PUASA MELATIH KEPEKAAN HATI NURANI
Oleh : Mursana, M.Ag*
Ibarat tamu, Ramadhan adalah tamu agung yang sangat dinanti kehadirannya oleh sang tuan rumah, yakni kaum muslimin dan muslimat di seluruh penjuru dunia. Dalam penyambutan tersebut, umat Islam melakukan persiapan-persiapan yang matang, baik yang berkaitan dengan pisik maupun mental. Maklum saja yang akan datang adalah tamu agung yang akan mukim satu bulan penuh. Jadi sang tuan rumah tidak mau mengecewakan tamu istimewanya tersebut.
Kenapa bulan Ramadhan disebut bulan istimewa? Berdasarkan hadits Rasulullah Saw., bahwa di dalam bulan Ramadhan terdapat tiga bagian, yaitu: bulan penuh Rahmat, bulan penuh Maghfiroh, dan bulan penuh Itqu minan Naar. Untuk mencapai rahmat (kasih sayang) Allah SWT. di sepuluh hari bagian pertama, dan mencapai maghfiroh (ampunan Allah) di sepuluh hari bagian kedua, serta mencapai Itqu minan Naar (pembebasan dari Jilatan Api Neraka) di sepuluh hari bagian terakhir, dibutuhkan keimanan yang istiqomah dan kerja keras yang ikhlas. Selama menjalankan ibadah puasa umat Islam dituntut agar mampu ber Imsak, yakni selalu berusaha keras agar mampu mengekang hawa nafsu dan menjauhi hal-hal yang diharamkan dalam berpuasa, serta mampu melaksanakan amalan-amalan ibadah sunnah, seperti Tarawih, Witri, Rawatib, Dhuha, Shodaqoh, Tilawatil Qur’an, berdzikir dengan kalimat thoyibah yang dilaksanakan dalam waktu satu bulan penuh. Apabila ketentuan-ketentuan tersebut dipenuhi oleh umat Islam, maka akan melahirkan kepekaan hati nurani pribadi-pribadi kaum muslimin dan muslimat yang pada akhirnya manjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah, La’allakum tattaquun. Amiin.
Kalau kita teliti dengan seksama, ternyata hati nurani berasal dari dua kata yaitu: hati dan nurani. Menurut hajjatul Islam Al-Ghozaly, hati adalah suatu sifat yang halus pada diri manusia yang dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat merangkap segala pengertian. Sedangkan nurani berasal dari bahasa Arab yaitu “Nuuran” atau “Nur’aini” yang artinya cahaya atau cahaya mata. Jadi hati nurani berarti hati yang bercahaya atau cahaya mata hati. Tentu saja yang dimaksud menurut Al-Qur’an adalah cahaya hidayat atau petunjuk.
Di dalam hadits Arba’in Nawawy dijelaskan bahwa Rasulullah Saw., bersabda,”Ingatlah, bahwa di dalam jasad itu ada sekerat daging. Jika ia baik, baiklah jasad seluruhnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah jasad seluruhnya, itulah yang disebut hati (kalbu). HR. Bukhori dan Muslim”. Ketika hati manusia bercahaya, berarti hati manusia mendapat hidayah dari Allah SWT. Hati yang memperoleh hidayah, berarti otomatis manusianya terbimbing ke jalan yang benar. Setiap manusia yang hidupnya dibimbing oleh Allah (Ar-Rosyid) ke jalan yang benar, maka perjalanan hidup manusia tersebut akan sesuai dengan rambu-rambu agama (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Ia akan mampu melihat bahwa yang benar itu adalah benar dan yang salah adalah salah. Bukan sebaliknya, yang benar adalah batil (salah), dan yang batil adalah benar (hak). Manusia yang punya hati nurani selalu memberikan hak yang menjadi hak orang lain. Siapapun dia apakah seorang Kepala Kantor, Kepala Dinas, Anggota DPRD atau bahkan seorang Presiden sekalipun. Jangan mentang-mentang dia sedang berkuasa, berbuat seenake udel, sehingga merampas sesuatu milik bawahan atau bahkan uang rakyatnya sendiri, dengan alasan sangat pribadi sekali, misalnya dia punya anak sedang kuliah yang membutuhkan biaya banyak atau alasan klasik, karena dia mau pensiun, lalu berbuat semaunya sehingga menerjang rambu-rambu agama, wal-wal keduwal aspal diuntal (istilah masyarakat Cirebon). Itulah bila hati sudah tidak nurani lagi, karena gelap, tertutup oleh berbagai kepentingan hawa nafsu.
Orang yang berhati nurani, digambarkan oleh Rasulullah Saw., seperti lebah madu, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi yakni: “Perumpamaan orang mukmin seperti lebah, jika ia makan selalu makanan yang baik. Jika ia hinggap, selalu hinggap dengan cara yang baik. Dan jika ia tinggal di sebuah batang pohon, tidak merusak itu.”
Demikianlah orang yang berhati nurani, bila mencari rizki, ia mencari rizki yang halalan thoyiban (baik), manfaat dan di tempat yang mulia. Bila ia tinggal di suatu daerah, ia tidak merugikan dan mengganggu masyarakat sekitar, bahkan sebaliknya memberi manfaat pada masyarakat sekitarnya. “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya” begitu kata Rasulullah Saw.
Ketika orang yang berhati nurani itu diberi kesempatan oleh Allah SWT., menjadi orang yang berkuasa misalnya menjadi Kepala Kantor A, Kepala Dinas B, atau menjadi seorang Top Manajer di sebuah perusahaan swasta, ia pasti akan menunaikan kekuasaannya sesuai dengan bimbingan dan petunjuk Illahi (Hidayah); menegakkan amanah propesi, menjunjung tinggi keadilan, kejujuran dan berani berantas kemungkaran misalnya penyelewengan dana APBD, APBN, Kas Negara atau bahkan dana sumbangan lembaga keagamaan. Ia akan selalu istiqomah dengan Islam, sehingga tidak akan mengambil atau merampas sesuatu yang bukan haknya. Dan Ia akan berani menghukum siapapun yang bersalah, walaupun resikonya adalah pahit. Namun sebaliknya, ketika hati nurani tidak ada pada hati manusia, atau manusia yang hatinya tidak mendapat cahaya Illahi. Ia akan berjalan tanpa aturan bagaikan berjalan dikegelapan malam. Usahanya selalu menghalalkan segala cara, tindakannya merugikan dan menyakiti orang lain. Bahkan di dalam Al-Qur’an disebutkan “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (QS. 7:179)
Pada tahun ini kita sempat tercengang dengan berita-berita yang sangat menusuk hati yaitu pada bulan Maret 2007 di Malang Jawa Timur dikejutkan dengan berita seorang ibu membunuh dua orang anaknya dan dirinya sendiri dengan alasan khawatir akan masa depan anak-anaknya. Pada bulan Mei 2007 di Gunung Kidul Yogyakarta dikejutkan dengan berita seorang ibu dan anaknya membakar diri hidup-hidup sampai mati di rumahnya. Pada bulan Agustus 2007, seorang ibu membunuh anak tirinya “Rasnah” kelas 1 SLTP, dengan alasan anak tersebut tidak mau cuci piring, di Pare-pare Sulawesi Selatan, pada awal bulan September 2007, seorang ibu di Batam membunuh dua orang anaknya. Dan yang lebih ngeri lagi di Maumere Nusa Tenggara Timur, seorang bayi berumur sembilan hari dianiaya ibunya, karena tekanan ekonomi.
Berita-berita tersebut di atas menggambarkan bahwa apabila seorang manusia tidak bisa memfungsikan hatinya dengan baik sesuai dengan cahaya Illahi (tidak berhati nurani), mempunyai mata tidak bisa digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, mempunyai telinga, tetapi tidak bisa digunakan untuk mendengarkan tanda-tanda kekuasaan Allah, maka bagi mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih jahat dari itu (baca : Q.S.7:179). Seekor induk Harimau atau Singa walaupun galak dan buas tidak akan pernah membunuh anak-anaknya. Tetapi manusia kenapa lebih buas dari pada seekor Harimau atau Singa, si raja hutan atau raja rimba? Jawabannya karena manusia seperti itu tidak mempunyai hati nurani, sehingga hilang sifat-sifat terpujinya seperti cinta, kasih sayang, tanggung jawab, kejujuran, keadilan dan lain-lain. Mereka bukannya tidak setuju dengan cinta, kasih sayang, kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan lain-lain. Tetapi hati mereka itu tertutup belenggu/kepentingan, sehingga hawa nafsunya lebih dominan daripada suara hatinya (fitrah).
Begitu pula dengan berbagai peristiwa penyimpangan di negeri ini, mulai dari korupsi, kolusi, nepotisme, penjarahan, pengrusakan, pembakaran, pemerkosaan dan tindakan pengrusakan lainnya, merupakan akibat dari hati manusia yang telah gelap.
Solusi Islam
Ary Ginanjar Agustian seorang penulis Rahasia Sukses membangun kecerdasan Emosi dan Spiritual mengakatan bahwa ada tujuh faktor yang menjadi penyebab terbelenggungnya hati manusia, sehingga hati tersebut gelap, buta, tidak bisa melihat kebenaran nilai-nilai Illahi. Adapun ketujuh belenggu itu adalah:
1. Prasangka negatif (Su-ud zhonn).
2. Prinsip-prinsip hidup yang menyesatkan.
3. Pengalaman yang membelenggu pikiran tidak merdeka.
4. Kepentingan hawa nafsu.
5. Sudut pandang yang picik.
6. Pembanding (merasa pikiran sendiri lebih baik dari pada yang lain)
7. Literatur yang mempengaruhi berpikir seseorang.
Islam sebagai agama Rahmatal lil’alamiin memberikan konsep ajaran puasa Ramadhan untuk menjernihkan hati dari belenggu-belenggu tersebut. Satu bulan penuh umat Islam dilatih untuk menjauhi dan menahan diri (imsak) agar tidak terikat oleh belenggu-belenggu tersebut yang akan menutupi hati nurani manusia.
Dalam keadaan lapar, haus, dahaga, orang yang menjalankan ibadah puasa akan terbuka hati nuraninya, sehingga akan muncul bagi orang yang berpuasa itu suara-suara keIllahian, seperti kasih sayang, kepedulian kepada sesama, disiplin, tanggung jawab, kejujuran, keadilan, amanah dan lain-lain. Di samping puasa di siang hari juga disunnahkan Qiyamul lail, Istighfar, Dzikir, Shadaqoh dan amalan sunnah lainnya untuk lebih sempurna lagi proses penjernihan hati nurani.
Dengan demikian apabila latihan kepekaan hati nurani melalui ibadah puasa ini sudah berhasil dengan baik, maka untuk praktek kepekaan suara hati nurani dilakukan selama sebelas bulan ke depan. Kalau hal itu dilakukan dengan baik, maka berarti tercapailah tujuan puasa kita yaitu menjadi pribadi-pribadi muslim yang bertaqwa. Semoga.
* Penyuluh Agama Islam Kec. Plumbon
(ALUMNI Pesantren Darussalam Ciamis)
Oleh : Mursana, M.Ag*
Ibarat tamu, Ramadhan adalah tamu agung yang sangat dinanti kehadirannya oleh sang tuan rumah, yakni kaum muslimin dan muslimat di seluruh penjuru dunia. Dalam penyambutan tersebut, umat Islam melakukan persiapan-persiapan yang matang, baik yang berkaitan dengan pisik maupun mental. Maklum saja yang akan datang adalah tamu agung yang akan mukim satu bulan penuh. Jadi sang tuan rumah tidak mau mengecewakan tamu istimewanya tersebut.
Kenapa bulan Ramadhan disebut bulan istimewa? Berdasarkan hadits Rasulullah Saw., bahwa di dalam bulan Ramadhan terdapat tiga bagian, yaitu: bulan penuh Rahmat, bulan penuh Maghfiroh, dan bulan penuh Itqu minan Naar. Untuk mencapai rahmat (kasih sayang) Allah SWT. di sepuluh hari bagian pertama, dan mencapai maghfiroh (ampunan Allah) di sepuluh hari bagian kedua, serta mencapai Itqu minan Naar (pembebasan dari Jilatan Api Neraka) di sepuluh hari bagian terakhir, dibutuhkan keimanan yang istiqomah dan kerja keras yang ikhlas. Selama menjalankan ibadah puasa umat Islam dituntut agar mampu ber Imsak, yakni selalu berusaha keras agar mampu mengekang hawa nafsu dan menjauhi hal-hal yang diharamkan dalam berpuasa, serta mampu melaksanakan amalan-amalan ibadah sunnah, seperti Tarawih, Witri, Rawatib, Dhuha, Shodaqoh, Tilawatil Qur’an, berdzikir dengan kalimat thoyibah yang dilaksanakan dalam waktu satu bulan penuh. Apabila ketentuan-ketentuan tersebut dipenuhi oleh umat Islam, maka akan melahirkan kepekaan hati nurani pribadi-pribadi kaum muslimin dan muslimat yang pada akhirnya manjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah, La’allakum tattaquun. Amiin.
Kalau kita teliti dengan seksama, ternyata hati nurani berasal dari dua kata yaitu: hati dan nurani. Menurut hajjatul Islam Al-Ghozaly, hati adalah suatu sifat yang halus pada diri manusia yang dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat merangkap segala pengertian. Sedangkan nurani berasal dari bahasa Arab yaitu “Nuuran” atau “Nur’aini” yang artinya cahaya atau cahaya mata. Jadi hati nurani berarti hati yang bercahaya atau cahaya mata hati. Tentu saja yang dimaksud menurut Al-Qur’an adalah cahaya hidayat atau petunjuk.
Di dalam hadits Arba’in Nawawy dijelaskan bahwa Rasulullah Saw., bersabda,”Ingatlah, bahwa di dalam jasad itu ada sekerat daging. Jika ia baik, baiklah jasad seluruhnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah jasad seluruhnya, itulah yang disebut hati (kalbu). HR. Bukhori dan Muslim”. Ketika hati manusia bercahaya, berarti hati manusia mendapat hidayah dari Allah SWT. Hati yang memperoleh hidayah, berarti otomatis manusianya terbimbing ke jalan yang benar. Setiap manusia yang hidupnya dibimbing oleh Allah (Ar-Rosyid) ke jalan yang benar, maka perjalanan hidup manusia tersebut akan sesuai dengan rambu-rambu agama (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Ia akan mampu melihat bahwa yang benar itu adalah benar dan yang salah adalah salah. Bukan sebaliknya, yang benar adalah batil (salah), dan yang batil adalah benar (hak). Manusia yang punya hati nurani selalu memberikan hak yang menjadi hak orang lain. Siapapun dia apakah seorang Kepala Kantor, Kepala Dinas, Anggota DPRD atau bahkan seorang Presiden sekalipun. Jangan mentang-mentang dia sedang berkuasa, berbuat seenake udel, sehingga merampas sesuatu milik bawahan atau bahkan uang rakyatnya sendiri, dengan alasan sangat pribadi sekali, misalnya dia punya anak sedang kuliah yang membutuhkan biaya banyak atau alasan klasik, karena dia mau pensiun, lalu berbuat semaunya sehingga menerjang rambu-rambu agama, wal-wal keduwal aspal diuntal (istilah masyarakat Cirebon). Itulah bila hati sudah tidak nurani lagi, karena gelap, tertutup oleh berbagai kepentingan hawa nafsu.
Orang yang berhati nurani, digambarkan oleh Rasulullah Saw., seperti lebah madu, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi yakni: “Perumpamaan orang mukmin seperti lebah, jika ia makan selalu makanan yang baik. Jika ia hinggap, selalu hinggap dengan cara yang baik. Dan jika ia tinggal di sebuah batang pohon, tidak merusak itu.”
Demikianlah orang yang berhati nurani, bila mencari rizki, ia mencari rizki yang halalan thoyiban (baik), manfaat dan di tempat yang mulia. Bila ia tinggal di suatu daerah, ia tidak merugikan dan mengganggu masyarakat sekitar, bahkan sebaliknya memberi manfaat pada masyarakat sekitarnya. “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya” begitu kata Rasulullah Saw.
Ketika orang yang berhati nurani itu diberi kesempatan oleh Allah SWT., menjadi orang yang berkuasa misalnya menjadi Kepala Kantor A, Kepala Dinas B, atau menjadi seorang Top Manajer di sebuah perusahaan swasta, ia pasti akan menunaikan kekuasaannya sesuai dengan bimbingan dan petunjuk Illahi (Hidayah); menegakkan amanah propesi, menjunjung tinggi keadilan, kejujuran dan berani berantas kemungkaran misalnya penyelewengan dana APBD, APBN, Kas Negara atau bahkan dana sumbangan lembaga keagamaan. Ia akan selalu istiqomah dengan Islam, sehingga tidak akan mengambil atau merampas sesuatu yang bukan haknya. Dan Ia akan berani menghukum siapapun yang bersalah, walaupun resikonya adalah pahit. Namun sebaliknya, ketika hati nurani tidak ada pada hati manusia, atau manusia yang hatinya tidak mendapat cahaya Illahi. Ia akan berjalan tanpa aturan bagaikan berjalan dikegelapan malam. Usahanya selalu menghalalkan segala cara, tindakannya merugikan dan menyakiti orang lain. Bahkan di dalam Al-Qur’an disebutkan “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (QS. 7:179)
Pada tahun ini kita sempat tercengang dengan berita-berita yang sangat menusuk hati yaitu pada bulan Maret 2007 di Malang Jawa Timur dikejutkan dengan berita seorang ibu membunuh dua orang anaknya dan dirinya sendiri dengan alasan khawatir akan masa depan anak-anaknya. Pada bulan Mei 2007 di Gunung Kidul Yogyakarta dikejutkan dengan berita seorang ibu dan anaknya membakar diri hidup-hidup sampai mati di rumahnya. Pada bulan Agustus 2007, seorang ibu membunuh anak tirinya “Rasnah” kelas 1 SLTP, dengan alasan anak tersebut tidak mau cuci piring, di Pare-pare Sulawesi Selatan, pada awal bulan September 2007, seorang ibu di Batam membunuh dua orang anaknya. Dan yang lebih ngeri lagi di Maumere Nusa Tenggara Timur, seorang bayi berumur sembilan hari dianiaya ibunya, karena tekanan ekonomi.
Berita-berita tersebut di atas menggambarkan bahwa apabila seorang manusia tidak bisa memfungsikan hatinya dengan baik sesuai dengan cahaya Illahi (tidak berhati nurani), mempunyai mata tidak bisa digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, mempunyai telinga, tetapi tidak bisa digunakan untuk mendengarkan tanda-tanda kekuasaan Allah, maka bagi mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih jahat dari itu (baca : Q.S.7:179). Seekor induk Harimau atau Singa walaupun galak dan buas tidak akan pernah membunuh anak-anaknya. Tetapi manusia kenapa lebih buas dari pada seekor Harimau atau Singa, si raja hutan atau raja rimba? Jawabannya karena manusia seperti itu tidak mempunyai hati nurani, sehingga hilang sifat-sifat terpujinya seperti cinta, kasih sayang, tanggung jawab, kejujuran, keadilan dan lain-lain. Mereka bukannya tidak setuju dengan cinta, kasih sayang, kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan lain-lain. Tetapi hati mereka itu tertutup belenggu/kepentingan, sehingga hawa nafsunya lebih dominan daripada suara hatinya (fitrah).
Begitu pula dengan berbagai peristiwa penyimpangan di negeri ini, mulai dari korupsi, kolusi, nepotisme, penjarahan, pengrusakan, pembakaran, pemerkosaan dan tindakan pengrusakan lainnya, merupakan akibat dari hati manusia yang telah gelap.
Solusi Islam
Ary Ginanjar Agustian seorang penulis Rahasia Sukses membangun kecerdasan Emosi dan Spiritual mengakatan bahwa ada tujuh faktor yang menjadi penyebab terbelenggungnya hati manusia, sehingga hati tersebut gelap, buta, tidak bisa melihat kebenaran nilai-nilai Illahi. Adapun ketujuh belenggu itu adalah:
1. Prasangka negatif (Su-ud zhonn).
2. Prinsip-prinsip hidup yang menyesatkan.
3. Pengalaman yang membelenggu pikiran tidak merdeka.
4. Kepentingan hawa nafsu.
5. Sudut pandang yang picik.
6. Pembanding (merasa pikiran sendiri lebih baik dari pada yang lain)
7. Literatur yang mempengaruhi berpikir seseorang.
Islam sebagai agama Rahmatal lil’alamiin memberikan konsep ajaran puasa Ramadhan untuk menjernihkan hati dari belenggu-belenggu tersebut. Satu bulan penuh umat Islam dilatih untuk menjauhi dan menahan diri (imsak) agar tidak terikat oleh belenggu-belenggu tersebut yang akan menutupi hati nurani manusia.
Dalam keadaan lapar, haus, dahaga, orang yang menjalankan ibadah puasa akan terbuka hati nuraninya, sehingga akan muncul bagi orang yang berpuasa itu suara-suara keIllahian, seperti kasih sayang, kepedulian kepada sesama, disiplin, tanggung jawab, kejujuran, keadilan, amanah dan lain-lain. Di samping puasa di siang hari juga disunnahkan Qiyamul lail, Istighfar, Dzikir, Shadaqoh dan amalan sunnah lainnya untuk lebih sempurna lagi proses penjernihan hati nurani.
Dengan demikian apabila latihan kepekaan hati nurani melalui ibadah puasa ini sudah berhasil dengan baik, maka untuk praktek kepekaan suara hati nurani dilakukan selama sebelas bulan ke depan. Kalau hal itu dilakukan dengan baik, maka berarti tercapailah tujuan puasa kita yaitu menjadi pribadi-pribadi muslim yang bertaqwa. Semoga.
* Penyuluh Agama Islam Kec. Plumbon
(ALUMNI Pesantren Darussalam Ciamis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar