Cari Blog Ini

Kamis, 15 November 2018

ARTIKEL "BERHAJI BUKAN UNTUK MENCARI GELAR HAJI"



BERHAJI BUKAN UNTUK MENCARI GELAR HAJI

Oleh: Mursana, M.Ag*

Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an :Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Qs. Ali Imran : 97) Dalam Ayat lain Allah SWT berfirman : Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah Karena Allah (Qs. Al Baqarah : 196)
Menurut ulama tafsir menjelaskan bahwa kedua ayat tersebut menjadi dalil tentang perintah melaksanakan ibadah haji bagi orang Islam yang sudah memenuhi syarat dan rukun tertentu. Dalam kedua ayat tersebut kata lillah diletakan di awal dan di akhir ayat. Ini berarti bahwa orang yang melaksanakan ibadah haji harus senantiasa memegang niat ikhlas yang kokoh baik ketika sebelum berangkat maupun setelah berangkat haji.
Pada tanggal 28 Juli 2017 lalu, Pemerintah telah memberangkatkan jamaah haji gelombang pertama. Suatu pertanda bahwa musim haji segera tiba. Suara gemuruh talbiyah berkumandang dimana-mana. Syukuran hajipun digelar dimana-mana dengan beranekaragam acara. Ada yang menggunakan istilah “Walimatus Safar, Haflah Muwada’ah haji dan umrah, Syukuran Haji dan lain sebagainya. Intinya acara tersebut mengandung dua tujuan yaitu memohon maaf kepada masyarakat sekitar dan memohon doa dari masyarakat. Tradisi seperti itu sah-sah saja selagi calon tamu Allah ini mampu, tidak bermaksud riya-sum’ah, dan acaranya tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Berbicara tentang niat atau keikhlasan dalam beribadah adalah sesuatu yang gampang. Tapi dalam prakteknya amatlah susah dan sangat berat untuk dilaksanakan. Terlebih dalam menunaikan ibadah haji. Karenanya syaitan senantiasa menggoda dan memperdaya manusia dengan berbagai siasat dan tipu muslihatnya agar ibadah yang dilaksanakannya itu tidak diterima Allah SWT.
Memang dalam melaksanakan ibadah haji, niat yang tulus dan ikhlas semata-mata karena Allah adalah sesuatu yang sangat berat sekali. Tetapi itu harus diperjuangkan supaya bisa ikhlas. Coba bayangkan; dari mulai ditetapkan porsi keberangkatan saja sudah senangnya luar biasa sehingga terasa gatel lidahnya apabila berita gembira ini tidak diceritakan kepada keluarga, temaan, tetangga. Akhirnya orang sekampung tahu semua, bahkan bisa jadi se-kabupaten tahu semua karena sekarang ada W.A atau Facebook sebagai media sosialisasi bahwa dia akan berangkat untuk menunaikan ibadah haji tahun sekian misalnya. Padahal waktu keberangkatan itu masih sangat lama. Belum lagi ketika sudah ada Bimbingan Manasik Kolosal tingkat kabupaten, acara syukuran haji, acara keberangkatan haji dari rumah ke KBIH, dari KBIH ke Asrama Haji, sampai pemberangkatan jamaah haji ke Asrama Haji Bekasi dan Bandara Soekarno-Hata, iring-iringannya senantiasa membuat jalan semakin rame bahkan sampai macet sehingga mengganggu lalu lintas di jalan raya. Sehingga orang-orang bertanya ada apa ini? Jawabnya; ada jamaah haji lewat. Akhirnya semua orang tahu bahwa dia akan menunaikan ibadah haji. Ketika semua orang tahu inilah, keikhlasan niat dari seseorang yang akan menunaikan ibadah haji benar-benar akan diuji oleh Allah SWT. Apakah dia bisa ikhlas atau tidak? Tidak berhenti sampai disitu ujian keikhlasan ini berlangsung, ketika sampai di tanah sucipun akan diuji oleh Allah SWT. Bahkan setelah selesai menunaikan ibadah haji dan bisa kembali ke tanah air, ternyata ujian keikhlasan dari Allah masih juga belum berakhir. Orang-orang yang ada disekitarnya memanggil dia dengan gelar baru yakni pak Haji dan bu Hajjah. Dengan panggilan pak Haji dan bu Hajjah itu, apakah dia menjadi semakin senang atau tidak? Lalu ketika ada orang yang memanggil dia hanya dengan sebutan namanya saja, apakah dia marah atau tidak? Sebab ada banyak kasus tentang masalah panggilan kepada orang yang sudah haji. Ketika ada orang memanggil hanya dengan sebutan namanya saja, dia marah luar biasa. “Tidak tahu ya kalau haji itu mahal, haji itu susah, haji itu pengorbanan” dan lain sebagainya. Itulah beberapa contoh tentang ujian keikhlasan niat bagi orang yang menunaikan ibadah haji.
Untuk itulah sebagai sesama muslim mengingatkan, Jangan coba-coba menghilangkan pahala haji kita hanya dengan sekedar ingin diberi atau menambahkan gelar “Haji atau Hajjah” di depan nama kita, jika takut tidak kuat akan perbuatan ria. Karena ria dalam syari’at Islam adalah termasuk syirik khafiy.
Tradisi di Indonesia biasanya orang yang sudah pernah melakukan ibadah haji, setelah pulang ke kampung halamannya langsung mendapatkan gelar “Haji atau Hajjah” di depan namanya. Hal itu sah-sah saja sepanjang dia tidak terbuai dengan gelar panggilan tersebut untuk tidak terjerumus kepada perbuatan ria. Dalam sejarah perkembangan Islam, tidak seorang pun tercatat dari para shahabat Nabi SAW, tabi’in, tabi’ut tabi’in  dan ulama-ulama salaf yang menggunakan gelar tersebut. Kita tidak pernah mendengar ada sebutan Haji Abu Bakar Ash Shiddiq, Haji ‘Umar bin Khaththab, Haji ‘Ali bin Abi Thalib, Haji ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga tidak pernah mendengar Haji Imam Hanafi, Haji Imam Maliki, Haji Imam Syafi’i, Haji Imam Ahmad, Haji Sunan Gunung Jati, dan lain sebagainya. Karena gelar ini dikhawatirkan bertentangan dengan keikhlasan kepada Allah SWT.
Dari penjelasan tersebut, kiranya bisa dipahami bahwa nilai inti dari pelaksanaan ibadah haji adalah bukan untuk mencari gelar haji atau hajjah. Atau bukan supaya diakui sebagai anggota IPHI, melainkan ada pada keikhlasan dan ketulusan dalam menunaikan ibadah tersebut serta adanya aktualisasi nilai-nilai ibadah itu yang membekaskan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga dengan langkah tersebut haji kita menjadi mabrur. Aamiin.
*Penyuluh Agama Islam Kab. Cirebon
I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar