qur’an tersebut? Sering kali jawaban tradisional yang selalu dijadikan hujjah oleh kebanyakan kita adalah bahwa Islam dengan ummat Islam hendaknya dibedakan. Bila ummat Islam kini masih terbelakang itu harus diakui. Kenyataannya memang demikian. Kemunduran ummat Islam bukan berarti kesalahan Islam. Bisa jadi hal itu merupakan kesalahan ummatnya dalam memahami pesan-pesan Islam.
Jawaban ini benar walaupun terkesan pembelaan diri. Andai saja jawaban ini bukan pembelaan diri semestinya sudah sejak lama ada gerakan untuk kebangkitan ummat Islam. Semestinya sudah ada upaya-upaya dari pimpinan ummat, utamanya para pemikirnya untuk merumuskan faktor-faktor penghambat kemajuan ummat Islam.
Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa Al-Qur’an mengajak ummatnya untuk maju. Salah satu ayat yang sering diulang-ulang para khatib dan mubaligh adalah:
“Dan hendaklah kalian memperhatikan masa lalu untuk masa depan, dan bertaqwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hasyr:18)

Al-Qur’an mengajak ummatnya untuk berwawasan jauh ke depan. Al-Qur’an mendorong ummatnya untuk maju, memimpin dunia dengan nilai-nilai keagungan Islam. Inilah salah satu aplikasi taqwa yang nyata.
Selama ini taqwa baru dijadikan slogan, sekedar pemanis pidato atau ceramah. Arti taqwa sendiri belum dipahami, apalagi pada tataran aplikasi. Padahal Allah SWT menjelaskan arti taqwa lebih ke arah aplikasinya. Ayat di atas secara gamblang menjelaskan arti taqwa dalam dunia nyata, yaitu berwawasan maju ke depan. Dengan taqwa berarti kita tidak saja siap menjadi generasi sekarang, tapi generasi masa depan. Inilah lompatan Al-Qur’an.
Sayang, rangsangan Al-Qur’an untuk maju itu tidak ditangkap oleh ummatnya dengan baik. Justru sebaliknya ummat Islam lebih suka menengok ke belakang, bukan untuk mengejar ketertinggalannya, tapi untuk menghibur diri, bahwa generasi Islam terdahulu pernah berjaya dan maju, memimpin dunia berabad-abad lamanya.
Bangga terhadap sejarah masa lalu itu boleh bahkan harus. Tapi kebanggaan itu seharusnya bukan sekedar pelipur lara pada saat nasib terlunta. Semestinya kebanggaan sejarah itu dapat lebih menyemangati etos kerja untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah.
Ketika kita membaca buku sejarah, maka pikiran kita diarahkan untuk mencari titik-titik rahasia yang menghubungkan kesuksesan dan kegagalan generasi sebelumnya. Kenapa mereka sukses dan bagaimana cara mereka meraihnya? Kenapa mereka gagal, dan bagaimana jalannya kegagalan itu?
Kisah sukses dan gagalnya sebuah generasi banyak diungkap dalam Al-Qur’an. Dalam kitab suci ini tidak saja tokoh sukses yang ditampilkan, tapi juga mereka yang gagal, hancur, bahkan yang mengalami kebinasaan. Semuanya tentu saja untuk bahan pelajaran. Allah berfirman:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf : 111).

Lihatlah penggalan kalimat pertama ayat itu, sungguh sangat keras. Kisah-kisah Al-Qur’an disuguhkan hanya untuk mereka yang berakal. Bagi orang yang tidak menggunakan akalnya, kisah-kisah Al-Qur’an tidak memberi nilai apa-apa kecuali hanya sekedar dongeng saja. Kisah-kisah sejarah baru punya makna jika dikupas secara kritis dengan pemikiran yang objektif. Dengan begitu sejarah itu menjadi hidup, dan juga menghidupkan hati dan pikiran yang membacanya.
Berbeda halnya jika kita berhenti pada kekaguman atau caci maki terhadap pelaku sejarah sebelum kita. Hasilnya kita terbelenggu dalam kotak sejarah.
Kita tidak boleh menjadikan sejarah sebagai penjara. Kita tidak boleh terbelenggu oleh sejarah masa lampau. Apa yang telah dihasilkan oleh generasi terdahulu adalah milik mereka. Sedang milik kita adalah apa yang kita kerjakan sekarang.
Firman Allah: “Bagi mereka apa yang mereka usahakan, dan bagimu apa yang kamu kerjakan.”

Imam Hanafi, Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali telah berjasa kepada Islam. Mereka telah berhasil merumuskan banyak hal yang lebih memudahkan Islam untuk memahami ajarannya. Kita pantas dan harus berterima kasih kepada mereka. Akan tetapi satu hal yang harus diperhatikan, bahwa kebesaran nama mereka hendaknya tidak menghalangi kita untuk melangkah jauh dalam memahami pesan-pesan agama.
Boleh saja kita merujuk kepada pendapat mereka, tetapi jangan sampai mereka kita jadikan sebagai pagar pembatas dalam memahami agama. Kita boleh keluar dari tradisi pemikiran mereka. Inilah yang dimaksud dengan melepas belenggu sejarah.
Kita melihat dan menyaksikan sendiri betapa sesungguhnya sebagian besar kita telah terpasang pada salah satu madzab pemikiran yang telah kita lakukan sendiri. Apa otoritas kita dalam membakukan suatu madzab pemikiran tertentu? Lebih lanjut apa gunanya kita melakukan hal itu?
Muhammad Abduh adalah pelopor pembaharuan pada zamannya. Ia banyak melakukan koreksi terhadap pemikiran yang ada sebelumnya. Ia berhasil mendobrak kejumudan ummatnya. Tetapi sayang, penganut Abduh sekarang telah membakukan madzab pemikirannya, sehingga sedikit-demi sedikit mereka tercengkeram juga dalam kejumudan. Perangkap sejarah memang bukan main hebatnya.
Orang-orang yang dahulu membawa pengaruh pemikiran Abduh yang sering kali disebut kaum pembaharu, tentu saja sekarang ini bukan pembaharu lagi, sebab dunia telah berkembang. Bila pembakuan terhadap pemikiran itu dilakukan sekarang, maka menjadi tidak peka lagi terhadap perkembangan yang terus terjadi. Pembakuan berarti kebekuan, yang berarti kejumudan dan Stagnan.
Kita harus sepakat bahwa hanya Al-Qur’an yang standar, sedang penafsirannya selalu berkembang. Sebagaimana keterabatasan jangkauan pikiran manusia, maka sebatas itu juga kemampuan tafsirnya. Tafsir yang sudah diterbitkan sekian abad lampau tentu saja tidak bisa dipaksakan untuk diterima seratus persen sekarang. Jika sebatas dijadikan referensi, boleh. Tapi jika sampai dibakukan jangan. Tidak ada tafsir yang standar. Yang standar hanya Al-Qur’an.
Kitab tafsir yang ditulis oleh siapapun juga adalah hasil interprestasi penulisnya. Siapapun penulisnya ia adalah manusia, yang jangkauan pemikirannya sangat terbatas. Ia dibatasi oleh dirinya sendiri, juga oleh lingkungan. Lebih jauh lagi ia dilingkupi oleh zaman.
Kondisi sekarang juga sudah berbeda dengan keadaan Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Kita yakin bahwa beliau-beliau sebagai mujtahid, belum pernah dan memang tidak pernah berangan-angan tentang zaman sekarang. Ketika mereka merumuskan suatu persoalan, maka kondisi saat itulah yang paling besar memberikan pengaruhnya dan andil dalam perumusan suatu persoalan. Mereka  tidak berfikir dan tidak memprediksikan zaman akan berubah secepat sekarang.
Kita perhatikan Imam Syafi’i ternyata ia sendiri punya dua pendapat (qaul), yaitu Qaul Qadim dan Qaul Jadid, atau pendapat lama dan pendapat baru. Jika pada suatu jaman saja sudah ada dua qaul, bagaimana dengan bentangan zaman yang sekian panjang?
Kita telah mewarisi hasil pemikirannya, tetapi terus terang saja tidak boleh mewarisi tradisi fikirnya. Yang kita ambil sekedar hasil matangnya, sementara semangatnya kita tinggalkan. Kondisi ini sangat tidak sehat, apalagi dalam menghadapi perubahan dunia yang semakin cepat.
Demikian tulisan yang sangat sederhana ini semoga bisa menggugah pikiran kita untuk segera bangkit dari cengkeraman kejumudan, sehingga bisa menerjemahkan pesan-pesan Islam sesuai dengan keadaan zaman. Innal Islama sholihun likulliz zaman wal makan wal ‘awa-id. Semoga.


DAFTAR BACAAN
M. Akroun, Membedah Pemikiran Islam, Pustaka, Bandung, 2000
Fazlur rahman, Islam, Pustaka, Bandung, 2000
Harun Nasution, Perkembangan Modern dalam Islam. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar