SOSOK GURU SEBAGAI WARATSATUL ANBIYA’
Oleh : Mursana, M.Ag *
Peranan seorang guru di dunia ini tidak dapat disangkal
lagi keberadaannya. Ia adalah sosok manusia yang luar biasa jasanya dalam
mencerdaskan suatu bangsa. Setiap hari tanpa mengenal lelah Ia mengajar,
mendidik dan membimbing anak didiknya demi satu tujuan yaitu melepaskan bangsa
dari kebodohan, menuju bangsa yang bermartabat dan berperadaban tinggi. Namun
selama dekade sepuluh tahun terakhir ini, nampaknya peran guru khususnya di
negeri ini telah mengalami erosi yang sangat tinggi. Lihat saja sekarang,
banyak siswa atau peserta didik yang sudah kehilangan jatidirinya sebagai
seorang siswa. Lagi-lagi ada berita sekelompok pelajar/mahasiswa tawuran dengan
mahasiswa perguruan yang lain, seorang pelajar terlibat penyalahgunaan Narkoba,
seorang pelajar menjambret, memperkosa, atau bahkan lebih ngeri lagi seorang pelajar melawan gurunya dan orang tuanya
sendiri.
Beberapa kasus di atas menggambarkan tentang kegagalan
seorang guru dalam mendidik para muridnya. Kenapa? Ada apa dengan guru? Itulah pertanyaan yang
sering muncul dalam benak pemikiran penulis. Akhirnya penulis mencoba untuk
mencari tahu beberapa jawaban alternatif terhadap pertanyaan tadi, diantaranya
adalah: karena banyak guru akhir-akhir ini yang tidak mengenal jatidirinya,
bahwa ia adalah seorang guru yang seharusnya digugu dan ditiru bukan
sebaliknya; kesejahteraan (gaji) seorang guru tidak sebanding dengan
profesinya; dan kwalitas SDM guru tidak segagah namanya.
Dalam tulisan sederhana ini penulis mencoba menguraikan
sosok guru ideal sebagai pewaris para Nabi, Waratsatul
Anbiya. Sebagaimana seorang Nabi dan Rosul, seorang guru juga mempunyai
tugas membawa risalah dari Allah SWT. Dalam membawa risalah ini tentu saja
tidak pernah lepas dari godaan, hambatan dan tantangan. Misalnya seorang guru
sering diejek dan menjadi bahan tertawaan orang lain, karena gaji seorang guru
satu bulan hanya cukup untuk beli sabun mandi, sehingga banyak guru setelah
mengajar di sekolah menjad tukang ojek, penggembala, pedagang, bahkan ada yang
lebih ngeri lagi (mohon maaf) menjadi
penjudi; terlibat langsung ngadu ayam
dan main kartu. Semua itu terjadi
karena gaji seorang guru tidak mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga terkadang
dengan alasan keluarga seringkali melakukan usaha apa pun tanpa memperdulikan
apakah usaha itu halal atau haram?
Ketulusan dan keikhlasan guru dalam menjalankan misi
sosial dengan misi kemanusiaannya sangat penting. Oleh karena itu guru pun
harus diberikan reward (gaji)
sepantasnya. Nasib guru kita di daerah-daerah terpencil luput perhatian
pemerintah yang menerima gaji sesuai keikhlasan orang tua santri, terkadang
digaji dengan hasil bumi setempat. Mereka menjalankan misinya karena panggilan hati nurani. Guru adalah seorang
pencerah zaman. Untuk itu, guru harus memiliki kepribadian utuh dan tangguh
untuk menghadapi berbagai tantangan zaman. Di bawah ini akan diuraikan beberapa
watak kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang guru sebagai pewaris tugas
para Nabi (Waratsatul Anbiya).
Pertama; Seorang guru harus menjadi Uswatun
Hasanah (teladan yang baik). Rasulullah adalah panutan terbaik bagi
umatnya, pada diri beliau senantiasa dikemukakan teladan yang baik serta
kepribadian mulia. Pribadi seperti yang diteladankan Rasulullah Saw. itulah seyogyanya
adalah manusia pilihan yang dimuliakan Allah SWT. Menurut Hadari Nawawi (1993)
bahwa dalam proses pendidikan berarti setiap pendidik harus berusaha menjadi
teladan yang baik bagi peserta didiknya. Teladan dalam semua kebaikan, bukan
sebaliknya. Dengan keteladanan itu dimaksudkan peserta didiknya senantiasa akan
mencontoh segala sesuatu yang baik dalam perkataan maupun perbuatan. Sesuai
dengan namanya Guru itu harus bisa digugu dan ditiru oleh peserta didiknya.
Seorang guru harus melaksanakan shalat lebih dulu sebelum menyuruh peserta
didiknya untuk shalat. Seorang guru harus sudah tidak merokok lebih dulu
sebelum menyuruh peserta didiknya untuk berhenti, tidak merokok, dan lain-lain.
Kedua; Seorang guru harus mempunyai sifat Shidiq (benar dan jujur). Dalam arti ia harus sadar dan jujur
terhadap profesinya bahwa ia adalah seorang pendidik, pembimbing, dan pengajar.
Seorang guru professional dituntut agar mampu mengangkat nilai-nilai kejujuran,
dimulai dari kejujuran disiplin dalam waktu mengajar; persiapan, pelaksanaan,
dan evaluasi belajar. Sampai ia berada di rumahnya yang berdampingan dengan
masyarakat sekitar, sangat dituntut sekali kejujurannya bahwa ia seorang guru
yang membawa misi Rahmatan lil ‘alamin.
Yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum
Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akherat. Kemudian misi ini
dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa Tauhid, Kreatif,
beramal sholeh, dan berakhlak mulia. Termasuk dalam sifat ini, seorang guru
dalam menyampaikan ilmu kepada peserta didik harus sesuai dengan skillnya. Guru
yang mengajar matematika, harus dari Sarjana Matematik dan guru yang mengajar
Biologi, harus dari Sarjana Biologi, bukan dari yang lainnya.
Ketiga; Seorang guru bisa menjaga Amanah
(kepercayaan). Amanah tersebut berasal dari pemerintah (melalui SK mengajar)
bagi PNS, Yayasan, masyarakat, dan orang tua siswa. Amanah adalah suatu titipan
kepercayaan yang harus betul-betul dijaga dan diemban sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi yang dibebankan kepadanya dan tidak boleh disalahgunakan wewenang
tersebut (khianat). Seorang guru yang menyia-nyiakan Amanah berarti guru itu
munafik. Sebagaimana di dalam hadits Nabi Saw, “bahwa tanda-tanda orang munafik
itu ada tiga: apabila berbicara; bohong, apabila dipercaya; khianat, dan
apabila berjanji; ingkar.”
Keempat; Seorang guru dituntut bisa Tabligh,
yaitu bisa menyampaikan ilmu-ilmunya secara proporsional dan professional
kepada peserta didiknya, tidak boleh ada niat sedikitpun bagi seorang guru
menyembunyikan ilmunya (kitman). Misalnya yang terjadi sekarang adalah seorang
guru ketika mengajarkan ilmunya di kelas (jam wajib) terlihat seperti asal-asalan. Tetapi giliran ia mengajar
di luar kelas, contohnya dalam kursus-kursus, les, atau bimbingan belajar mata
pelajaran tertentu, ia begitu serius dan bersungguh-sungguh. Karena bayaran
mengajar di luar sekolah lebih besar dibanding di dalam sekolah ia mengajar,
padahal jam wajib mengajarnya adalah di sekolah.
Kelima; Seorang guru dituntut untuk memiliki Fathonah (kecerdasan). Yakni kecerdasan dalam memahami mata
pelajaran yang akan ia sampaikan dan kecerdasan membaca tanda-tanda zaman.
Kecerdasan yang dimiliki oleh seorang guru bukan hanya kecerdasan intelektual
saja (IQ), tetapi juga kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual
(SQ). Untuk mencapai ketiga kecerdasan tersebut ia harus banyak berlatih
belajar. Apabila ketiga kecerdasan tersebut sudah dimiliki oleh seorang guru,
maka ia bukan hanya dicintai oleh peserta didiknya, tetapi juga disenangi dan
dicintai oleh masyarakat sekitarnya, juga lebih tinggi lagi dicintai oleh Allah
SWT, Tuhan Yang Maha Tinggi.
Keenam; Hendaknya seorang guru menjauhi mata pencaharian yang hina dalam
pandangan syara’, dan menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak
melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan harga dirinya di mata orang banyak.
Sementara menurut al-Ghozali, seperti yang disitir oleh
Fathiyah Hasan (1986); terdapat beberapa sifat penting yang harus dimiliki oleh
seorang guru sebagai Waratsatul Anbiya’,
yaitu : (1) amanah dan tekun bekerja, (2) bersifat lemah lembut dan kasih
sayang terhadap murid, (3) dapat memahami dan berlapang dada dalam ilmu serta
orang-orang yang mengajarkannya, (4) tidak rakus pada materi, (5)
berpengetahuan luas, serta (6) istiqomah dan memegang teguh prinsip.
Demikian beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang
guru sebagai Waratsatul Anbiya’. Apabila
sifat-sifat tersebut ada pada setiap guru, maka ia akan menjadi guru yang
ideal; bisa membaca zaman, sanggup menghadapi hambatan dan tantangan,
professional, berwibawa dan disegani oleh kawan dan lawan, karena ia menjadikan
akhlakul karimah sebagai senjata dan
perisai bagi dirinya. “Sesungguhnya iman seorang mu’min yang sempurna adalah
yang terbaik akhlaknya di antara kamu.” Semoga bermanfaat.
* Penyuluh Agama Islam Kec. Plumbon;
Alumni Pesantren Darussalam Ciamis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar