BERHAJI BUKAN UNTUK MENCARI GELAR HAJI
Oleh: Mursana, M.Ag*
Allah SWT
berfirman dalam Al Qur’an :Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah
Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Qs. Ali Imran :
97) Dalam Ayat lain Allah SWT berfirman : Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah Karena Allah (Qs. Al Baqarah : 196)
Menurut ulama tafsir menjelaskan bahwa kedua ayat tersebut menjadi dalil
tentang perintah melaksanakan ibadah haji bagi orang Islam yang sudah memenuhi
syarat dan rukun tertentu. Dalam kedua ayat tersebut kata lillah diletakan
di awal dan di akhir ayat. Ini berarti bahwa orang yang melaksanakan ibadah
haji harus senantiasa memegang niat ikhlas yang kokoh baik ketika sebelum
berangkat maupun setelah berangkat haji.
Pada tanggal 28
Juli 2017 lalu, Pemerintah telah memberangkatkan jamaah haji gelombang pertama.
Suatu pertanda bahwa musim haji segera tiba. Suara gemuruh talbiyah
berkumandang dimana-mana. Syukuran hajipun digelar dimana-mana dengan
beranekaragam acara. Ada yang menggunakan istilah “Walimatus Safar, Haflah
Muwada’ah haji dan umrah, Syukuran Haji dan lain sebagainya. Intinya acara
tersebut mengandung dua tujuan yaitu memohon maaf kepada masyarakat sekitar dan
memohon doa dari masyarakat. Tradisi seperti itu sah-sah saja selagi calon tamu
Allah ini mampu, tidak bermaksud riya-sum’ah, dan acaranya tidak bertentangan
dengan syari’at Islam.
Berbicara tentang niat atau keikhlasan dalam
beribadah adalah sesuatu yang gampang. Tapi dalam prakteknya amatlah susah dan
sangat berat untuk dilaksanakan. Terlebih dalam menunaikan ibadah haji.
Karenanya syaitan senantiasa menggoda dan memperdaya manusia dengan berbagai
siasat dan tipu muslihatnya agar ibadah yang dilaksanakannya itu tidak diterima
Allah SWT.
Memang dalam melaksanakan ibadah haji, niat yang
tulus dan ikhlas semata-mata karena Allah adalah sesuatu yang sangat berat
sekali. Tetapi itu harus diperjuangkan supaya bisa ikhlas. Coba bayangkan; dari
mulai ditetapkan porsi keberangkatan saja sudah senangnya luar biasa sehingga
terasa gatel lidahnya apabila berita gembira ini tidak diceritakan kepada
keluarga, temaan, tetangga. Akhirnya orang sekampung tahu semua, bahkan bisa
jadi se-kabupaten tahu semua karena sekarang ada W.A atau Facebook sebagai
media sosialisasi bahwa dia akan berangkat untuk menunaikan ibadah haji tahun
sekian misalnya. Padahal waktu keberangkatan itu masih sangat lama. Belum lagi
ketika sudah ada Bimbingan Manasik Kolosal tingkat kabupaten, acara syukuran
haji, acara keberangkatan haji dari rumah ke KBIH, dari KBIH ke Asrama Haji,
sampai pemberangkatan jamaah haji ke Asrama Haji Bekasi dan Bandara
Soekarno-Hata, iring-iringannya senantiasa membuat jalan semakin rame bahkan
sampai macet sehingga mengganggu lalu lintas di jalan raya. Sehingga
orang-orang bertanya ada apa ini? Jawabnya; ada jamaah haji lewat. Akhirnya
semua orang tahu bahwa dia akan menunaikan ibadah haji. Ketika semua orang tahu
inilah, keikhlasan niat dari seseorang yang akan menunaikan ibadah haji
benar-benar akan diuji oleh Allah SWT. Apakah dia bisa ikhlas atau tidak? Tidak
berhenti sampai disitu ujian keikhlasan ini berlangsung, ketika sampai di tanah
sucipun akan diuji oleh Allah SWT. Bahkan setelah selesai menunaikan ibadah
haji dan bisa kembali ke tanah air, ternyata ujian keikhlasan dari Allah masih
juga belum berakhir. Orang-orang yang ada disekitarnya memanggil dia dengan
gelar baru yakni pak Haji dan bu Hajjah. Dengan panggilan pak Haji dan bu
Hajjah itu, apakah dia menjadi semakin senang atau tidak? Lalu ketika ada orang
yang memanggil dia hanya dengan sebutan namanya saja, apakah dia marah atau
tidak? Sebab ada banyak kasus tentang masalah panggilan kepada orang yang sudah
haji. Ketika ada orang memanggil hanya dengan sebutan namanya saja, dia marah
luar biasa. “Tidak tahu ya kalau haji itu mahal, haji itu susah, haji itu
pengorbanan” dan lain sebagainya. Itulah beberapa contoh tentang ujian
keikhlasan niat bagi orang yang menunaikan ibadah haji.
Untuk itulah sebagai sesama muslim mengingatkan, Jangan coba-coba
menghilangkan pahala haji kita hanya dengan sekedar ingin diberi atau
menambahkan gelar “Haji atau Hajjah” di depan nama kita, jika takut tidak kuat
akan perbuatan ria. Karena ria dalam syari’at Islam adalah termasuk syirik
khafiy.
Tradisi di Indonesia biasanya orang yang sudah pernah melakukan ibadah
haji, setelah pulang ke kampung halamannya langsung mendapatkan gelar “Haji
atau Hajjah” di depan namanya. Hal itu sah-sah saja sepanjang dia tidak terbuai
dengan gelar panggilan tersebut untuk tidak terjerumus kepada perbuatan ria. Dalam
sejarah perkembangan Islam, tidak seorang pun tercatat dari para shahabat Nabi
SAW, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan
ulama-ulama salaf yang menggunakan gelar tersebut. Kita tidak pernah mendengar
ada sebutan Haji Abu Bakar Ash Shiddiq, Haji ‘Umar bin Khaththab, Haji ‘Ali bin
Abi Thalib, Haji ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga tidak pernah mendengar Haji Imam
Hanafi, Haji Imam Maliki, Haji Imam Syafi’i, Haji Imam Ahmad, Haji Sunan Gunung
Jati, dan lain sebagainya. Karena gelar ini dikhawatirkan bertentangan dengan
keikhlasan kepada Allah SWT.
Dari penjelasan tersebut, kiranya bisa dipahami bahwa nilai inti dari
pelaksanaan ibadah haji adalah bukan untuk mencari gelar haji atau hajjah. Atau
bukan supaya diakui sebagai anggota IPHI, melainkan ada pada keikhlasan dan
ketulusan dalam menunaikan ibadah tersebut serta adanya aktualisasi nilai-nilai
ibadah itu yang membekaskan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga dengan
langkah tersebut haji kita menjadi mabrur. Aamiin.
*Penyuluh Agama Islam Kab. Cirebon
I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar