MEMBANGUN
KESALEHAN SOSIAL DENGAN AL-ASMAUL HUSNA
(Kado Buat para
Pemimpin)**
Oleh : Mursana, M.Ag.*
“Berakhlaklah kalian dengan
akhlak Allah. Barang siapa yang berakhlak dengan salah satu dari akhlak-Nya, ia
akan masuk sorga.” (Al-Hadits)
Sudah sepuluh tahun berjalan krisis moneter melanda
Bangsa Indonesia , namun
sampai dengan saat ini nampaknya kehidupan Bangsa Indonesia tidak bertambah baik,
bahkan masalah yang dihadapi masyarakat semakin bertambah kompleks. Berawal
dari krisis moneter lalu berkembang menjadi krisis multidimensi yang tidak bisa
dielakan lagi. Berkenaan dengan itu kehidupan masyarakat Indonesia pun turut berubah, baik
dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, akhlak maupun sosial budaya.
Perubahan yang paling dominan dalam masyarakat Indonesia adalah perubahan dibidang
akhlak dan sosial budaya. Sering kita saksikan di Televisi berita-berita yang
dulu jarang kita saksikan di negeri ini, seperti penyebaran Narkoba, maraknya
VCD porno, Trafiking, Pelecehan Sexual yang dilakukan paman kepada
keponakannya, pembunuhan seorang bawahan kepada atasannya, pemerkosaan dan
lain-lain berita yang sering kita saksikan setiap hari di Televisi. Begitupun
yang terjadi di sekitar tempat tinggal kita, gotong royong, bahasa kromo inggil, budaya ketimuran nampaknya
sudah terjadi pergeseran. Kenapa semua itu bisa terjadi pada saat reformasi
digulirkan? Inilah pertanyaan yang selalu muncul pada masyarakat kita. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, mari bertanya kepada hati nurani kita
masing-masing. Sebab yang paling tahu jawabannya adalah hati nurani. Setiap
kali kasih dan sayang dinodai, kejujuran
dilecehkan, tanggung jawab diabaikan,
disiplin dipermainkan, kerjasama diacuhkan, keadilan tidak ditegakkan, kepedulian tidak dihiraukan, kedamaian tidak dijunjung tinggi dan kesucian dikotori, maka pasti setiap
hati nurani manusia tidak akan menerima atas perlakuan tersebut. Karena
sifat-sifat tersebut merupakan suara hati manusia yang paling dalam (fitrah),
yang dalam istilah Ary Ginanjar Agustian
disebut Gos Spot. Ternyata
sifat-sifat kebaikan yang merupakan fitrah atau dorongan hati nurani manusia,
kalau kita tela’ah dengan seksama merupakan penjabaran dari Al-Asmaul Husna. Ia bukan hanya sumber ketauhidan tetapi juga sumber untuk
membangun karakter kesalehan individual
dan sosial kemasyarakatan.
Aplikasi Al-Asmaul Husna
Secara bahasa Al-Asmaul Husna artinya nama-nama yang
baik bagi Allah SWT. Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
“Dan kepunyaan
Allahlah Al-Asmaul Husna (nama-nama yang agung/baik yang sesuai dengan sifat-sifat
Allah), maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-Asmaul Husna itu. Dan
tinggalkanlah orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang mereka
telah kerjakan” (Q.S. 7 : 180).
Ayat tersebut di atas merupakan perintah Allah, agar
kita selalu berdo’a dan mengumandangkan nama-nama Allah yang agung dimanapun
berada, apapun status sosial kita. Apakah sebagai pejabat pemerintah, pejabat
di lingkungan TNI & POLRI, pemimpin perusahaan atau bahkan rakyat biasa.
Dengungkan Al-Asmaul Husna di kantor, perusahaan, tempat bisnis, sawah, dan
seterusnya. Selanjutnya Allah menyuruh agar kita meninggalkan orang-orang (baik
sebagai pejabat atau rakyat) yang coba-coba mengotori, mencemarkan atau bahkan
kata Ibnu Katsir yang menukil
pendapat Ibnu ‘Abbas, “mendustakan” nama-nama yang agung tersebut. Kalau perlu
kita lawan oran-orang yang mengotori kasih sayang dan kejujuran, yang menodai
keadilan dan mengotori nama-nama Allah yang lainnya. Jangan lupa siapa pun
orangnya, apapun status sosialnya yang dengan sengaja mengotori nama-nama Allah
yang Agung akan mendapat balasan kelak di akherat. Oleh karena itu Rasulullah
SAW bersabda, “Barangsiapa yang bisa
menjaga (mengaplikasikan nilai-nilai) Asmaul Husna, maka ia masuk sorga” (H.R.
Bukhori dan Muslim).
Di bawah ini akan penulis utarakan beberapa Asmaul Husna
yang harus dijadikan sebagai values
atau nilai dalam membangun kesalehan sosial.
Pertama : Ar Rahmaan dan Ar Rahiim
(Allah Maha Pengasih dan Penyayang). Kita sebagai Abdur Rahmaan dan Abdur
Rahiim dituntut agar senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kasih sayang
kepada siapapun. Pada era reformasi, bangsa ini sudah seperti Kanibal, dimana nyawa manusia sudah
tidak dihargai lagi. Rasanya panas telinga kita, setiap hari mendengar berita
kasus pembunuhan, orang makan orang, pemerkosaan yang dilakukan orang tua
kepada anaknya; paman kepada keponakannya; bahkan lebih ngeri lagi kakek kepada
cucunya dan lain-lain. Itulah akibat nilai-nilai kasih sayang sudah tidak
diterapkan lagi oleh segelintir oknum bangsa ini. Rasulullah SAW sudah
memberikan sinyal kepada kita 15 abad yang lalu. “Kasihinilah orang-orang yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit
mengasihimu”. Barang siapa yang
menghilangkan nilai-nilai kasih sayang, maka ia tidak akan dikasih sayangi”. (H.R.
Bukhori). Apabila nilai-nilai kasih sayang ini diamalkan oleh seluruh
masyarakat Indonesia, tanpa melihat latar belakang agama, suku dan sosial
budaya, maka negeri ini akan menjadi negeri yang bermartabat dan berperadaban
tinggi sesuai dengan yang dicita-citakan oleh para pendiri Republik ini.
Kedua : Al Mukmin (Maha Mengamankan), seorang Abdul Mukmin senantiasa
mengkampanyekan nilai-nilai kejujuran. Kejujuran adalah suatu sikap apa adanya
yang keluar dari hati nurani setiap manusia. Di Republik Indonesia tercinta ini sangat
membutuhkan para pemimpin yang jujur. Yakni pemimpin yang dipercaya oleh
rakyatnya, bukan hanya menghormatinya. Salah satu krisis bangsa ini disebabkan
para pemimpinnya tidak jujur. Lihat saja penyelewengan-penyelewengan terjadi di
semua lini kehidupan. Dari mulai penyelewengan APBN, APBD yang dilakukan oleh
pejabat Eksekutif dan Legislatif yang jumlahnya triliunan rupiah setiap
tahunnya, belum lagi aksi para koruptor yang semakin gila. Bahkan di
perusahaan-perusahaan baik milik negara maupun swasta tidak ketinggalan ikut
andil dalam penyimpangan tersebut. Inilah dampak dari kekhianatan para pemimpin
tersebut. Kemiskinan semakin merajalela, sementara lapangan kerja semakin langka,
yang akibatnya pengangguran semakin menganga, aksi kejahatan dimana-mana.
Melalui Al Mukmin, kibarkan sifat-sifat kejujuran di
seluruh persada nusantara. Pemimpin jujur, rakyat pasti makmur.
Ketiga : Al Wakiil (Maha Pemanggul Amanat), setiap rakyat Indonesia
adalah Abdul Wakil yang seyogyanya mendengungkan tanggung jawab. Tanamkan
tanggung jawab, kapan dan dimanapun berada. Seorang suami bertanggung jawab
kepada istri dan anak-anaknnya. Seorang guru bertanggung jawab kepada anak
didiknya. Seorang Direktur bertanggung jawab atas karyawannya. Begitu juga
seorang Presiden, Gubernur, Bupati sampai Ketua RT bertanggung jawab kepada
rakyatnya. Sementara ini banyak pemimpin yang tidak bertanggung jawab atas
profesinya, mereka hanya memikirkan hak sedangkan tanggung jawabnya diabaikan.
Penulis yakin bahwa setiap individu sangat menentang
keras karakter tidak bertanggung jawab dan sangat setuju dengan sifat-sifat
tanggung jawab. Karena sifat tersebut merupakan dorongan suara hati Sang Maha
Pemanggul Amanat. Dialah Al Wakiil.
Keempat : Al Matiin (Maha Penggengam Kekuatan/Disiplin), menerapkan
disiplin pada semua lini kehidupan merupakan wujud pengabdian masyarakat kepada
sifat Allah Al Matiin. “Disiplin” kata
yang mudah diucapkan tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Menerapkan
disiplin memang sulit luar biasa. Disiplin bisa dijalankan oleh setiap individu
apabila ia ikhlas dan ridho menjalankannya. Dan menyadari betul, bahwa kunci
meraih kesuksesan adalah harus dengan disiplin. Tanpa disiplin yang tinggi mustahil
sebuah kesuksesan bisa diraih.
Kelima : Al Jaami’ (Maha Penghimpun), wujud pengabdian masyarakat pada
sifat Al Jaami’ ini adalah
kerjasama/berjama’ah. Tidak ada satu masalah pun yang tidak bisa diselesaikan
dengan kerjasama. Sesulit apapun masalah pasti bisa diselesaikan dengan
kerjasama/musyawarah. Manusia sebagai makhluk sosial ditakdirkan oleh Allah
untuk bekerjasama. Seorang Kepala Dinas tidak ada apa-apanya tanpa kerjasama
dengan anak buahnya. Begitu pula sebaliknya anak buah tidak akan sukses tanpa
ada bimbingan dari atasannya. Bahkan disadari atau tidak, adanya kitapun di
dunia adalah berkat adanya kerjasama antara Bapak dan Ibu kita.
Keenam : Al ‘Adlu (Maha Adil), keadilan di negeri ini sangat hancur
sekali, sehingga keadilan bisa dipermainkan oleh siapapun yang mempunyai
kekuasaan. Barangkali ini yang menjadi penyebab utama musibah tidak henti-henti
di negeri ini, dimana si dhu’afa selalu ditindas oleh sang penguasa, hukum
dipermainkan oleh sang penegak hukum, ketentraman diganggu oleh penegak keamanan,
seorang guru tidak menjadi suritauladan bagi anak didiknya dan lain-lain.
Jangan merasa malu kita mencontoh nilai-nilai keadilan seperti yang diajarkan
Rasulullah SAW. Ketika Beliau menjadi Kepala Negara pernah mengatakan, “Andaikan putriku Fatimah mencuri, pasti akan
aku potong tangannya. Sungguh rusaknya bangsa-bangsa terdahulu bila yang
berbuat salah orang lemah pasti hukum ditegakkan, tetapi bila yang berbuat
salah itu orang yang berkedudukan hukum tidak ditegakkan.”
Lawan dari keadilan adalah kedzoliman. Keadilan harus
ditegakkan sedangkan kedzoliman harus dimusnahkan. Mari kita bertanya kepada
nurani kita! Bagaimana perasaan kita apabila didzolimi orang lain? Tentu
jawabannya pasti sakit hatinya. Oleh karenanya jangan coba-coba mendzolimi orang
lain.
Menegakkan keadilan adalah wujud pengabdian masyarakat
kepada Sang Maha Adil, Dialah Al-Adlu.
Ketujuh : As-Saami’ (Maha Mendengar) dan Al Bashiir (Maha Melihat). Seorang
pemimpin yang baik adalah yang selalu mendengar dan melihat keluhan yang dipimpinnya.
Apapun status kepemimpinannya, apakai ia seorang Suami, Istri, Guru, Presiden
Direktur, Top Manajer, Sopir, Kepala Sekolah dan lain sebagainya. Setelah
mendengar dan melihat, baru langkah selanjutnya adalah Aksi untuk penyelesaian
masalah tersebut. Inilah yang disebut dengan kepedulian sosial. Kalau kita tidak makan, pasti lapar, berarti
kita tidak boleh membiarkan orang lain lapar. Kalau kita diinjak-injak pasti
sakit, berarti jangan coba-coba menginjak-injak orang lain. Kalau kita tidak
belajar, pasti bodoh, berarti tidak boleh membiarkan orang lain tidak bisa
sekolah dan seterusnya.
Kepedulian sosial bisa terwujud setelah ngaji rasa. Artinya bisa merasakan
apa-apa yang dirasakan orang lain. Mengembangkan budaya kepedulian sosial
berarti ikut menjunjung tinggi nilai-nilai Ilahiyah yaitu As Saami’ dan Al
Bashiir.
Sebagai penutup dari paparan ini adalah bila ketujuh
nilai yang terkandung dalam Asmaul Husna di atas bisa diamalkan dengan ikhlas,
pasti kesalehan sosial akan terwujud demi tegaknya negeri yang Baldatun Thoyibatun wa Rabuun Ghoffur.
Sesungguhnya Asmaul Husna berjumlah 99 nama. Namun yang penulis paparkan di
sini hanya beberapa saja. Semoga.
* Penyuluh Agama Islam Kecamatan Plumbon.
** Disampaikan dalam Acara Syukuran HUT RI Ke 62
TK. Kec.Plumbon. Jum’at, 17 Agustus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar